Setelah “Sesuatu Indonesia” Tentang Sastra Kita di Masa Depan

Muhammad Al-Fayyadl

Tiap ditanya soal masa depan sastra Indonesia, saya selalu ragu menjawabnya. Pertama, saya kira tak seorang pun dapat meramalkan masa depan. Pengertian masa depan begitu cair dan penuh kontradiksi. Yang kita anggap masa depan lebih merupakan bayangan, imajinasi, atau keinginan kita tentangnya. Kedua, pasti memusingkan bila bicara tentang masa depan narasi sejarah bernama “sastra Indonesia”. Suatu subjek yang selalu mengundang kontroversi dan polemik tak berkesudahan. Tapi apa yang dapat dipikirkan dari pertanyaan tentang masa depan sastra Indonesia? Lebih tepatnya, apa yang akan kita imajinasikan dari pertanyaan yang tampak terlalu menuntut itu?

Pertanyaan semacam ini tentu tak bisa dilepaskan dari kekinian dan masa lalu sastra Indonesia. Apa arti kekinian dan masa lalu bagi sastra Indonesia? Apakah benarbenar ada masa yang telah berlalu, dan kekinian yang masih bertahan? Bukankah sastra sebagai teks, telah meninggalkan konsep waktu linierbiologis yang mengungkung kehidupan manusia? Apa yang tampak berlalu dari masa lalu kerap muncul sebagai sesuatu yang kontemporer. Demikian juga, apa yang sepertinya menjadi milik kekinian, aktual, dan baru, tak jarang hadir sebagai sesuatu yang segera usang dan basi.

Kekinian sastra Indonesia sendiri belum habis didedah. Andai kekinian itu dapat dimampatkan dalam suatu momen yang diam dan tak bergerak, dan andai masa kini bukanmeminjam Afrizal Malna “ruang yang mengapung”, maka perbincangan tentang masa depan sastra Indonesia dapat dijangkarkan pada kekinian. Dan setiap tulisan tentang masa kini sastra Indonesia sebetulnya hanyalah upaya menambatkan diri pada momen dan ruang (yang diandaikan) diam itu.

Di sini, kita menghadapi paradoks yang selalu dihadirkan oleh sejarah sastra. Sejarah sastra yang kita warisi dan anut, adalah sejarah dengan historisisme yang kuat, yang membagi sastra Indonesia ke dalam sejarah angkatan-angkatan. Sejarah yang diklasifikasi, dikategorisasi, dan didefinisikan menurut kecenderungan tematik yang paling umum dari karya pada masing-masing angkatan. Ia historisis, karena tak memungkinkan karya tertentu untuk dikecualikan dari narasi besar angkatan yang telah mewakilinya.

Namun, keganjilan utama dari sejarah sastra ala H.B. Jassin dan Ajip Rosidi itu terletak bukan pada konsep “angkatan”, yang tampaknya meniru konsep isme (klasisisme, romantisisme, avantgardisme) dalam sastra Eropa, melainkan pada kemelekatannya dengan politik. Kecuali Pujangga Baru, angkatanangkatan selalu dinamai dengan referensi pada peristiwa di luar sastra. Angkatan ‘45, sebagai contoh, merujuk pada peristiwa politik kemerdekaan, sebagaimana angkatan ‘66 merujuk pada kelahiran Orde Baru. Pilihan istilah “angkatan” juga menandai betapa peristiwa politik yang menjadi acuan sejarah sastra adalah peristiwa-peristiwa politik berlumuran kekerasan dan militerisme. Tak heran bila angkatan dalam sastra mengingatkan kita pada angkatan dalam angkatan bersenjata.

Kesulitan-kesulitan yang diawetkan oleh sejarah sastra itu tetap membebani kekinian sastra Indonesia, sehingga kita tak akan pernah mudah untuk mengambil satu titik kukuh yang benarbenar menandai kekinian itu. Sementara tanpa kekinian yang pasti, bagaimana masa depan dapat diimajinasikan? Hal ini memaksa kita untuk kembali mengulang kutukan sejarah sastra, dengan mengambil peristiwa politik di luar sastra sebagai parameter untuk menilai kekinian sastra: Reformasi ‘98.

Sastra dari “Sesuatu Indonesia”

Baiklah, jika ini sebuah kompromi, lalu apa yang bisa ditarik dari Reformasi ‘98? Tahun 1998 bukanlah sebuah babakan yang benar-benar revolusioner dalam sejarah sastra dibandingkan masa-masa sebelumnya. Tapi ia bisa menjadi penanda yang jika ditarik ke tahun-tahun sesudahnya. Ia mencatat sebuah proses, akumulasi, dinamika, dan diskontinuitas yang menarik ditengarai dalam narasi sastra kita.

Dari 1998, kita dapat mengamati bahwa sedang terjadi suatu pergeseran massif dalam cara sastra didefinisikan ulang dengan identitas keindonesiaaannya. Suatu pergeseran yang secara keseluruhan tergolong radikal, namun terjadi dengan cara yang terkadang keras, namun terkadang evolusioner dan bertahap.

Pergeseran itu adalah berubahnya dari “Indonesia” menjadi apa yang diistilahkan Afrizal Malna sebagai “sesuatu Indonesia”. Singkatnya, dari keterikatan pada grand design kebangsaan, ke hubungan yang lebih longgar tanpa suatu keniscayaan menjadi Indonesia. Indonesia, dengan kata lain, bukan satusatunya faktor. Ia hanya sesuatu Indonesia yang bisa dipungut atau dilepaskan, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan.

Barangkali setelah Reformasi, tak ada lagi sastra Indonesia dalam pengertian yang sama dengan cara para sastrawan memandang sastra pada era sebelumnya. Kejatuhan Orde Baru telah mencairkan kebekuan-kebekuan akibat penunggalan imajinasi kebangsaan. Reformasi adalah pembongkaran terhadap imajinasi Indonesia ala Orde Baru. Ia menciptakan retakan dan bongkahan-bongkahan yang meluruhkan kepadatan Indonesia, sekaligus menciptakan wajah sastra yang bermetamorfosa demikian dramatis dibanding masa-masa sebelumnya.

Metamorfosa ini ditandai oleh dua hal: revolusi digital dan politik identitas. Keduanya merupakan manifestasi dari pembongkaran terhadap model sastra Indonesia yang dikonstruksi pada Orde Baru. Keduanya juga mengekspresikan keteganganketegangan dalam sastra Indonesia, yang narasi keindonesiaannya dibangun secara monolitik oleh rezim, dan berpengaruh secara kuat pada lingkungan kesusastraan itu sendiri.

Revolusi digital ditandai oleh polemik sastra cyber yang mencuat di awal 2000an. Masih segar dalam ingatan bagaimana polemik ini memicu sumpah serapah dari para sastrawan senior. Sutardji Calzoum Bachri, misalnya, menyebut sastra cyber sebagai “sastra sampah”. Polemik ini muncul karena kritik para sastrawan cyber atas dominasi “sastracetak”, yang mereka pandang hegemonik.

Terlepas dari isu-isu yang diperdebatkan, polemik ini sebenarnya menyimpan dua gejala yang baru tampak samar-samar saat itu, yakni krisis sejarah sastra dan integrasi sastra ke dalam sistem teknologi informasi. Banyak orang ingin menjadi sastrawan. Tetapi pada Orde Baru, tidak semua orang dapat menjadi sastrawan.

Seiring penunggalan imajinasi keindonesiaan, terjadi penunggalan kualifikasi kesastrawanan. Untuk menjadi sastrawan, seseorang harus memiliki karya yang dimuat di media-media sastra tertentu dan diapresiasi oleh kritikus sastra tertentu. Berhubung media-media ini tersentralisasi di Jakarta, maka terdapat suatu mitos bahwa untuk menjadi sastrawan, ia mestilah berkarya dari Jakarta.

Sejarah sastra yang dibangun dengan kualifikasi kesastrawanan semacam ini, tentu saja, akan menempatkan segelintir elite sastra sebagai sastrawan kanonik dengan reputasi yang tak dapat diperdebatkan. Dan karya-karya sastrawan kanonik ini menjadi kurikulum wajib dalam setiap pelajaran sastra.

Sastra cyber, yang saat itu hanya bermodalkan sejumlah kecil situs internet, mendobrak norma-norma yang telah mapan itu, dan menawarkan kemungkinan bagi para penulis sastra pemula untuk memublikasikan karya mereka. Terjadilah suatu percikan gelombang demokratisasi sastra yang meluas.

Kehadiran sastra digital ini menuntut penulisan sejarah sastra yang sama sekali baru, karena bermunculan nama-nama sastrawan dari arah yang sama sekali tak terduga, nama-nama baru yang tak dapat diklasifikasikan kedalam angkatan-angkatan kanonik yang lama. Meski nama-nama sastrawan yang lebih senior tetap eksis, tetapi peta sastra telanjur berubah, menuntut rekonfigurasi sejarah sastra yang baru, atau bahkan penegasian terhadap sejarah sastra yang lama.

Sastra cyber tentu saja hanyalah simptom, gejala. Dangejala ini makin mendapatkan manifesnya dengan kehadiran jejaring sosial dari bentuknya yang embrionik seperti mailing list, hingga yang terkini, seperti Facebook atau Twitter. Apa yang menarik diteroka dari gejala ini, selain krisis sejarah sastra, adalah makin terintegrasinya sastra ke dalam teknologi informasi. Ini membuat arus demokratisasi makin meluas dan mendapatkan kematangannya.

Pertanyaan yang selalu mengemuka, dan menyindir sinis gejalagejala ini, adalah kualitas karya. Tidak dapat dimungkiri bahwa demokratisasi sastra ini telah mencairkan batasbatas kualifikasi karya yang dulu dipatok oleh lembaga sastra tertentu. Namun tidak jarang ditemukan karya-karya yang bermutu dan mendobrak pengucapan estetika lama sastra dalam pergaulan sastra cyber, yang mengagetkan para pengamat dan sastrawan yang masih setia pada media-media konvensional. Hal ini, di sisi lain, memunculkan pertanyaan tentang peran kritikus, dan apakah sebaiknya kritikus bunuh diri dan bermetamorfosa menjadi pembaca. Ia juga memunculkan pergeseran dalam membaca sastra sendiri: dari pola pembacaan berorientasi pengarang, ke pola pembacaan berorientasi teks, di mana karya, dan bukan nama diri pengarang, yang diperhitungkan.

Di titik ini, benar-benar tak ada lagi “anak jadah” sastra Indonesia. Sastra Indonesia dalam kanon sejarah sastra lama telah menciptakan kecemburuan, karena terdapat genre-genre sastra yang dianggap sebagai anak emas, lantaran kedekatannya dengan tradisi literer yang lebih dominan. Di sisi lain, terdapat genre-genre sastra “jadah” yang dicibir sebagai tak bermutu, picisan, atau rendahan. Kehadiran sastra cyber memungkinkan si anak jadah mencuri perhatian publik sastra yang serius dan meleburkan stigma kemarjinalannya.

Perubahan ini bersamaan dengan tampilnya politik identitas dalam sastra kontemporer. Ia mewujud dengan kemunculan bentukbentuk penulisan sastra berdasarkan suatu keterikatan pada identitas kultural, politis, komunal, ideologis, atau religius tertentu. Orientasiorientasi tersebut mengekspresikan diri dalam karya yang ditulis maupun komunitas dari mana karya itu berkembang.

Bahwa Indonesia hanya “sesuatu”, dan bukan satu-satunya orientasi estetik, terlihat dari pergerakan politik identitas ini. Secara kultural, muncul beragam karya sastra dari fiksi atau semi fiksi, yang ditulis untuk melampiaskan nostalgia akan akar masa lalu yang hilang, kampung halaman, keluarga, atau budaya tertentu yang pernah memberi makna bagi penulisnya. Bukan cuma sastra yang sempat tergerus politik Orde Baru yang muncul, seperti sastra Tionghoa. Tetapi juga suarasuara literer dari daerah, pedalaman, dan pelosok negeri yang me ngangkat tentang kekhasan kultural atau subkultur masing-masing, etnis, suku, dan lain seterusnya. Beberapa eksperimentasi penulisan dengan mengacu pada orientasi kultural seperti ini memang belum sepenuhnya berhasil. Masih banyak yang sekadar menjadikan motif kultural itu tempelan, atau setting dangkal dari narasi yang diangkat, dan belum benarbenar menjadi karakter penulisan. Lebih banyak lagi, agar dianggap eksotis, nuansa kedaerahan itu sekadar menjadi polesan, agar karya itu dianggap berbeda, unik, arkaik, dan klise-klise lainnya.

Dalam menampilkan orientasi kulturalnya, sebagian penulis menunjukkan upaya merapatkan kedaerahan, lokalitas, atau kekhasan yang diserapnya ke dalam narasi keindonesiaan. Strategi ini terbilang konservatif, karena tidak mempertanyakan keindonesiaan yang memiliki beban historis dan politis. Sastra ini cenderung menerima kemajemukan sebagai suatu norma yang alamiah, dan berlindung di balik jargon multikulturalisme. Sastra ini kurang mampu melihat kompleksitas relasi Indonesia dan kedaerahan yang mereka tampilkan. Di sisi lain, terdapat sebagian kecil penulis, terutama dari daerah-daerah yang mengalami trauma dengan “pusat” yang menampilkan ketegangan yang belum usai antara sentimen kedaerahan mereka dengan keindonesiaan. Penulis-penulis ini cenderung menampilkan karakter kedaerahan yang tak mesti merujuk secara seragam pada narasi Indonesia.

Secara religius, bermunculan juga kerinduan pada bentuk-bentuk sastra religius, yang menyelipkan pesan-pesan moral dan didaktis kepada pembacanya. Kembalinya motif sastra religius, secara laten, merupakan reaksi atas orientasi ideologis sastra dari arah dan kubu lain, yang cenderung menyajikan sastra dalam bentuk yang sangat sekular, mundan, dan berorientasi ketubuhan. Ini tidak lepas juga dari dugaan bahwa sastra telah menjadi sangat “liberal” dan terlalu bebas mengeksplorasi dimensi-dimensi yang dianggap tak patut.

Namun, dari sisi lain, kegairahan atas sastra religius juga didorong oleh pasar pembaca yang semakin menunjukkan kecenderungan pragmatis dan personal dalam beragama: memaknai agama sebagai hiburan, gaya hidup, atau terapi bagi persoalan-persoalan pribadi. Karenanya, meski sastra ini bersifat “religius”, tidak ditemukan penyajian yang mendalam tentang dimensi-dimensi spiritual atau spekulatif dari agama, yang tampak misalnya pada karya sastra religius dari generasi terdahulu, dengan motif-motif sufisme mereka yang kuat.

Dalam hubungannya dengan keindonesiaan, sastra religius juga menunjukkan referensi yang sangat longgar, bahkan cenderung mengabaikan keperluan untuk menyertakan keindonesiaan dalam narasinya. Sastra ini kerap menampilkan rujukan pada entitas-entitas yang, meski tidak asing bagi pembaca Indonesia, tetapi melampaui keindonesiaan: entitas ketimurtengahan atau Arab. Dengan memasukkan entitas tersebut ke dalam struktur narasi, pembaca diajak keluar dari keterikatan dan beban-beban historis-politis Indonesia, bertamasya ke fantasmagoria dunia 1001 malam yang indah, jauh dari carut-marut sengketa negeri ini.

Jenis kelamin sastra religius ini belum teridentifikasi dengan pasti: ia menampilkan campuran yang aneh, tapi terkadang menarik dan eksperimental, dan seringkali banal. Antara keislaman, kearaban, dan keindonesiaan, yang silih berganti tampil dari sekadar tempelen latar, sampai merasuk lebih dalam pada penjiwaan dan struktur narasi. Sastra semacam ini tak dapat dicibir hanya karena ia populer dan digemari pembaca, tetapi sastra ini tak dapat juga dikatakan sebagai sastra yang serta merta bagus. Apa yang penting dicatat sementara adalah bahwa sastra ini, bersama dengan sastra-sastra berorientasi kultural atau subkultural, menunjukkan suatu efek politik identitas yang melonggarkan referensi-referensi yang begitu ketat pada Indonesia, di mana sastra Indonesia, kalaupun masih ada dan perlu ada, hanya salah satu gaung dari masa lalu yang tak mesti lagi menyihir dan memesona.

Narsisisme dan Refleksivitas

Para penghuni masa depan hidup dari ketumpangtindihan antara ruang maya dan ruang tubuh biologis. Karena efek dari teknologi digital yang begitu merasuk, generasi ini cenderung selalu peduli dan kuatir akan dirinya dan eksistensinya. Selalu merasa kehilangan makna eksistensi dirinya, makna yang raib dari kekinian mereka yang telah berlalu seiring dengan derasnya arus informasi.

Kepedulian akan diri ini telah melahirkan suatu generasi yang refleksif. Meminjam ungkapan Afrizal Malna, “I love you tidak akan pernah ada tanpa ‘I love me’ yang mendahuluinya”, generasi ini mencintai diri sendiri sebelum mencintai orang lain. Suatu generasi dengan narsisisme sebagai nilai dan norma.

Karena hidup dalam lingkungan yang dirasuki oleh kebutuhan akan komunikasi, narsisisme itu sendiri, paradoksnya, mendapat maknanya hanya ketika ia berbagi dengan orang lain. Dengan kata lain, suatu narsisisme yang dipupuk oleh komunikasi dan budaya berbag (sharing), yang melahirkan suatu kombinasi antara kecintaan pada diri dan kepedulian pada orang lain.

Bersama politik identitas di atas, lahir suatu politik diri, di mana diri menjadi kian sadar pada dirinya, dan pada kekuatan-kekuatan yang dianggap mengancam dirinya.

Salah satu tanda dari refleksivitas ini adalah munculnya terus menerus si aku biografis dalam karya sastra: karya sastra menjadi pantulan refleks hidup penulisnya. Setiap orang akan menulis biografi dirinya. Karya sastra akan menjadi kaca tempat para penulisnya menemukan dirinya, sekaligus kaca bagi para pembaca untuk menemukan diri mereka. Dengan kata lain, sastra akan semakin biografis.Indikasinya telah berkembang hari ini, dengan kemunculan genre-genre sastra bercorak motivasi, yang diangkat dari pengalaman personal penulisnya.

Pertanyaannya, di mana lalu Indonesia dalam sastra saat itu? Antara keanekaragaman yang menggairahkan dan keseragaman yang menjemukan dari sastra semacam ini, yang jelas sastra kita tampak seperti pulau-pulau yang masing-masing asyik dengan dirinya sendiri. Pula-pulau yang pergi dan singgah ke dalam arena sastra Indonesia, tanpa peduli apakah nama-nama mereka akan tercatat atau tidak dalam katalog sastra Indonesia yang terus memanjang.[]

https://rusydifirdaus.wordpress.com/2017/04/25/setelah-sesuatu-indonesia-tentang-sastra-kita-di-masa-depan-oleh-muhammad-al-fayyadl/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *