“The poet…is the man of metaphor: while the philosopher is interested only in the truth of meaning, beyond even signs and names, and the sophist manipulates empty signs…the poet plays on the multiplicity of signifieds.” (Jacques Derrida)
“SAYA sangat kecewa dengan penggunaan kata “dekonstruksi”. Saya merasa telah terjadi eksploitasi atas istilah itu. Pada akhirnya, mahasiwa yang baru lulus menggunakan kata dekonstruksi sebagai streotipe untuk menghancurkan, untuk merusak, untuk mengusur…,” demikian gerutu Jacques Derrida, filsuf yang selalu bercuriga itu. Bagi Derrida (dan para pengikutnya), dekonstruksi bukanlah sebuah teori yang mesti didefinisikan lantaran sifatnya yang senantiasa terbuka bagi beragam tafsir. Tetapi ia adalah semacam strategi tekstual yang cuma bisa diterapkan secara langsung tatkala kita berhadapan dengan teks dan mempermainkannya dengan parodi.
Pada umumnya, Derrida dan para pengikutnya selalu menolak untuk mendefinisikan dekonstruksi. Karena bagi mereka, definisi adalah pembatasan, sementara dekonstruksi sendiri merupakan usaha untuk menerobos batas. Simon Citchley pernah mencoba mencari penjelasan tentang dekonstruksi ini kepada Derrida setelah membaca kecenderungannya tersebut dengan mengajukan pertanyaan, ”Bagaimana dekonstruksi terjadi atau mengambil tempat?” Dan jawaban Derrida adalah, ”Dekonstruksi selalu merupakan dekonstruksi atas sebuah teks.” Dengan begitu, Citchley kemudian menarik kesimpulan jika pemikiran Derrida selalu merupakan pemikiran tentang sebuah teks dan dekonstruksi senantiasa terkait dengan pembacaan atas sebuah teks.
Derrida, si penggerutu itu, dilahirkan di El Biar, Aljazair, 15 Juli 1930 dan meninggal dunia di Paris, Prancis, 9 Oktober 2004 akibat kanker pankreas. Beribu (mungkin tak terhitung) tulisan tentang dirinya dan kajian terhadap pemikirannya telah ditulis dan didiskusikan sebelum dan setelah kematiannya, sehingga tak pelak lagi, jejak-jejak dekonstruksi yang ditinggalkannya nyaris memenuhi wacana pemikiran di beragam bidang. Deconstruction, yang barangkali hanyalah sebuah kata sederhana dalam bahasa Prancis, berkat Derrida telah mengglobal dan memasuki berbagai bahasa, menyeruak ke dalam berbagai wilayah keilmuan, dari sastra, arsitektur, teologi, ekonomi, seni rupa, hukum, politik, sejarah, hingga kritik film.
Presiden Prancis, Jacques Chiac, berkaitan dengan meninggalnya tokoh filsafat yang kontroversial ini, konon menyebut Derrida sebagai ”filsuf kontemporer terbaik dunia, salah satu intelektual paling besar di zaman kita.”
Nama Derrida mulai mengemuka terutama ketika ia menjadi pembicara di Universitas Johns Hopkins, Amerika Serikat tahun 1966 dengan makalah ”Structure, Sign and Play in Discourse of The Human Science”. Penolakannya terhadap perkembangan sejarah filsafat Barat kala itu menimbulkan kegemparan dan mendapat tanggapan luas. Dan semenjak itulah, dekonstruksi menjadi semacam palu yang memukul penalaran dan bahasa kita.
Dari asal katanya, de dan construire, dekonstruksi barangkali mewakili sebuah cita-cita atau hasrat untuk merontokkan bangunan yang mapan, membongkar sebuah konstruksi. Di dalam kepala Derrida, dekonstruksi adalah cara membaca teks dengan menggeser ”pusat” (center) sebagai acuan dan membuka peluang kepada pemikiran-pemikiran yang berada di ”pinggiran” (margin) untuk berperan.
Pemikirannya ini syahdan banyak dipengaruhi oleh dua tradisi besar pemikiran abad ke-20, yakni fenomenologi dan strukturalisme, di samping eksistensialisme. Ketertarikannya pada fenomenologi, terutama fenomenologi versi awalnya Edmund Husserl dan Martin Heidegger ditunjukkannya dengan naskah pertamanya yang berupa manuskrip, “The Problem of Genesis in Husserl’s Phenomenology”. Naskaj itu ditulisnya sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar sarjana filsafat pada tahun 1954. Menyusul pada tahun 1962, ia menerjemahkan karya Husserl, “Foundation of Geometry” ke dalam bahasa Prancis dengan memberikan sebuah pengantar sepanjang 170 halaman yang berjudul ”Asal-Usul Geometri”, di mana ia mengkritisi pandangan Husserl atas tanda dan fungsi tanda dalam kesadaran.
Semua gagasan Derrida dapat dikatakan hasil dari pembacaannya yang teliti atas teks-teks Roussean, Ferdinand de Saussure, Husserl, Levinas, Heidegger, Bataille, Hegel, Foucault, Descartes, Levi-Strauss, Jabes, Freud dan lain-lain, yang diakuinya dengan jujur telah amat berjasa membangun dasar pemikirannya.
Barangkali benar apa yang dikatakan oleh banyak pihak, bahwa untuk memahami pemikiran Derrida adalah cukup sulit. Hal ini mungkin disebabkan Derrida tidak pernah menulis suatu buku yang utuh mengenai metodenya. Ia tidak seperti Michael Foucault yang memiliki “The Archeology of Knowlegde” atau Roland Barthes dengan “Element of Semiology”. Barangkali pula lantaran Derrida telah menciptakan istilah-istilah baru (neologi) seperti “differ(a)nce”—sebagai sebuah upaya menjaga jarak dengan filsafat lain—yang arti khususnya tak pernah sepenuhnya ia rumuskan.
Filsafat Derrida, sejak semula dan pada akhirnya mungkin adalah sebuah penafsiran, yang ia mulai dengan menafsirkan teks-teks filsafat dan mencari kelemahan-kelemahannya yang tersembunyi seraya mempermainkan logika dan asumsi dalam teks-teks tersebut. Ia mengemukakan gagasan-gagasannya yang muncul dari teks-teks yang ia baca, yang mulanya lolos dari perhatian. Karena itu, isinya seringkali menjadi tak terduga dan mengagetkan.
Dalam membaca, Derrida begitu perhatian terhadap semua tanda grafis, pengulangan, koreksi, huruf miring, titik-koma, tanda kurung yang bagaikan muncul melalui mutu suara kata-kata dalam bahasa aslinya di mana pun dihasilkan. Baginya, tak ada stabilitas makna dalam teks lantaran sebuah teks bakal selalu ditandai oleh dinamika terus-menerus yang tak mungkin distabilkan ke dalam satu tafsir tunggal. Ia menawarkan sebuah pembacaan radikal atas filsafat dan sejarah fisafat itu sendiri, menggugat dan mempertanyakan kembali filsafat yang diklaim sebagai satu-satunya penjelasan bagi dunia peristiwa. Dengan metode yang “anti-metode”, ia mendekonstruksi pengandaian-pengandaian yang paten dalam teks dan memperlihatkan kompleksitas penafsiran yang mungkin dicerap dari teks.
Derrida memulai filsafatnya yang tanpa kata akhir—karena selalu dimulai dengan pertanyaan dan diakhiri dengan pertanyaan—itu dengan sebuah “kecurigaan” akan makna transendental dan asumsi-asumsi metafisik dalam teks. Dalam mencari “logika permainan yang dikangkangi oleh kuasa penafsiran” lewat pembacaannya yang telaten, Derrida pun menyimpulkan bahwa “tak ada apa pun di luar teks”. Karena itu, kebenaran adalah intertekstual, kesalingbergantungan satu teks dengan teks yang lain tanpa bisa selesai dirumuskan dan ditafsir ulang. Ia membongkar klaim-klaim kebenaran dari sistem diskursif filsafat dan metafisika untuk membebaskan penafsiran dari beban makna dan mencoba menjadikan proses pembacaan atas teks lepas dari kuasa yang berhasrat menstabilkan penafsiran ke dalam satu modus pemaknaan tertentu.
Derrida mulai menabuh genderang perangnya terhadap dominasi logosentrisme dalam metafisika Barat dengan filsafat yang berbasis bahasa melalui karya-karyanya yang terbit di tahun 1967: “Of Grammatology”, “Writing and Differences”, dan “Speech and Phenomena”, di mana ia mendekonstruksi anggapan biner pemikiran Barat yang mengutamakan bahasa lisan di atas tulisan.
Dalam berbagai esainya, Derrida menunjukkan bagaimana para filsuf dan ilmuwan selama ini lebih mementingkan lisan (speech) daripada tulisan (writing). Padahal, tulisan, menurutnya adalah yang pertama, mendahului suara. Ini bukan berarti bahwa manusia mulai dengan tulisan fonetik, tetapi lebih kepada pengertian bahwa suara (yang oral) tak akan pernah jalan tanpa disertai tanda-tanda grafis apapun. Tulisan telah menjadi bagian dari eksistensi sosial dan tak dapat ditentukan waktu munculnya yang oleh para antropolog sering disebut sebagai konvensi grafis. Dalam konteks ini, “otentisitas” murni yang dibayangkan oleh Levi-Strauss dan Roussean misalnya, telah dihancurkan oleh tulisan, karena tulisan itu telah ada di dalam lisan. Otoritas yang ditemui pada suara bukanlah merupakan tempat perjumpaan dengan diri yang selalu disertai suatu penurunan nilai melalui tulisan (sebagai “kuburan suara”), namun tulisan di sini seyogianya merupakan suatu penulisan sebelum tulisan fonetik. Ia sezaman dengan kelahiran bahasa, dipenuhi dengan dualitas petanda/ tinanda (signified) dan yang ditandai/ penanda (signifier).
Dekonstruksi Derrida adalah strategi pembacaan yang mengungkapkan “keretakan” pada teks dan oposisi biner pada konsepnya, seperti budaya dan alam atau tulisan dan lisan.
Ia maju ke tahap selanjutnya dengan mengedepankan tulisan dalam filsafatnya, di mana tulisan hadir di dalam tema hakiki dari lisan sekaligus di dalam teks. Dengan demikian, dekonstruksi berarti upaya pengungkapan aktif atas tulisan yang tertekan sekaligus siap muncul.
Ya, pemikiran Derrida ini menjadi pokok kontroversi antara mereka yang menyetujui dengan mereka yang tak setuju. Mereka yang tidak menyetujuinya, menganggap tulisan-tulisan Derrida penuh dengan khayalan-khayalan absurd, gelap, dan bukan uraian filsafat. Ia dinilai nihilis, lantaran kegemarannya mencari-cari sisi gelap dari suatu pandangan filsafat dan membongkarnya terus-menerus. Penegasiannya secara ad absurdum, tak berbatas, berpotensi untuk merontokkan setiap pandangan yang hendak mengukuhkan kebenaran mutlak sebagai pusat pembicaraan atas sebuah teks. Karena itulah, di tahun 1962, muncul perdebatan sengit di kalangan profesor Cambridge, yang akan memberikan penghargaan tahunan untuk dirinya. Dekonstruksi yang ia bawa dianggap sebagai gimmick intellectual, tidak berisi apa-apa kecuali permainan bahasa, akal bulus dan tipu daya seperti pemikiran para Dadais. Gadamer, misalnya, menilai karya-karya Derrida tak memiliki kaitan soal kemanusiaan, religius, dan moral yang menjadi perhatian dan tuntutan para filsul dan ilmuwan.
Mempertanyakan “Kehadiran”, Menggugat Ontologi
KONSEP Dekonstruksi yang dikembangkan oleh Jacques Derrida sebetulnya bermula dari kritikannya terhadap strukturalisme dan pemikiran-pemikiran semiotika Ferdinand de Saussure. Strukturalisme menurut Derrida terlampau menggantungkan diri pada apa yang disebutnya sebagai “pusat” (center) atau “asal-usul tetap” (fixed origin) sebagai tempat bersandar dan bermuaranya setiap makna. Pusat ini mengendalikan sekaligus membatasi ruang gerak, dinamika, dan produtivitas tanda-tanda, sehingga menutup pintu bagi kreativitas tanda dan kemungkinan baru tanda yang tidak terpikirkan (unthinkable), tak terbayangkan (unimaginable) dan tak terrepresentasikan (unrepresentable), yang baginya hanya dapat dilakukan jika bahasa melepaskan dirinya dari penjara struktur dan cara berpikir struktur.
Dalam sejarahnya, strukturalisme tidak bisa melepaskan diri dari beragam penjara “pusat” yang bereproduksi dari satu determinasi pusat ke determinasi pusat yang lain, yang namanya berbeda-beda, namun bersumber pada fondasi dan prinsip akhir yang sama seperti: hakikat, eksistensi, substansi, subyek, transendentalitas, kesadaran, kebajikan, Tuhan, manusia dan lain-lain. Pusat-pusat ini bagi Derrida, walaupun mengandung sifat-sifat transenden atau melampaui pengalaman, tetapi dianggap menjadi pondasi bagi eksistensi sebuah tanda atau sistem penandaan. Dan inilah yang disebut Derrida sebagai kecenderungan metafisika kehadiran (metaphysics of presence) yang menjadi sasaran utama dekonstruksinya.
Derrida menarik kesimpulan bahwa garis besar metafisika Barat adalah determinasi: “ada” (being) sebagai “hadir” (presence). Sejak jaman Plato, filsafat Barat telah memahami “ada” ini untuk menandai “kehadiran” dalam waktu, sebagai sebuah kecenderungan untuk mengukuhkan kebenaran mutlak atas bahasa atau fenomena. Dalam metafisika semacam ini, “ada” selalu mengandaikan hadirnya sesuatu, bahkan sesuatu yang tak teraba seperti dewa dalam mitologi. “Ada” ini selanjutnya dihadirkan dalam “kekinian” yang permanen, yang membuat kita senantiasa memahami dunia dengan dua kemungkinan yaitu “ada” dan “tidak ada” (presence and absence). Di mana “kehadiran” bisa identik dengan pikiran, cogito, diri, Tuhan, dan lain-lainnya sebagai sesuatu yang tetap dan tak berubah.
Pembacaan dekonstruktivis yang diusung Derrida membawa konsekuensi serius pada khazanah pemikiran lantaran kecenderungannya yang anti-fondasionalisme; bagaimana setiap klaim kebenaran dipertanyakannya dengan memeriksa asumsi metafisik yang menjadi landasan filsafat untuk membangun pandangan dunianya. Bagi Derrida, apa yang kita bayangkan sebagai “totalitas” sesungguhnya tak pernah ada karena persinggungan kita dengan dunia senantiasa diwadahi oleh bahasa, sementara bahasa tak ada apa-apanya selain perbedaan demi perbedaan yang dikonstruksi oleh permainan tanda atau pemberian nama. Di mana menamai adalah sebuah upaya menandai, menjadikan sesuatu sebagai tanda yang dapat kita tangkap maknanya. Nama ini—meminjam Adorno—lahir dari hasrat kita untuk mengklasifikasikan segala sesuatu, dan mengurungnya ke dalam konsep dan kategori yang kita miliki.
Tetapi nama atau tanda ini tidak selamanya merangkul “yang beda” dan menguasainya ke dalam sebuah konsep. Ia hanyalah penunjuk ke sesuatu yang lenyap dari jangkauan kita dan tak pernah hadir. Sebuah nama merupakan isyarat bahwa “kehadiran” yang kita kehendaki senantiasa lolos dan menyisakan jejak/ bekas (trace). Kehadiran itu hanyalah bisa kita telusuri melalui jejaknya. Jejak atau bekas (trace) ini adalah salah satu istilah terkenal yang diperkenalkan Derrida untuk membangun filsafatnya, selain gramatologi (ilmu tentang gramma—tulisan/ huruf) dan differ(a)nce (gabungan dari difference atau “perbedaan” dengan differer yang artinya “berbeda” dan “menunda”).
Definisi dari istilah-istilah ini memang tidak mudah untuk dijelaskan. Upaya untuk menjelaskannya seringkali hanya menjadi semacam reduksi atau penyederhanaan. Gramatologi dalam konsep Derrida tidak hanya membahas tulisan yang biasa tetapi suatu tulisan dalam pengertian jaringan tanda, suatu ilmu tentang tekstualitas. Sebuah tulisan bagi Derrida—seperti yang telah disebutkan sebelumnya—haruslah dipikirkan dalam waktu bersamaan, sebagai yang lebih eksterior dari lisan, tidak hanya simbolnya saja; dan yang lebih interior dari lisan, yang di dalamnya ada tulisan (Of Grammatology, 1967).
Dalam relasinya dengan jaringan tanda ini, Derrida kemudian mengusulkan untuk mengganti Semiologi/ Semiotika (ilmu tentang tanda yang lebih luas dari linguistik) yang diramalkan kemunculannya oleh de Saussure dalam “Course in General Linguistics” dengan gramatologi. Di mana nantinya substitusi ini akan memberikan teori tentang tulisan suatu cakupan yang diperlukan sebagai reaksi atas tekanan logosentrik dan pensubordinasian ke linguistik. Derrida mencoba membebaskan proyek semiologis itu sendiri dari apa yang dibangun oleh linguistik dan dikendalikan sebagai pusat sekaligus tujuan akhirnya.
Dalam kerangka gramatologi inilah, ia memperkenalkan apa yang ia sebut sebagai “jejak” atau “bekas” yang dilembagakan. “Bekas” ini bukan suatu obyek karena sifatnya yang tidak memiliki subtansi sendiri. Ia tidak ada (hadir) tetapi sekaligus ada. “Bekas” hanya menunjukkan hal yang lain dan satu-satunya cara untuk mengenalinya adalah melalui hubungannya dengan yang lain itu. “Bekas” dalam pernyataan “dia bekas pacarku” tidak bermakna apa-apa kecuali dalam hubungannya dengan “dia” dan “pacarku”. “Bekas” ini, di mana hubungannya dengan yang lain ditandai, mengartikulasikan kemungkinannya dalam seluruh wilayah entitas (etant) yang didefinisikan metafisika sebagai “ada-yang hadir” (being-present) mulai dari gerakan gaib “bekas”.
Dengan begitu, apa yang selama ini telah dibayangkan metafisika kehadiran sebagai “ada” tidak lain hanyalah “jejak”. Ia menjadi dasar bagi semua unsur penandaan dan kemudian menjadi konsep yang membungun hubungan difference. Derrida menolak pemahaman makna de Saussure yang mengatakan bahwa tinanda (signified—konsep) dan penanda/ makna yang ditandai (signifier—aspek material dari tanda) terikat satu sama lain secara alami. Menurut Derrida, tinanda (dalam kesatuan dengan penanda) dapat berperan dan dikenal maknanya karena perbedaannya (difference) dari tinanda-tinanda lain di sekitarnya.
Metafisika kehadiran telah membawa kita kepada pemikiran bahwa kebenaran adalah sesuatu yang tetap dan stabil. Metafisika ini, keberangkatannya tidak bisa jauh dari “kehadiran” yang dibayangkan sebagai pusat kebenaran. Atau, bisa dibilang seluruh sejarah metafisika Barat diwarnai dengan asumsi adanya suatu pusat yang tidak berubah ini. Kecenderungan seperti inilah yang disebut Derrida sebagai “logosentrisme”, sebuah kecenderungan bahasa untuk merayakan pusat-pusat metafisik dan makna-makna transenden sebagai terminal makna akhir dan kebenaran akhir yang universal (logos).
Kecenderungan semiotika struktural de Saussure dalam menyandarkan proses pertandaan pada makna dan kebenaran akhir bagi Derrida, telah menutup penafsiran-penafsiran baru (interpretation of interpretation) terhadap tanda dan menjebak setiap orang pada kebiasaan teologis yang memandang struktur tanda akan bermuara pada sebuah penanda akhir (baca: Tuhan). Dan dalam teks-teks filsafat, kehadiran “logos” ini ditampilkan dengan hadirnya “pengarang” (author) sebagai subyek yang memiliki otoritas terhadap makna yang hendak disampaikannya.
Derrida pernah mengutip pernyataan Roland Barthes yang terkenal itu, bahwa “sang pengarang sudah mati”, di mana Barthes memaksudkan tentang l’auteur atau author dari mana kata “authority” berasal untuk menunjukkan “begitu teks selesai dituliskan dan dipublikasikan”, ia telah kehilangan otoritas yang dapat menentukan mana tafsir yang benar atas teks tersebut. Derrida sendiri mengatakan bahwa “saya mulai muncul dan lenyap” ketika berbicara mengenai teks yang ditulisnya. Tetapi Derrida tidaklah berhenti pada kematian sang pengarang pasca teks selesai ditulis, ia bahkan sampai kepada pemahaman lebih ekstrem bagaimana “sang pengarang (logos) harus memiliki kesadaran untuk bunuh diri dalam prosesnya menulis”, yang bila kita tarik ke wilayah teologis bisa saja berarti “Tuhan (logos) diharuskan membunuh dirinya sendiri dalam proses turunnya wahyu”. Teks bagi Derrida adalah milik bahasa, bukan milik pengarang yang bisa sewenang-wenang padanya atau mengurungnya.
Pembacaan Ganda, Menuju Senjakala Makna
DEKONSTRUKSI selalu harus dimulai dengan membaca, sebagai langkah pertama dan yang paling dasar. Dalam “Of Grammatology”, Derrida menyebutnya dengan “persoalan pembacaan kritis”. Namun apabila dekonstruksi merupakan sebuah pembacaan, apakah yang membedakannya dengan pembacaan biasa yang kita kenal?
Yang membedakan dekonstruksi dengan pembacaan yang biasa kita pahami adalah aktivitas tekstual yang disebut sebagai double reading, sebuah pembacaan ganda, pembacaan dalam dua motif atau dua lapisan. Satu sisi dari pembacaan ini bermaksud menampilkan kembali apa yang disebut Derrida sebagai “tafsiran dominan” atas sebuah teks, yang berbentuk semacam komentar. Sementara di sisi lain meninggalkan tatanan komentar, menggali titik lemah dan kontradiksi dalam tafsiran dominan tersebut, yang pada giliran berikutnya akan menyajikan pada kita sebuah pembacaan yang lain. “Komentar” di sini berarti penafsiran.
Derrida tak percaya jika sebuah teks dapat diulang dan dihadirkan kembali secara murni tanpa distorsi. Makna dominan atau sebuah konsensus minimal atas teks yang mengacu kepada bagaimana teks itu lazimnya diartikan dari struktur sebuah teks dan maksud pengarang ini selalu akan berujung kepada makna tunggal atas teks yang harus dibebaskan oleh dekonstruksi dengan pembacaan kedua. Bagi Derrida, sebuah teks tidak bermakna tunggal, namun tetap selalu terbuka. Karena itu dekonstruksi membebaskan pluralitas makna teks dari represi yang dilakukan struktur dan maksud pengarang. Dengan kata lain ingin memperlihatkan bagaimana struktrur dan pengarang telah gagal menguasai teks.
Apabila Roland Barthes memusatkan pemikirannya pada subyek (pengarang) dan Julia Kristeva pada hubungan-hubungan di antara teks-teks, pemikiran Derrida lebih menitikberatkan makna atau lebih tepatnya kemustahilan makna dari sebuah teks. Ia membentangkan sebuah fajar baru filsafat dengan memproklamirkan datangnya “senjakala makna” dalam tradisi filsafat dan linguistik Barat.
Secara umum, strategi dekonstruksi Derrida hendak meruntuhkan menara hierarki dalam oposisi filsafat Barat, yang telah membuat kita tidak berurusan dengan koeksistensi damai dari dua hal yang berhadapan (vis a vis) tetapi hierarki tatanan di mana satu term menguasai term yang lain (secara axiologis, logis, dan lain-lain) atau memegang kendali atas yang lain. Mendekonstruksi oposisi berarti juga membalikkan hierarki itu untuk sementara waktu. Mengacuhkan fase pembalikan berarti melupakan struktur konfliktual dan subordinatif dari opisisi. Dan sebagai konsekuensinya, kita pun dapat maju terlalu cepat ke naturalisasi yang dalam aplikasinya akan membiarkan bidang lama tak tersentuh, membiarkan oposisi sebelumnya tak terpegang, sehingga mencegah terjadi intervensi dalam bidang tersebut secara efektif. Dengan demikian kita bisa melompati oposisi yang merupakan efek praktis (terutama politis). Oposisi biner ala Semiologi de Saussure dinilai Derrida melewati tradisi metafisika tetapi sekaligus masih berada di dalamnya. Dua sisi dalam kesatuan dari tanda (sign), yakni tinanda (signified) dan penanda (signifier) yang menjadi hasil dari sebuah produksi yang sama dari penandaan (signification) dan menghadirkan makna dari perbedaan satu tanda dengan tanda lain dalam pemahaman de Saussure dianggapnya bukan merupakan hubungan yang setara tetapi hubungan hierarkis yang brutal.
Dan persoalan hierarki oposisi biner ini menjadi suatu hal yang semakin “jahat” ketika ia tak hanya berpengaruh pada cara berpikir, tetapi terinstitusionalisasi dan dijaga secara berkesinambungan dalam tradisi, menjadi budaya dalam arti yang luas. Misalnya Partriaki yang didukung oleh superioritas term “laki-laki” atas “perempuan”.
Di sinilah, dekonstruksi menjadi sejenis perlawanan terhadap kekerasan, ketimpangan, penguasaan, dan marjinalisasi. Ia mencari oposisi biner dalam sebuah teks, sistem pemikiran atau institusi lalu menentukan term mana yang mendominasi dan term mana yang didominasi kemudian mendekonstruksinya. Namun begitu, dekonstruksi tak dimaksudkan untuk berhenti sekadar membalikkan tatanan lama, sehingga term yang dulu didominasi balik mendominasi. Sebab jika hal itu terjadi, maka dekonstruksi masih terpenjara dalam ruang lingkup hierarki oposisi biner yang hendak dibongkarnya. Ia mesti mencari sebuah tatanan yang alternatif di luar tatanan oposisi biner ini. Namun penyelesaiannya bukanlah “sintesis” sebagaimana Hegel mendamaikan “tesis” dan “sintesis” dalam teori pertentangan kelasnya.
Menurut Derrida, perbedaan dalam oposisi biner tak mungkin didamaikan tanpa sebuah kekerasan lantaran hakikat perbedaan telah menjadi kondisi bagi sebuah sistem penandaan lewat tanda-tandanya. Tanpa perbedaan seluruh sistem penandaan bakal ambruk dan tak ada lagi makna yang tersisa. Mendekonstruksi hanyalah berarti mencoba membebaskan teks dari budaya dominan dan tradisi yang represif untuk menghadirkan sebuah teks baru yang plural dan semarak. Teks baru yang akan segera digantikan oleh kehadiran teks baru lagi.
Penutup: Sebuah Perayaan Bagi Kematian Logos
APABILA seorang Nietzche memproklamirkan “Kematian Tuhan” untuk menandai “Kelahiran (kembali) Manusia”, seorang Jacques Derrida dengan dekonstruksinya telah mengisyaratkan bagi kita sebuah “Kematian Logosentrisme” menuju “Kelahiran Differ(a)nce”, setelah teks sebagai totalitas retak dan tak ada lagi yang mampu menebus makna. Setiap teks menyisakan residu, pecahan-pecahan dari “kehadiran” yang telah musnah atau tertunda.
Differ(a)nce yang diciptakan oleh Derrida untuk menggantikan kosa kata lama yang tak lagi memadai memang mirip dengan difference yang berarti perbedaan, namun differ(a)nce-nya Derrida melampaui perbedaan yang menunjukkan ketidaksamaan dua hal dan penundaan yang tak memungkinkan suatu kehadiran. Konon, ini adalah strategi Derrida untuk menunjukkan sifat bahasa yang ambigu.
Istilah ini diibaratkan oleh Derrida sebagai sebuah “kuburan” bagi fonosentrisme (kedudukan phone—suara) dalam bahasa dan “batu nisan” (penanda) kematian logosentrisme yang mengagungkan kepastian makna dan mencemaskan ambiguitas bahasa.
Differance, dengan begitu, mengawali sebuah era baru bagi metafora yang kaya akan makna dan menandai kematian makna literal yang sebelumnya demikian istimewa dalam ranah filsafat. Ia mengakui jika differance bukanlah konsep yang harus menunjuk pada referensi tetap dan karenanya tidak memiliki eksistensi atau esensi serta tak dapat dimaksudkan sebagai sebuah bentuk kehadiran atau ketidakhadiran. Differance hanyalah semacam muslihat untuk memperlihatkan perbedaan-perbedaan implisit dan mengulurkan tantangan terhadap totalitas makna dalam teks. Differance selalu berhasrat menggelar kembali “logika permainan” yang direpresikan oleh logika dominan pengarang dengan terus-terusan mempertanyakan kembali asumsi yang mapan dan mengujinya dengan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih radikal, paradoksal, dan absurd. Ia menjadi sebuah ruang untuk membangun keragaman perspektif terhadap “teks” yang harus dibiarkan apa adanya: goyah, bergelombang, dan kasak-kusuk.
Dekonstruksi Derrida barangkali dapat diartikan sebagai sebuah pembelaan terhadap the other (yang lain), makna berbeda dari teks dan logika, sebuah pembebasan makna tanpa harus terjebak menjadi nihilisme naif seperti yang kerap disalahpahami sekian banyak orang, terutama para penentangnya. Dekonstruksi bergerak melampaui nihilisme naif seraya terus mengingatkan jika setiap konstruksi tak bisa menghindar dari karakter metaforis dan intertekstual bahasa sehingga pada akhirnya kebenaran (logos) pun menjadi begitu rentan dan tidak tunggal.
Ini semua dilakukan Derrida semata-mata membebaskan penafsiran dari beban makna, membongkar modus membaca dan menafsir yang mendominasi dan menjayakan fundamen hierarki. Bagi Derrida, realitas sesungguhnya tidak pernah ada lantara segalanya telah dikonstruksi secara budaya, linguistik atau historis. Yang ada hanya “teks”. Maka, realitas mestilah dipahami terdiri dari beragam teks dengan kebenaran yang plural (tak ada universal).
Demikianlah, “kematian” logosentrisme ini berhasrat menabuh gong bagi kelahiran sebuah dunia baru yang tanpa pusat, tanpa subyek, tanpa ontologi, tanpa sandaran makna dan kebenaran.
Karenanya, tak ada makna yang bakal menetap dalam hidup kita. Sebab makna akan terus berubah mengikuti perubahan konstelasi relasi manusia dengan ruang lingkupnya. Dan setiap teks memiliki ketakterhinggaan lapisan makna, yang terus-menerus dibaca berbeda-beda oleh pembaca yang berbeda, kepentingan yang berbeda, waktu yang berbeda, lalu selayak burung phoenix, ia pun kemudian bakal terlahir kembali dari abunya.
***
____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.