Suparto Brata Mencari Sarang Angin

Fatah Anshori *

Nama Suparto Brata pertama kali saya kenal ketika membaca Jurnal-jurnal Eka Kurniawan. Saya tidak tahu banyak tentang Suparto, saat saya mencoba mencari informasi dari Wikipedia, Suparto terkenal dengan sastrawan berbahasa Jawa. Ia lebih banyak menulis cerita fiksi dalam Bahasa Jawa. Dalam novel Mencari Sarang Angin, rasanya kepiawaiannya dalam menggunakan Bahasa Jawa memang sedikit banyak terlihat. Sehingga saya tak akan menyalahkan Wikipedia atas informasi tersebut.

Jika ditanya mengapa saya membaca Suparto Brata, saya akan menjawabnya dengan jujur setiap nama penulis yang saya dapat dari membaca novel, cerpen, puisi, esai dari seorang penulis akan membuat saya mencari tahu lebih banyak tentang nama penulis itu, lebih-lebih pada suatu hari saya bisa membaca bukunya. Seperti itulah, dugaan saya atas nama penulis yang tertulis atau terselip dalam sebuah tulisan entah itu cerita atau puisi adalah sebuah rekomendasi bacaan oleh si penulis buku, yang bagaimanapun membuat saya ingin membacanya.

Baiklah saya rasa cukup prolog yang saya lantunkan barusan, sekarang mari kita masuk agak dalam ke novel Mencari Sarang Angin. Pertama novel ini saya rasa tidak dibuka dengan kalimat yang mencolok, atau sebuah kalimat yang akan membuat kita kian bernafsu untuk membaca novel dengan tebal kurang lebih 700-an halaman. Novel ini dibuka dengan kalimat-kalimat yang datar yang menggambarkan sebuah setting tempat sebagaimana cerita-cerita lama dipaparkan. Bagi saya tidak ada yang perlu ditandai secara khusus dalam hal pembukaan novel di novel ini.

Sebelumnya perlu diketahui, Mencari Sarang Angin adalah sebuah cerita bersambung yang ditulis dalam rentang waktu 1991 – 1992. Dan kemudian digubah untuk dibukukan menjadi sebuah novel. Cerita ini sebelumnya pernah dimuat secara bersambung di Harian Pagi Jawa Pos. Suparto Brata dalam Biografi Singkat yang disertakan dalam buku ini memang akrab dengan media massa. Tulisan-tulisannya kerap dimuat di berbagai majalah, koran dan media-media lain. Kurang lebih seperti itulah yang tertulis dalam biografi singkatnya. Ini membuat saya memiliki prasangka bahwa tokoh utama dalam novel ini adalah si penulis sendiri.

Memang secara keseluruhan novel ini menceritakan tentang kehidupan Darwan, seorang lelaki keturunan bangsawan Jawa Surakarta yang ingin mencari kehidupan yang luhur di luar. Tidak terikat dan tergantung dengan lingkungan istana. Yang mana setiap anggota keluarga istana, hidupnya selalu terjamin tidak ada kekurangan suatu apapun entah itu uang atau istri. Setiap lelaki keturunan bangsawan jawa disebutkan disitu ia bebas memilih perempuan yang ia sukai untuk dijadikan istri atau hanya sekedar gundik, yakni perempuan pemuas nafsu belaka. Namun Darwan tidak menginginkan kehidupan yang semacam itu, ia merasa ada yang salah dengan adat yang semacam itu ketika dibandingkan dengan apa yang ia peroleh dari pendidikannya dan saat masih akrab dengan Beatrix, perempuan Belanda yang pernah dekat dengan Darwan. Akhirnya karena merasa adanya ketidakselarasan prinsip hidup dan ingin menunjukkan bahwa ia mampu hidup tanpa tergantung kehidupan Istana. Darwan pun merantau ke Surabaya untuk mencari sarang angin, istilah yang ia pakai untuk menemukan kehidupan yang ia cita-citakan.

Sebagaimana Suparto Brata, Darwan juga adalah seorang penulis, ia ingin hidup sebagai seorang penulis saja, menulis berita di koran dan mengarang cerita. Di awal-awal cerita saya benar-benar kagum dengan pemaparan Suparto terhadap sebuah penerbitan, ia memggambarkan dengan detail apapun yang berada di dalam sebuah penerbitan, saya rasa ini tidak mungkin bisa dilakukan oleh orang-orang yang bukan ahlinya, artinya penulis sangat menguasai apapun yang berkaitan dengan penerbitan, tentang mesin cetaknya, percakapan yang biasa menjadi topik wartawan, tentang ideologi penerbitan, dan sebagainya. Hal semacam itulah yang barangkali diperoleh ketika kita menulis dengan melakukan riset terlebih dahulu, dalam fiksi kita memang dituntut untuk mengkonkretkan yang abstrak, kurang lebih begitu kata A.S. Laksana. Sehingga cerita yang kita bangun terasa nyata kuat dan tidak rapuh.

Selanjutnya yang menjadi catatan saya, adalah setting waktu dalam novel ini, Suparto Brata melakukannya dengan sangat apik, sebagaimana seorang maestro. Novel ini merangkum Indonesia saat masih berada dalam jajahan Belanda, Jepang, hingga ketika PKI ingin merebut kekuasaan Pemerintah RI. Semua itu dilakukan Suparto dengan pemaparan yang detail lengkap dengan penggunaan bahasa Belanda, Jepang dan istilah-istilah yang kerap digunakan pada zaman itu, barangkali novel ini bisa juga menjadi rujukan sejarah untuk meneliti bahasa atau budaya yang digunakan pada masa itu.

Sebelum saya akhiri tulisan ini saya ingin membahasnya sedikit, terkait apa yang membuatmu terpacu untuk tetap membaca suatu cerita hingga akhir, jika kau bukan seorang pembaca yang tangguh—orang awam yang akan pusing atau mengantuk atau muntah-muntah ketika disuguhkan pada tulisan. Sehingga saya merasa ini perlu untuk menjadi catatan seorang penulis agar tulisannya tidak banyak ditinggal kabur atau tidur oleh penyimaknya sebagaimana khutbah sholat Jum’at. Jujur dalam membaca sebuah cerita saya berharap ada sesuatu yang baru yang diberikan oleh si penulis agar saya tidak mudah tertidur saat sedang membacanya. Dan dalam novel ini Suparto berhasil membuat ceritanya selesai saya baca karena rasa penasaran saya dengan adegan mesum yang akan diperagakan oleh Darwan dengan Yayi atau Darwan dengan Rokhayah. Menurut saya ini adalah kontent dewasa yang hanya boleh disaksikan ketika usia anda sudah mencapai 18+, saya tidak memungkiri hal semacam ini kerap muncul dalam sastra kita. Entah seberapa penting adegan vulgar harus ada dalam sebuah cerita saya juga kurang tahu, juga kurang tahu pula apa maksud penulis yang sebenarnya. Apakah benar adegan semacam ini hanya untuk menarik minat pembaca yang tidak terlalu tangguh dan suka mengantuk seperti saya agar terus membaca dan membaca hingga akhir. Meski harus saya akui adegan vulgar dalam novel ini tidak lebih jujur dari novel Cantik Itu Luka-nya Eka Kurniawan. Di novelnya ini Suparto Brata lebih banyak membuat analogi dan metafora dalam menyusun adegan-adegan vulgarnya. Barangkali untuk lebih jelasnya bisa dibaca sendiri, bukunya. Dan biarkan urusan adegan vulgar dalam sebuah cerita menjadi PR bagi saya.

Cukup sekian dan terimakasih.

________________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com

Leave a Reply

Bahasa »