Muhammad Antakusuma
Jujur saya bingung, ketika Setyiko meminta untuk menulis terkait pameran lukisan yang akan diadakan bersama teman-temannya. Pertama, saya tak tahu tema apa yang ingin dipamerkan. Kedua, belum berjumpa dengan para senimannya. Jadi, mau menulis apa? Terserah, begitu katanya, pada suatu malam seusai pengajian. Lah, ini model pamerannya seperti apakah?
Kepadanya saya berkata, kalau butuh tulisan, itu cukup dari kurator. Dia bilang: kuratornya gak ada. Ambyar! Sampailah saya kasihan, dan memberi tulisan yang belum pernah dipublikasikan. Saya berpikir, mungkin tulisan yang berjumlah 11 lembar yang diulang-ulang itu bisa dijadikan bahan teman-teman dalam menggoreskan pikiran-pikirannya. Jika nyambung, maka beruntung. Jika tidak, setidaknya ada tulisan di ruangan ini -meski mengsle.
Tapi kemudian saya berpikir ulang. Apa sih susahnya membuat tulisan baru meski tidak tahu temanya, walau tak mengerti siapa para senimannya, pun tak paham di ruang mana dan kapan mereka akan memamerkan karya, -pun saya ragu mampu menulis secara maksimal. Bayaran? Jangan tanya!
Satu hal yang biasanya keluar dari diri kita saat keterbatasan-keterbatasan seperti di atas muncul, kreativitas. Maka setelah paragraf ini, saya kan sedikit menulis tentang uneg-uneg saat memasuki ruang pameran lukisan.
Bingung adalah kata pertama sekaligus yang seringkali muncul disaat kita “menikmati” sebuah pameran. Biasanya ada dua kebingungan yang timbul: 1. Bingung mencari hubungan tema, dan isi lukisan yang dipamerkan. 2. Bingung mencari maksud lukisan yang dipamerkan.
Untuk yang pertama, sudah pasti terkait urusan konsep yang tak bisa dikomunikasikan, antara kurator dan seniman yang terkait. Seniman sibuk berkarya, kurator juga sibuk berkarya, tapi di tempat masing-masing. Tidak ada ziarah pengetahuan di dalam meletakkan kertas yang sejajar dengan kanvas, atau sebaliknya.
Yang kedua, acap kali seniman “kabur” saat penikmat karya mereka pada garuk-garuk kepala. Mencoba lari dari kenyataan dengan “mengaburkan” maksud sebuah karya melalui penafsiran yang ditinggi-tinggikan, yang itu belum tentu menjamin ketinggian nilai sebuah karya, apalagi harganya.
Jangan khawatir, penyakit yang sudah lama terjadi ini tidak hanya menjangkiti dunia kanvas, tapi juga alam-alam panggung kesenian lainnya. Solusi dalam masalah ini tentu saja tidak sederhana. Namun mungkin bisa dimulai dari sini; cobalah Anda menjadi orang yang awal kali menikmati lukisan, bukan sekedar menjadi yang pertama kali melukiskannya.
Itu semua hal permukaan, yang tentu saja sangat mudah ditemukan jawabannya, -semudah mencampur warna dengan panjang gelombang berbeda demi mendapati warna merah muda misalnya.
Yang perlu perenungan, saat mencoba masuk ke hal lebih dalam; bisa jadi akan menentukan arahnya kuas: saya melukis untuk apa? Sekedar merespon hal yang tampak atau yang ruhani?
Yang tampak atau yang ruhani, masing-masing punya ruang dan waktunya sendiri-sendiri, punya sapuan-sapuan serta “keabadian” berbeda, meski sama-sama di atas kanvas yang berwarna putih.
Sewon, Bantul, Yogyakarta 2020.