Apollo & Dionysus: “Kelahiran Tragedi”, Karya Friedrich Nietzsche (1844–1900)

Ahmad Yulden Erwin *

“Thoughts are the shadows of our feelings that always emptier, darker, and simpler.” (Pikiran adalah bayang-bayang perasaan kita yang selalu lebih kosong, lebih gelap, dan lebih sederhana.) –Friedrich Nietzsche

1. Apollonian dan Dionysian adalah konsep filosofis atau sastra, semacam jukstaposisi atau penjajaran dua hal yang dianggap seolah bertentangan, berdasarkan beberapa ciri khas mitologi Yunani kuno. Banyak figur filsuf dan sastrawan di kebudayaan Barat yang telah menggunakan jukstaposisi ini di dalam karya-karya kritis dan kreatif mereka.

2. Di dalam mitologi Yunani dinarasikan bahwa Apollo dan Dionysus adalah putra Zeus. Apollo adalah dewa dari pemikiran rasional dan ketertiban, dewa dari ketelitian dan kemurnian. Di sisi lain, Dionysus adalah dewa dari irasionalitas dan kekacauan, dewa dari emosi dan naluri dasariah manusia. Namun, orang-orang Yunani kuno tidak menganggap kedua dewa itu saling berlawanan, melainkan saling melengkapi. Kedua dewa itu merupakan simbol “dua sisi dari keping koin yang sama”, yang ada di alam, juga di dalam kepribadian manusia.

3. Konsep Apollonian didasarkan pada semacam prinsip individualitas, yang digunakan untuk mewakili individu dan membuat setiap manusia menjadi berbeda dari yang lain. Hal begini merupakan semacam perayaan bagi kreativitas manusia melalui akal dan pemikiran logis. Sementara konsep Dionysian didasarkan pada prinsip kekacauan, yang mendorong manusia kembali kepada kekuatan emosi dan naluri dasariahnya. Alih-alih menjadi individu, hambatan individualitas dipecah oleh konsep Dionysian dan manusia menenggelamkan dirinya ke dalam keesaan.

4. Menurut Nietzsche, jarak kritis yang memisahkan manusia dari emosi dasariahnya, keesaan itu, justru berasal dari cita-cita Apollonian yang telah memisahkan manusia dari relasi esensial dengan dirinya sendiri. Dionysian mencakup segala sifat yang kacau dan irasional, baik yang ditemukan di alam maupun pribadi manusia, yang di dalam diri Insan Kamil (Ubermensch) termanefestasi sebagai kekuatan kehendak nan kreatif (the will to power). Oleh karena itu pula Nietzsche menganggap pengalaman “ekstase Dionysian” sangatlah penting. Tidak hanya demi meraih “pengalaman kebahagiaan puncak”, tetapi karena “a-simetri” Dionysian selalu berhubungan erat dengan “simetri” Apollonian. Memang, seseorang yang menganut prinsip Dionysian cenderung untuk menekankan pengalaman otentik yang “gelap”, meski begitu ia juga menyadari bahwa dirinya manunggal dan terhubung dengan semua pengalaman manusia yang lain. Keesaan dari pengalaman Dionysian sangatlah penting dalam memahami konsep Dionysian karena terkait erat dengan konsep Apollonian guna mencapai ” harmoni dinamis” di dalam hidup.

5. Gagasan Nietzsche telah ditafsirkan sebagai ekspresi kesadaran terfragmentasi atau ketidakstabilan eksistensial oleh berbagai penulis modern dan postmodern, terutama oleh Martin Heidegger, Michel Foucault, dan Gilles Deleuze. Konsep Dionysian dan Apollonian membentuk dialektika, keduanya memang terasa kontras, tetapi bagi Nietzsche (dalam tafsir para pemikir postmodern) keduanya selalu dibutuhkan untuk mencipta dialektika dalam pengalaman aktual manusia atau dalam konteks budaya. Kebenaran adalah rasa sakit primordial, oleh sebab keberadaan eksistensial kita ditentukan oleh dialektika Dionysian dan Apollonian, dan inilah hakikat dari “tragedi” itu.

6. Jerome Seymour Bruner, seorang psikolog Amerika yang memberikan kontribusi signifikan terhadap teori pembelajaran kognitif dalam psikologi pendidikan, pernah berkata, “Apollo tanpa Dionysus mungkin benar-benar seorang warga yang baik, tapi ia orang yang membosankan. Ia bahkan mungkin ‘ter-budaya-kan’, dalam makna yang sering didapati pada tulisan-tulisan konvesional tentang pendidikan… Namun, tanpa Dionysus, Appolo tak akan pernah dapat mencipta dan mencipta ulang kebudayaan.”

7. “Tak ada fakta, hanya interpretasi!” Begitulah Nietzsche pernah berkata. Kita mencipta dewa-dewa kita untuk memahami misteri dari dalam diri kita sendiri, seperti juga interpretasi Nietzsche tentang dua dewa Yunani kuno, Apollo dan Dionysus. Nietzsche tidak berupaya menguraikan perihal hakikat keilahian, melainkan hakikat diri manusia sebagai sebuah misteri yang terus menggerakkan hidup kita dan, bahkan, sebagai setitik debu di tengah keluasan jagad raya.

@ 2017


[Painting: “Oedipus and the Sphinx,” 1934, by John McKirdy Duncan (1866-1945), Scotland]

*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandar Lampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *