Orang-orang akan merayakan lebaran tahun ini di tengah wabah. Di tengah wabah yang terkadang terdengar absurd. Orang tak boleh berkunjung, tak boleh salaman, tidak boleh menerima tamu. Semua demi memutuskan rantai penularan, katanya. Kata petugas kesehatan dan pemerintah. Juga kata kaum pintar dan cerdik-pandai. Ada sakit yang dirayakan dengan kekhawatiran. Atau kematian yang juga dirayakan dengan ratapan pedih dan ucapan-ucapan berbela sungkawa yang mengharu biru. Wabah ini tidak boleh diremehkan. Sangat internasional. Gawat! Katanya. Kata petugas kesehatan atau dokter dan pemerintah. Dan di dunia yang internasional ini, tak satu pun bisa memastikan seseorang kena virus, kecuali petugas kesehatan atau dokter dan lagi-lagi pemerintah. Atau yang berwenang. Dan tidak ada kesembuhan juga tidak ada kepastian berakhirnya wabah selain dari petugas medis dan pemerintah.
Tapi baiklah.
Lebaran selalu punya peristiwa yang berbeda dari penanda waktu lebaran-lebaran sebelumnya. Setidaknya bagi yang begitu bahagia atau yang begitu berduka merayakannya. Ada yang bahagia. Ada yang berduka. Anak-anak bahagia, meski mungkin di dalam kesusahan ekonomi orangtuanya. Ada orangtua berduka, lantaran tak sanggup menyediakan uang bagi keluarganya untuk merayakan lebaran.
Di bulan puasa, seorang ibu menjajakan kerupuk dan kacang yang dibungkus plastik ke warung-warung yang malas buka. Ia pelan-pelan membawa langkahnya di bawah matahari yang panas. Ia sedang berpuasa Ramadan. Suaminya hanya seorang pegawai rendahan. Pun ketika hujan. Ibu itu kehujanan. Tapi ia tidak merasakannya sebagai penderitaan. Ia hanya membayangkan hidangan sederhana yang harus selalu ada di atas meja makan ketika waktu berbuka tiba. Seorang ibu yang tidak dimanjakan oleh android, kemelimpahan, dan kemudahan-kemudahan. Hampir berbuka. Anaknya yang kecil berpuasa. Sang ibu menyembunyikan mukanya jauh-jauh agar bisa meminjam uang pada tetangganya. Selalu saja ada keajaiban bagai mukjizat yang terjadi pada hati dan badan yang tak berhenti menemukan cara buat mengolah kehidupan.
Nasi putih bercampur jagung. Telur rebus. Dan lombok yang digerus dengan garam. Hanya cukup sedikit demi sedikit dimakan buat berbuka puasa oleh suami dan ketiga orang anaknya yang masih kecil. Semua kebagian sedikit. Semua kenyang. Semua senang. Tapi ibu itu tidak. Dia makan setelah semuanya makan. Memakan hanya dua sendok makan nasi sisa. Padahal seharian ia berpuasa dihantam panas. Tapi ia tetap tersenyum bahagia. Ia mengembangkan senyumnya yang paling indah buat suami dan anak-anaknya. Setelah mencuci semua piring, ia mengerjakan sembahyang. Ia tidak pernah merengek kepada Tuhan di dalam doanya. Ia hanya meminta agar Tuhan menguatkan tubuhnya melewati segalanya, dijauhkan dari penyakit dan ketakberdayaan. Bukan hatinya. Ia tak memohon agar hatinya kuat. Karena hatinya sudah merasa kuat dan siap dengan segalanya. Di hadapan anak-anaknya, ia selalu terlihat begitu bahagia, anggun, dan tenang. Ia menyembunyikan dan menghalau dengan sepenuh kesungguhan segala penderitaan jauh sekali ke pedalaman hatinya. Jauh sekali. Sehingga tak pernah terjangkau oleh anak-anaknya.
Tentu saja ibu dalam narasi di atas, bukan ibu perkasa. Bukan ibu yang selalu dimanjakan android, tak pernah tertangkap kamera menjadi foto-foto dan video di media sosial. Ia bukan ibu yang tercatat dalam berita. Apalagi sejarah. Sejarah tak pernah membicarakannya. Bukan perempuan yang dipahlawankan, yang berjuang penuh semangat demi kebenaran dan keadilan. Ia hanya perempuan biasa. Ibu yang tidak lulus sekolah dasar. Tentu saja ia tidak tahu politik dan perubahan ekonomi global. Tidak tahu perihal bursa saham. Tidak tahu menahu apa itu virus dan wabah. Ia cuma perempuan biasa.
Kemudian di surau dan masjid, suara ayat suci terdengar diteriakkan. Sebagian dengan semangat yang luar biasa, hingga memekakkan telinga. Sebagian lagi dengan begitu merdunya. Di YouTube, para pakar agama membahas betapa pentingnya puasa. Pahala. Dan surga. Sebagian membicarakan tafsir ayat suci tak henti-henti. Marak. Ramai. Dan ribut. Di antara iklan hari raya dan ucapan-ucapan selamat puasa dan selamat lebaran. Lebaran sebentar lagi, katanya. Konon orang beriman yang berpuasa akan memperoleh kemenangan di hari raya tersebut. Akan mendapatkan ampunan Tuhan yang seringkali tak lebih penting dari iklan sabun dan mie goreng. Dan ibu itu, tak pernah melihat semua itu. Yang ia lihat setiap saat adalah kedua mata anak-anaknya yang bening dan ceria. Kemudian pada siang yang panas, ia menempuh jalan dengan kedua kakinya, membawakan jualan ke warung-warung yang malas buka karena wabah. Ia pulang dengan kelelahan. Sedang ia berpuasa tanpa memakan makanan sahur. Ia hanya perempuan biasa. Wajahnya tidak bersih. Wajahnya kehitaman dipoles keadaan. Dia tidak punya android. Dan tak pernah tertangkap kamera. Juga bukan orang-orang yang diberi hadiah dan belas kasihan yang diiklankan.
Apakah puasa dan ampunan masih penting? Penting mana dibandingkan iklan sabun dan sarung? Apakah puasa itu agung jika hanya diwakilkan dengan 2,5 kilo gram beras sebagai zakat fitrah? Lebih agung mana dibandingkan penderitaan dan keterasingan?
Pertanyaan itu diajukan seseorang entah siapa. Dia tidak paham tafsir ayat suci dengan pengertian tafsir yang rumit dan selalu menimbulkan perdebatan yang panjang perihal iman, Tuhan, dajjal atau penyelamat dunia. Juga tidak ada di YouTube. Pertanyaan itu diajukan seseorang yang entah siapa, di tengah puasa yang selalu gaduh, di antara suara-suara ayat suci yang ramai, surga, ampunan, sirup, sarung, mie instan, di antara ributnya pengumuman kapan lebaran datang, dan di antara orang-orang yang berbuka puasa dengan kurma dan susu. Tak ada yang menjawab, sebab pertanyaan itu barangkali memang tak pernah membutuhkan jawaban.
Sobo, 2020
___________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.