TIGA BUKU BERSEJARAH

Mashuri *

Hari ini, 23 April 2020, tepat Hari Buku, yang demikian berkesan dan mengharu-biru. Bukan saja karena menjelang puasa Ramadan, musim Corona, dan todongan pistol: dilarang mudik, sedang menempel di pelipis, tetapi buku yang baru sampai di pelukan Patik sarat dengan sejarah, harapan, hikmah menanti, dan optimisme. Sok reflektif ni ye!

Hal itu karena pada hari ini Patik mendapatkan tiga buah buku asolole. Patik menghaturkan terima kasih yang setulusnya pada Mas Agus Manaji, atas terperolehnya buku-buku jadul dan bernuansa tersebut.

Pertama, buku “Imajeri India, Studi Tanda dalam Wacana”, karya Dr. Andrik Purwasita, DEA. Ketika buku yang berasal dari disertasi penulis di Ehess Paris, atas bimbingan Kiai Ageng Denys Lombard (1992), diterbitkan Pustaka Cakra, Surakarta, 2002, Patik begitu ingin memiliki buku setebal 598 halaman ditambah uba rampe xxxiv halaman. Namun, sebagai mahasiswa akhir yang compang-camping dompetnya, dan harga buku waktu itu lumayan sundul langit, Patik hanya bisa meminjam di Perpustakaan Kampus –yang legend dan berhantu, ups! Itu pun durasinya hanya dua kali peminjaman saja. Satu kali meminjam selama dua minggu, setelah itu perpanjangan dua minggu lagi. Selebihnya buku harus dikembalikan. Dapat terus dibaca di kamar kos sih tapi dengan cara-cara klandestinan. Ehm! Tapi untuk buku ini, Patik gak mampu. Selain tebal, ia nangkring di rak buku baru.

Ketika Patik merasa sudah punya duit, pasca 2002, ternyata buku tersebut raib dari peredaran. Ia seperti ngumpet dari rak toko buku di Surabaya, juga di pasar buku bekas di Blauran, Keputran, dan Jalan Semarang. Alhasil, keinginan untuk memilikinya harus disimpan rapat dalam hati. Patik mulai agak terhibur ketika mendapatkan buku Kiai Ageng Denys Lombard, “Nusa Jawa Silang Budaya”. Minimal harapan Patik untuk membaca ‘Imajeri India’ sporadis terobati, apalagi pada salah satu buku dari tiga buku Lombard, ada yang khusus membahas Indianisasi.

Kenapa Patik ingin membaca ulang atau memiliki “Imajeri India”? Pada waktu membacanya awal, Patik protes dalam hati habis-habisan karena waktu itu, Patik termasuk orang yang tidak suka bila orang berbicara Jawa, selalu membawa-bawa India. Sebenarnya, keingian Patik untuk membaca ulang dan lebih dalam adalah soal perpspektifnya, yaitu studi tanda dalam wacana. Patik ingin tahu bagaimana praktik penandaan fenomena budaya di Indonesia yang diklaim dalam bayang-bayang dan citra India. Selain itu, sudut pandangan penulisnya adalah cultural studies. Sebuah pendekataan yang saat itu masih langka.

Terlebih lagi, Dr. Andrik Purwasita bukan saja seorang akademik an sich. Ia pernah menulis karya sastra, di antaranya terhimpun dalam “Tonggak IV” (1987) dan “Rantau Renungan” (1997). Ia juga menulis dalam bahasa Jawa, terutama untuk majalah “Jaya Baya”, dan lain sebagainya. Terlebih lagi, si doi kelahiran Trenggalek, dan menempuh pendidikan menengah di Kediri. Hmmm, dulu Patik pernah naksir berat sama dara Trenggalek, cihui, meskipun akhirnya berhenti di pinggir jalan. Kenapa? Soalnya kalau berhenti di tengah jalan, tentu ditabrak orang. Ups!

Buku kedua, sebenarnya jurnal, tetapi dibentuk dalam format buku, yaitu Kalam 16 (2000) dengan topik Menilik Tokoh. Sebenarnya, Patik sudah memiliki Kalam edisi ini, bahkan semua edisi, tetapi nasibnya runyam karena diganyang pasukan rayap, ketika masih ngontrak di perumahan sekitar semburan lumpur di Porong, Sidoarjo. Dalam Kalam edisi ini ada cerpen karya kawan Imam Muhtarom, berjudul “Pelancongan”. Kala itu, ia masih mahasiswa, dan menjadi nahkoda Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya. Sebuah momen dahsyat!

Buku ketiga, juga salah satu edisi Kalam dalam format buku, yaitu Kalam 18 (2001). Edisi khusus sastra, wabil khusus puisi. Saya kira koleksi Kalam edisi ini yang selamat dari amuk rayap karena posisinya Patik sendirikan. Soalnya sederhana. Dalam Kalam inil ada tiga puisi Patik, berjudul “Ngaceng”, “Tanda Terakhir dari Hujan, Sebuah Jejak”, dan “Mosaik Wajah”. Posisi Patik masih mahasiswa dan cantrik di Komunitas Teater Gapus dan FS3LP. Seingat Patik, karya-karya itu adalah hasil pembacaan ulang pada beberapa pemikir postrukturalis dan posmodernis yang sedang booming dan dipadu dengan gagasan dadais, simbolis, dan surrealis, aliran yang disuntuki kawan-kawan di komunitas . Sayangnya, ketika buku ini dipinjam oleh kawan-kawan komunitas, koleksi raib tak berbekas.

Patik kira pemuatan karya dalam jurnal Kalam pada masa itu menyiratkan harapan dan optimisme. Tentu, dimuat di sebuah jurnal bergengsi bukan tujuan dari jalan penulisan. Tetapi bagi orang yang sedang berproses, sedang belajar dalam dunia tulis-menulis, pemuatan itu adalah suntikan semangat dan dorongan yang sulit untuk dilupakan dan diabaikan. Karena itulah, kehadiran buku atau junal arsip pemuatan itu tidak hanya sebagai surat upaya memahami jejak sejarah, tetapi ikhtiar memunculkan hasrat untuk terus menguji batas-batas yang mungkin telah diyakini tapalnya. Semoga tidak terjebak pada kotak romantisme semata. Cik moncole, Dul!

Gituh sajah. Selamat Hari Buku, Dulur!

On Siwalanpanji, 2020

_______________
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *