(Marhalim Zaini, dari nusantaranews.co, foto Sagang Online)
Riki Utomi *
Perkembangan karya sastra Indonesia dewasa ini sangat pesat dan menggairahkan. Bukan hanya bentuk dari hasil karya itu sendiri tapi juga ditopang oleh banyaknya kantong-kantong sastra di hampir tiap daerah yang masing-masing mereka turut merayakan dengan cara yang beragam. Membincangkan karya sastra tak lepas dari apresiasi yang melingkupinya. Dari sekian banyak karya sastra yang hadir ke tengah-tengah kita, sampai saat ini sedikit banyak memberikan pengetahuan lebih bagi masyarakat, karena karya sastra juga salah satu “wadah” untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, motivasi, dan sumbangsih yang lain selain sifat praktisnya sebagai bentuk sarana hiburan.
Di Riau, tidak sedikit karya sastra yang lahir, tumbuh, dan berkembang. Hal ini memberikan kesan bahwa geliat dan gairah penulisan sastra tetap ada dan berlanjut dari generasi ke generasi. Seperti yang dikatakan almarhum Hasan Junus “Bahwa seorang sastrawan (baca: penulis) yang kreatif akan terus berkarya seumur hidupnya tanpa kenal masa jeda.” Karya sastra adalah karya kreatif yang ditulis oleh pengarang dengan membawa misi ceritanya. Dalam tulisan sederhana ini, saya mencoba mengupas sebuah karya kreatif dari seorang sastrawan anak jati Riau Marhalim Zaini, dengan karyanya sebuah novel berjudul Megalomania.
Novel ini memenangkan Penghargaan Utama Ganti Award beberapa tahun lalu. Megalomania sebuah novel yang menurut saya tampil dengan sudut pandang berbeda. Perbedaan tersebut dari cara Marhalim memberikan pusat pengisahan yang melompat-lompat. Dalam cerita-cerita pertamanya seperti tidak mengisyaratkan untuk pengembangan cerita; yaitu masing-masing kolase (di dalam novel itu) seperti memiliki suara-suaranya sendiri untuk membawa ceritanya masing-masing, tapi dengan caranya yang khas dengan mamadukan unsur-unsur filsafat dan warna melayu yang kuat menjadikan novel ini memiliki keunikan tersendiri.
Meneropong Sisi Polifonik
Tirto Suwondo dalam sebuah tulisannya mengatakan “dunia polifonik adalah dunia yang diwarnai oleh pluralitas suara, kesadaran, dan gagasan yang bebas dan penuh warna.” Istilah polifonik tidak dapat dipisahkan dari Mikhail Bakhtin, seorang ahli sastra Rusia. Istilah yang juga disebut poliglosia atau polifalen diperkenalkan oleh Bakhtin saat ia melakukan penelitian karya-karya prosa Fyodor Mikaelovich Dostoevsky seorang sastrawan besar Rusia. Dalam penelitian itu Bakhtin menyatakan Dostoevsky telah menciptakan genre sastra baru, yaitu novel polifonik (polyphonic novel). Hanya saja novel polifonik sebagai sebuah genre sastra sesungguhnya tidak berhubungan dengan tema, bentuk, isi, atau sesuatu yang memberi tahu tentang realitas, tapi hanya berhubungan dengan pengertian sosial yang dimiliki oleh teknik wacana.
Sebuah titik tolak pengembangan dari proses kreatif penciptaan karya sastra novel yang berkarakter lain akan membawa daya gugah yang berkesan. Dalam novel polifonik ada “nafas-nafas kebebasan”. Suara-suara yang menyuarakan dan tak terbelenggu seperti dalam sisi kehidupan nyata. Melalui novel polifonik kita akan dapat masuk ke dalam (merasakan) dunia yang benar-benar bebas dan demokratis; dunia yang dalam konteks sekarang ini tidak bisa ditemukan dalam dunia nyata, tapi hanya dapat diharapkan dari dunia wacana atau rekaan (lihat Tirto Suwondo). Sapardi Djoko Damono mengatakan, “Kita tidak mungkin tinggal terus menerus di dunia nyata; dan agar hidup ini berlangsung dengan baik kita perlu mengadakan perjalanan pulang balik dari dunia nyata ke dunia rekaan.”
Novel polifonik adalah novel yang mengandung banyak suara, kesadaran, dan gagasan; semua hal itu tidak harus saling meniadakan, tidak saling mengobjektivikasi, tetapi saling menghargai, saling menopang, dan secara bersama-sama berhubungan dengan dunia baru, yaitu dunia polifonik. Dalam Megalomania, susunan peristiwa-perstiwa dijalin dalam nafas filsafat. Pengarang banyak mengutip filsafat dan referensi filsuf ternama untuk memperkuat inti cerita. Seperti juga yang dikatakan Zuarman Ahmad dalam komentarnya di dalam novel.
Novel Megalomania diawali oleh pembukaan yang filsafatis. Tokoh Aku (Wak Madim) yang ditulis oleh Marhalim dengan sudut pandang orang ketiga (Ia) mendapatkan surat-surat dari kekasih lamanya. Kekasih lamanya itu seperti terus meneror Wak Madim dengan kalimat-kalimat yang penuh pertanyaan untuk memikirkan kembali eksistensi Wak Madim sebagai “orang besar” yang kini kembali lagi ke kampung halamannya. Marhalim sebagai sumbu yang menyalakan inspirasi peristiwa cerita memberikan “kebebasan” kepada tokoh-tokoh dalam cerita. Rentetan peristiwa berjalan dengan sendirinya tanpa campur tangan yang banyak dari pengarang. Nafas-nafas kebebasan tersebut dapat kita lihat pada Bagian II Kolase-Kolase Waktu.
Pada Bagian II Kolase-Kolase Waktu, terdiri atas beberapa bagian kolase, yang masing-masing kolase itu menceritakan kisah-kisahnya sendiri. Pengarang dalam hal ini yang berkuasa sebagai pengatur jalan cerita seperti “lepas tangan” dalam memabawa rel cerita. Masing-masing kolase itu tokoh-tokoh ceritanya memainkan peran tersendiri. Pada Kolase 1, mengisahkan tentang pergaulan dunia remaja. Dua pasang remaja yang tengah mamadu kasih tiba-tiba secara ironis mengakhirinya hanya gara-gara tidak sependapat dalam pandangan gender. Dialog-dialog tokoh dalam Kolase 1 sangat memikat dengan mengusungkan pandangan dan pendapatnya tentang filsafat gender, deklarasi HAM PBB, sampai pendapat dari filsuf Aristoteles.
Pada Kolase 2, menceritakan tentang seseorang yang berada dalam suatu kampung hidup dalam kemiskinan dan penuh penderitaan. Pekerjaannya sebagai penyadap pohon karet tak membuatnya hidup selaras dengan keadaan yang semakin mencekik, sehingga ia akhirnya menangis dengan kisah tangisannya yang ironis yaitu ia berdialog dengan air matanya sendiri, dalam dialog tersebut, lelaki itu sangat kesal dan membenci air mata sedang air matanya sendiri selalu memperolok dan menggodanya. Pada Kolase 3, mengisahkan tentang pemimpin daerah, seorang bupati. Dengan segala tingkah lakunya sebagai orang besar yang dapat mengatur dan merencanakan semua hal dengan penuh kekuasaan yang ia miliki. Dalam dialog-dialog tersebut sang bupati asik berbual tentang rencana-rencana besar proyek yang akan dilaksanakan. Terdapat hal-hal yang tidak mengisahkan perilaku positif dari seorang pemimpin daerah, sebuah keegoisan yang menyelimuti sosok pemimpin dengan sesuatu yang “aman-aman saja” meski dialog terakhir menyinggung tim KPK yang akan mendatanginya akan tetapi—dengan enteng—terlebih dahulu akan diamankan oleh anak-anak buahnya.
Pada Kolase 4, mengisahkan tentang seorang perempuan yang memiliki banyak anak yang ditinggalkan suaminya bekerja. Suaminya tidak pulang-pulang beberapa hari tanpa sepengetahuannya yang jelas. Tapi anaknya yang banyak itu selalu berkhayal untuk menjadi orang kaya. Mereka sibuk mengamati langit-langit rumah yang bolong, dengan melihat cahaya dari langit yang bolong itu sepeti tergambarkan oleh pikiran mereka itu adalah sebuah bintang. Maka bintang-bintang bagi mereka adalah sesuatu yang besar dan indah seperti orang-orang kaya yang memiliki rumah indah. Pada Kolse 5, mengisahkan seorang toke Cina yang kaya. Baginya kekuasaannya di desa itu akan memberikan untung banyak sehingga ia bisa sepenuhnya mengendalikan jalannya monopoli ekonomi. Dia pun dengan asik menghitung keuntungan dari uang-uangnya yang berkebat-kebat. Tapi sesuatu yang ironis dapat kita tangkap dari cerita tersebut adalah sang toke asik berdialog dengan uang-uangnya, bahkan terjadi dialog beda pendapat tentang peran kekayaan dan harta yang sangat alot dari dialog itu.
Pada Kolase 6, menceritakan beberapa lekaki yang bekerja sebagai karyawan pengeboran minyak. Mereka tidak jelas entah dari mana. Sikap dan perilaku mereka bukan mencerminkan orang tempatan dan hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan mereka masih menjadi sengketa bagi masyarakat setempat yang akhirnya banyak menimbulkan keresahan bagi masyarakat setempat seperti isu “Orang Minyak” yang misterius yang diyakini akan berdampak bagi para anak gadis. Dan pada Kolase 7, mengisahkan beberapa pemuda yang sedang asik bermain domino. Mereka merencanakan pencurian ke beberapa rumah orang kaya. Mereka juga membicarakan tipe-tipe target orang kaya di kampung itu dengan semangat. Dalam hal pembicaraan mereka sempat menjadi ketegangan karena salah seorang mengatakan “marwah”. Lalu disanggah yang lain “apakah maling juga memiliki marwah?” dalam kolase 7 ini secara tak langsung menyindir para pejabat yang korupsi bahwa mereka masih belum punya rasa malu untuk menampakkan muka padahal marwah mereka sebenarnya lebih rendah daripada orang-orang kecil yang miskin.
Dari serangkaian cerita di Bagian II yang bertajuk Kolase-Kolase Waktu, mengisyaratkan hal-hal di luar konteks jalinan cerita. Tetapi—menurut hemat saya—hanya di Bagian II ini saja yang merupakan sisi polifonik. Hal itu ditelusuri dari peristiwa-peristiwa dalam cerita yang tidak saling terpaut antara Kolase 1 dan kolase yang lainnya. Dalam tiap-tiap kolase memainkan peranannya sendiri, dengan itu pengarang (Marhalim) seperti lepas untuk tidak turut campur dalam membawa tokoh-tokoh cerita. Para tokoh cerita lepas bebas membuat alur ceritanya masing-masing tanpa campur tangan oleh pengarang atau tokoh pada kolase lain. Hal-hal tersebut menimbulkan suara-suara tokoh tentang eksistensinya masing-masing. Terpaut dalam hal itu, sebagian besar isi cerita dalam novel ini sangat sarat dengan unsur filsafat yang mengajak pembaca untuk merenung dan juga mengarah pada unsur absurditas yang mengesankan.
Selatpanjang, 2017
___________________
*) Riki Utomi alumnus FKIP Universitas Islam Riau Prodi. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sejumlah tulisannya pernah tersiar di Koran Tempo, Indo Pos, Suara Merdeka, Pikiran Rakyat, Lampung Post, Banjarmasin Post, Serambi Indonesia, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Inilah Koran, Sumut Pos, Batam Pos, Kendari Pos, Haluan Kepri, Riau Pos, Haluan Riau, Koran Riau, Majalah Sabili, Majalah Sagang, Riau Realita, Buletin Jejak. Sejumlah karyanya masuk antologi Matahari Cinta Samudera Kata, Pertemuan Penyair Serumpun, Negeri Langit (Komunitas Negeri Poci), Ayat-Ayat Selat Sakat, 100 tahun cerpen Riau, Peta dan Arah Sastra, dll. Mendapat Anugerah Acarya Sastra dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Jakarta 2015 dan Anugerah Pemangku Prestasi Seni Sastra dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau 2016. Buku fiksinya Mata Empat (2013) dan Sebuah Wajah di Roti Panggang (2015). Bekerja sebagai penulis lepas dan guru di Selatpanjang, Riau.
https://nusantaranews.co/sisi-polifonik-dalam-megalomania-marhalim-zaini/