Dulu ketika masih muda, Kiai Sutara jago pencak silat, ilmu bela diri tradisional. Beliau dapat melesat seperti di film-film Kung Fu. Pemanjat kelapa ulung. Ketekunannya belajar, dengan sikap yang enggan menonjolkan diri, membuat banyak orang tak dapat menduganya. Saya tak habis pikir, beliau menghafal gramatika Bahas Arab karya Ibnu Malik yang berjumlah seribu bait, yang lazim di kalangan pesantren disebut “Alfiyah”. Tak hanya jago Balaghoh, beliau juga menguasai tata bahasa Inggris dan Jerman. Beliau pernah hidup di jalanan bertahun-tahun. Penggemar film, karya sastra, dan sepakbola. Buku-buku mazhab filsafat barat dan timur. Dan pelantun tembang-tembang Jawa yang humoris.
Kedua alis matanya yang tebal, menunjukkan ketegasan sikapnya yang tanpa ragu-ragu. Keriput keningnya, seolah lukisan yang menandakan pengalaman panjang. Apa pun dipelajarinya. Ini kiai unik. Langka. Dan tentu saja gemar bercanda. Humor-humornya kaya. Tetapi sikap hidupnya bersahaja. Bekerja keras, pencinta tanaman, dan jari-jarinya lincah memainkan gitar. Santrinya memang terbatas. Beliau hanya mengajar ngaji anak-anak kecil usia 7 sampai 10 tahun. Perokok berat. Pecandu kopi pahit. Minatnya sangat banyak. Tetapi tak pernah kehabisan pendalaman terhadap tiap sesuatu yang diamatinya. Beliau pernah meramalkan perempuan mana yang akan memenangi kontes kecantikan dunia, lengkap dengan nama dan identitasnya. Itu ganjil! Tak banyak kiai dengan wawasan seperti itu. Tak heran jika sudut pandangnya nyeleneh, tapi tepat. Manjur. Setidaknya bagi saya, santrinya.
“Saya rasa, hidup saya seringkali mendapat kesulitan, Kiai. Apakah ini pertanda saya kurang beramal, Kiai?” tanya saya malam itu.
Kiai Sutara menyandar tenang di kursi rumahnya yang kuno. Seperti biasa, asik mendengarkan musik-musik dangdut dan klasik. Ketika saya tanya, kenapa tidak mendengarkan orang membaca ayat suci saja? Beliau jawab; lagu-lagu lebih mudah membawa kita pada kesahduan daripada bacaan ayat suci yang diulang-ulang namun tanpa penghayatan dan pedalaman. Katanya. Santri macam saya—dalam pandangan Kiai Sutara, belum jadi manusia karena belum menguasai kitab paling gampang macam kitab syarak hadist “Arba’in Nawawi” misalnya. Apalagi disuruh menganalisa dan meresensi sebuah film. Pasti pecah kepalanya.
“Terus kalau hidupmu sering dapat kesulitan, kamu mau apa?” ujar Kiai Sutara.
“Ya mungkin ada jalan keluarnya, Kiai. Semacam amalan apa yang harus saya kerjakan agar hidup saya tak sering dihadang kesulitan.”
“Dasar bodoh! Semua gerak yang baik disebut “amal”. Bukan amalnya yang perlu kamu perbaiki, tapi keikhlasanmu dalam beramal itu yang harus kamu perbaiki.”
“Baik, Kiai.”
“Kamu salah kaprah. Kata “amal” dimaknai memberi atau berderma saja. Amal itu, pertama-tama adalah sikap jiwa. Kemudian gerak. “Amal shaleh” disempitkan cuma pada bentuk ibadah formal seperti salat, puasa, dan lain-lain. Padahal “memberi” itu cuma salah satu dari makna “amal” yang luas dan tak terbatas. Dan “shaleh” bermakna “kebaikan kemanusiaan”. Bahwa makan yang benar, tidur, dan bekerja yang baik termasuk dalam amal shaleh itu. Karena tak ada kambing yang disebut “kambing yang shaleh”. Banyak istilah yang kamu samarkan dan kamu salah-pahamkan, agar istilah-istilah tersebut mudah dimanfaatkan sebagai alat para “pendusta agama” demi kepentingan tertentu.”
“Lho jadi amal itu gimana tepatnya, Kai?”
“Lha-lho! Lha-lho! Endasmu atos! Dengar santri yang mikirnya pakai dengkul! Kata “amal” bermakna “kerja” atau “gerak insani”, bersifat umum dengan segala jenisnya. Ia diungkapkan dalam bentuk “nakirah” (indefinitif). “Inna ma’al ‘usri yusra,” firman Tuhan (QS.94:5-6). “Al-usr” mengalami pengulangan. Kenapa?”
“Ampun, Kiai. Saya tidak tahu,” jawab saya sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Cengengesan adalah senjata saya di hadapan Kiai Sutara supaya tidak kena hukuman aneh-aneh.
“Santri macam kamu, mustahil tahu. Baca ayat suci saja gak becus, pandanganmu lebih tertarik pada android di tanganmu itu daripada mendengarkan suara-suara kehidupan yang murni. Sehingga kamu hanya menjadi budak informasi dan komunikasi media maya. Apalagi saya suruh mengurai ilmu bahasa. Rontok rambutmu!
Saya cengengesan, merasa bodoh dan konyol.
“Pasang telingamu pada tempatnya. Dan bangunkan otakmu yang selalu mendengkur. Pengulangan kata “al-usr” (sulit) dalam bentuk definitif (ma’rifat), itu ditandai huruf “alif-lam”. Sedangkan kata “yusra” (mudah) tanpa “alif-lam”, yang dalam ayat tersebut disebut dua kali dalam bentuk indefinitif (nakirah). Dalam kaidah bahasa, dua kata yang definitif ialah sama. Tapi dua kata yang indefinitif tidak sama. Sebelum akhir ayat, terdapat kata “faraghta” yang berakar “faragha”. Kata itu bermakna “senang setelah susah” sebagai penanda kualitas, “habis setelah penuh” sebagai penanda kuantitas, atau “longgar setelah sibuk” sebagai penanda waktu dan peristiwa. Jeda kesibukan itu disebut “faragh”. Kemudian “fan-shab” yang bermakna “lelah”. “Lelah sampai mempernyatakan tegaknya sesuatu”.
“Akar kata “fan-shab” juga berbunyi “nushibat”. Kata ini diserap dalam Bahasa Indonesia menjadi kata “nasib”, yakni kenyataan yang pasti. Bagaimana satu “kesulitan” (al-usr) menemukan dua atau ketakterbatasan “kemudahan” (yursa)? Di kala longgar waktu setelah kerja (faraghta), bekerjalah lebih kreatif di luar pekerjaan utama. Atau maksimalkan pekerjaanmu dengan “daya kreatif”. Hingga nyata hasilnya (fan-shab). Lalu kamu berhak berharap kepada Tuhan dari apa-apa yang telah kamu kerjakan dengan sepenuh hati, persembahkan kerjamu itu pada-Nya dengan “ikhlash” (alamiah), supaya dapat kau pahat nasibmu menjadi realitas yang tegak dan kokoh (wa-ila robbika farghab).”
“Sampai di sini, apa kepalamu tidak pusing?”
“Ampun, Kiai.”
“Ayat pendek itu mengajarkan keahlian atau totalitas dalam menggeluti pekerjaan, tapi kreatif. Tidak malas kayak kamu! Juga tidak mendasarkan kerja semata-mata pada nilai tukar. Tapi mendasarkan kerja dan kreativitas pada ketekunan sampai manfaat, atau hasilnya benar-benar nyata pada dirimu dan yang lain sebagai rahmat kehidupan. “Yuridullahu bikumul yusra wala yuridu bikumul ‘usra”: Tuhan menghendaki kemudahan buatmu dan tak menghendakkan kesulitan. Lalu kenapa kamu persulit dirimu sendiri dan orang lain?”
“Jadi apakah saya harus lebih giat lagi, Kiai?”
“Terserah kamu! Itu bukan urusan saya. Saya hanya mau mengatakan, bahwa kesulitan dalam hidupmu tak lain disebabkan dirimu sendiri. Padahal kamu mendapatkan kemujuran yang tak mudah didapatkan orang lain. Bukankah itu anugerah? Kenapa kamu bakhil? Kamu tak menyadari, tanpa kemujuran, kamu tidak jadi apa-apa. Tapi kenapa kamu sempitkan dan kamu kunci dadamu terhadap kehidupan yang beranekaragam ini? Kamulah sesungguhnya yang menciptakan kesulitan bagi dirimu sendiri, bukan orang lain. Kesulitan kamu ciptakan dengan menurutkan kemalasan, kesempitan hati dan pandangan, keragu-raguan dan kedangkalan berpikir. Sehingga keluasan hidup ini kau biarkan berlalu begitu saja tanpa bekas dalam jiwamu.”
Sampai di situ, Kiai Sutara mengalihkan pendengarannya pada lagu dangdut dari pemutar musiknya. Ia seolah sudah lupa pada apa yang baru saja diucapkannya. Asap rokok mengepul tenang dari bibirnya yang kehitaman. Lagu dangdut “Bola” yang dinyanyikan Ona Sutra terdengar begitu asiknya.
Tembokrejo, 2020
_____________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.