Prof DR Abdul Hadi WM *
Republika, 27 Feb 2019
Warisan khazanah satra Melayu yag begitu kaya ialah karena berasal dari peradaban Islam. Sastra warisan peradaban Islam ini untuk pertama kalinya berkembang di kepulauan Melayu dan hadir dalam bahasa Melayu. Ia tumbuh sejak abad ke-13 M dan mencapai puncak perkembangannya pada abad ke-16 – 17 M.
Mata rantai perkembangannya yang awal bermula di Samudra Pasai (1270-1415 M), Malaka (1400-1511 M), kemudian berlanjut di Aceh Darussalam (1516-1700 M) dan pusat-pusat kebudayaan Islam lain seperti Palembang, Johor, Riau, Banjarmasin, Deli, Kelantan, Brunei Darussalam, dan bahkan dapat dikatakan hampir seluruh tanah Semenanjung Malaya dan kepulauan Melayu.
Warisan peradaban Islam ini tidak hanya wujud dalam khazanah sastra Melayu. Ketika agama Islam tersebar luas di kepulauan Nusantara pada abad ke-16 dan 17 M, bahasa Melayu pun ikut terangkat kedudukan dan perannya. Demikian pula kesusastraannya, yang merupakan hasil gosokan halus dari para pujangganya yang piawai, yang bukan saja ahli sastra dan bahasa, tetapi juga ahli agama dan guru keruhanian terkemuka pada zamannya.
Sejak lama bahasa Melayu dijadikan media penyebaran agama Islam dan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan Islam di kepulauan Nusantara. Pada abad ke-16 – 17 M, bahasa yang semula hanya berperan sebagai ‘lingua franca’ dalam dunia perdagangan itu telah bangkit dan muncul sebagai bahasa pergaulan utama antar etnik dan bangsa yang berbeda-beda di Nusantara dalam bidang politik, keagamaan dan intelektual.
Kedudukan Bahasa dan Sastra Melayu
Sebagai dampak dari naiknya kedudukan bahasa Melayu, maka sastra Melayu pun juga naik perannya. Ia lantas menjadi sumber ilham dan teladan bagi sastrawan Nusantara dari etnik yang berbeda-beda itu dalam upaya untuk menghidupkan sastra Islam di daerah mereka masing-masing. Hikayat-hikayat Melayu Islam lantas disadur dan diolah kembali dengan sentuhan realitas dan budaya setempat.
Khazanah peradaban Islam itu pun lantas muncul dalam bentuk sastra Aceh, Minangkabau, Palembang, Banjar, Sunda, Jawa, Madura, Sasak, Bugis, Makassar dan lain-lain, suatu pencapaian yang tidak pernah diraih peradaban Hindu Buddha sebelumnya.
Dengan demikian seperti halnya agama Islam, bahasa dan sastra Melayu telah memberikan dasar-dasar ‘integrasi’ bagi penduduk Nusantara yang multi-etnik, multi-budaya dan multi-bahasa itu. Ini tidak bisa dilakukan oleh peradaban Buddha di Sumatera yang elite-aristokratik, dan hanya terkungkung dalam satu etnik tertentu.
Selain itu Islam juga memberikan dasar-dasar nasionalisme (proto-nasionalisme) bagi bangsa Indonesia, oleh karena hanya dengan hadirnya gerakan-gerakan anti-kolonial yang dipelopori Islam sepanjang abad ke-18 dan 19 M, nasionalisme Indonesia mendapat ciri dan corak khas yang berbeda dari nasionalisme Eropa, Jepang dan lain-lain. Nasionalisme Indonesia yang awal ialah menolak dominasi asing di bidang politik, menolak eksplotasi asing di bidang ekonomi dan menolak pemaksaan budaya asing oleh pemerintah kolonial.
Maka benarlah Kern (1917) yang mengatakan: “Kedatangan Islam telah membawa perubahan besar dalam jiwa masyarakat Melayu Nusantara. Perubahan besar itu berupa pembebasan dari belenggu mitologi yang sebelumnya mengkungkung pikiran bangsa Melayu. Datangnya Islam menyuburkan kegiatan intelektual Melayu melalui lembaga-lembaga pendidikan yang didirikannya sehingga membimbing bangsa Melayu kepada perkembangan ilmu pengetahuan dan tradisi penggunaan akal pikiran secara lebih meluas disbanding sebelumnya.”
Di bawah penerangan dan cahaya inilah sastra warisan peradaban Islam itu berkembang, khususnya di dunia Melayu.
Seperti telah dikemukakan, kesusastraan Melayu mulai menapak puncak perkembangannya pada akhir abad-abad ke-16 dan kian subur perkembangannya pada abad ke-17 – 19 M. Proses menuju puncak perkembangannya itu ditandai dengan:
(1) Derasnya proses islamisasi kebudayaan Melayu sejak pertengahan abad ke-16 M. Agama Islam tidak lagi dipeluk secara formal, tetapi ajarannya diresapi lebih mendalam dan dijadikan cermin untuk melihat realitas dan dunia. Dengan kata lain Islam dijadikan bagian utuh dari ‘kedirian’ Melayu. Dalam hal ini kebudayaan harus diartikan sebagai pandangan hidup (way of life), sistem nilai dan gambaran dunia (Weltanschauung atau worldview).
(2) Kian menonjolnya peranan penting ulama-ulama dan cendekiawan sufi dalam proses islamisasi kebudayaan Melayu. Mereka itu adalah sastrawan dan mengemukakan gagasan dan pemikiran mereka melalui karya sastra. Dengan sendirinya kitab-kitab keagamaan dan sastra memainkan peranan penting dalam meletakkan sendi-sendi dan dasar-dasar kebudayaan Melayu (lihat juga al-Attas 1972)
Tidak kalah penting ialah peranan lembaga-lembaga pendidikan Islam kian mantap di pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara pada masa ini. Lembaga-lembaga pendidikan ini tidak hanya bercorak kedaerahan, yang menerima kehadiran dan murid dari daerah setempat. Tetapi juga dari berbagai daerah lain (Graves 1981:22).
Karena itu penggunaan bahasa Melayu menjadi penting dan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa ini dijadikan bacaan dan sumber rujukan utama. Melalui lembaga-lembaga pendidikan dan ulama-ulama pesantren yang memiliki jaringan luas itulah jaringan intelektual Islam terbentuk. Dengan demikian penetrasi kebudayaan dan sastra Melayu tidak terhindarkan di wilayah-wilayah luas kepulauan Nusantara.
Pada masa inilah muncul tokoh besar di bidang penulisan sastra. Yang paling terkemuka dari mereka ialah Hamzah Fansuri, Bukhari al-Jauhari dan Syamsudin al-Sumatrani. Murid-murid dan pengikut mereka tersebar di hampir seluruh penjuru kepulauan Melayu, bahkan sampai ke tempat lain di kepulauan Nusantara. Karya-karya mereka menandai dua gejala dominan dari gelombang baru pemikiran Islam dan tradisi intelektual Melayu.
Dua gejala dominan itu ialah : Pertama, hadirnya renungan-renungan yang mendalam tentang hubungan manusia dan Tuhan, serta makna penciptaan dan kedudukan manusia selaku khalifah Allah di muka bumi yang bertola dari metafisika dan falsafah sufi. Ini tercermin dalam syair-syair Hamzah Fansuri.
Kedua, munculnya teori kekuasaan yangbertolak dari pendekatan sufistik seperti terlihat dalam karya Bukhari al-Jauhari (Taj al-Salatin) dan Nuruddin al-Raniri (Bustan al-Salatin). Negara tidak lagi dipandang sebagai refleksi kedirian seorang raja seperti pada zaman Hindu, melainkan sebagai pranata yang merupakan wadah bagi terwujudnya kesatuan harmonis antara raja dan rakyat, antara makhluq dan Khaliq (Taufik Abdullah 2002).
Periode ini disebut oleh Braginsky (1993) sebagai ‘periode kesadaran diri’. Banyak pembaruan dilakukan pada masa ini. Setelah tiga tokoh yang disebutkan tadi muncul pula pembaru sastra dan pemikiran keagamaan, seperti Nuruddin al-Raniri, Tun Sri Lanang, Abdul Rauf Singkel, Abdul Jamal, Hasan Fansuri, Jamaluddin al-Tursani, dan lain-lain.
Kebaruan karya-karya Melayu abad ke-16 dan 17 M tampak pertama kali dalam syair-syair tasawuf Hamzah Fansuri, karya-karya bercorak adab Bukhari al-Jauhari dan Nuruddin al-Raniri. Salah satu di antaranya yang terpenting ialah keberanian pengarang untuk mengekspresikan pengalaman dan pengetahuan pribadinya. Ini dimungkinkan karena mereka berkarya berdasarkan estetika sufi dan ilmu tasawuf. Dalam kenyataan pengalaman rohani dalam tasawuf hanya bisa diperoleh secara personal.
Dalam hubungannya dengan perkembangan kebudayaan, karya-karya mereka itu seperti dapat dikatakan dalam batas tertentu, berhasil menyadarkan pembaca Nusantara tentang betapa pentingnya budaya membaca dan menulis bagi perkembangan dan kelangsungan peradaban (Braginsky 1992). Arti penting lain ialah karena sampai abad ke-19, karya-karya tersebut menjadi teladan dan dijadikan sumber ilham bagi penulis Nusantara lain dalam bahasa ibu mereka masing-masing.
Malahan beberapa gagasan penting mereka, termasuk wawasan estetiknya, dilanjutkan oleh beberapa penulis abad ke-20 dengan memberinya cita rasa modern, seperti Sanusi Pane, Amir Hamzah, Ali Hasymi, Hamka, Aoh K. Hadimadja, dan lain-lain.
Beberapa penulis terkemuka Angkatan 70 juga menggemakan kembali suara-suara para sufi Melayu abad ke-16 dan 17 M dalam konteks baru situasi budaya dan kondisi kemanusiaan. Contoh terbaik ialah Kuntowijoyo, Danarto, M Fudoli Zaini, dan Sutardji Calzoum Bachri. Penulis Indonesia yang menggemakan suara para sufi Melayu itu ialah Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, D Zawawi Imran, Hamid Jabbar, Ahmadun Y Herfanda, dan lain-lain.
***
Estetika Sastra Melayu
Karya-karya penulis Melayu klasik, yang dihasilkan sejak akhir abad ke-16 sampai menjelang akhir abad ke-19, amat berlimpah dan aneka ragam jenis dan coraknya. Sesuai jenisnya karya-karya tersebut dapat dikelompokkan menjadi:
(1) Hikayat Nabi Muhammad s.a.w.; (2) Hikayat Nabi-nabi sebelum Rasulullah; (3) Hikayat Para Sahabat Nabi; (4) Hikayat Orang-orang Saleh dan Suci; (5) Hikayat Pahlawan-pahlawan Islam; (6) Karangan bercorak Tasawuf; (7) Karangan bercorak kesejarahan; (8) Sastra Adab; (9) Cerita Berbingkai, termasuk kisah binatang; (10) Syair Rampai; (11) Cerita Jenaka; (12) Pelipur lara dan lain-lain.
Masing-masing jenis dari hikayat ini mempunyai ciri dan fungsi tersendiri, dan sumber penulisannya juga berbeda-beda. Hikayat Nabi Muhammad s.a.w misalnya ditulis berdasarkan sejarah kehidupan Nabi Muhammad dari sumber-sumber paling awal, termasuk kesaksian kerabat dekat dan sahaba-sahabat Nabi yang mengikuti perjuangan beliau menyebarkan agama Islam. Khususnya seperti yang dikumpulkan oleh al-Tabari pada abad ke-8 M dalam kitabnya Sirah Nabi Muhammad. Hikayat Nabi-nabi sebelum Rasulullah misalnya ditulis berdasarkan sumber-sumber al-Qur’an, dilengkapi dengan kisah-kisah yang telah lama dikenal bangsa Arab dan Ibrani melalui Taurat, Zabur dan Injil. Kisah berhubungan dengan asal-usul kerohanian Nabi Muhammad yang diramu berdasarkan konsep kosmologi sufi ialah Hikayat Kejadian Nur Muhamad.
Braginsky (1993) mengelompokkan karya-karya Melayu warisan peradaban Islam menjadi tiga berdasar peringkat wilayah atau lapisan garapannya: Pertama, karya-karya yang menggarap lapis Kesempurnaan dan Estetika Batin; kedua, karya-karya yang menggarap lapis Faedah dan estetika Hikmah; Ketiga, karya-karya yang menggarap lapis Hiburan dan Estetika Zahir.
Karya-karya yang menggarap sfera kesempurnaan (kamal), menggambarkan upaya manusia mencapai pengetahuan tertinggi (ma`rifat), jalan kerohanian (suluk), bentuk pengalaman dan keadaan rohani (maqam dan ahwal) yang diperoleh seorang penempuh jalan ruhani (salik) dan lain sebagainya.
Karya-karya yang menggarap era kesempurnaan jiwa ini juga menggambarkan cita-cita manusia mencapai pribadi insan kamil meneladani Nabi Muhammad SAW, kerinduan seorang `asyik (pencinta) kepada Sang Kekasih (mahbub), yaitu Yang Satu. Dalam karya kategori ini dipaparkan juga jalan pengenalan diri, yang amat penting bagi seorang Muslim untuk mengenal perannya sebagai khalifah Tuhan di atas dunia dan sekaligus hamba-Nya. Termasuk dalam kategori ini ialah syair-syair Tasawuf yang sering dikenal sebagai Syair Tauhid dan Makrifat.
Selain ditulis dalam bentuk puisi didaktis dan imaginatif simbolik, juga ada yang ditulis dalam bentuk kisah perumpamaan. Karya-karya Hamzah Fansuri dan murid-muridnya seperti Abdul Jamal, Hasan Fansuri, Syamsudin Pasai, dan juga beberapa karangan Abdul Rauf Singkel dan lain-lain termasuk dalam kategori ini. Kecuali karya tiga penulis ini terdapat karya ahli tasawuf lain yang namanya belum diketahui. Di antaranya Syair Perahu (dalam tiga versi yang berbeda), Ikat-ikatan Bahr al-Nisa’ (Lautan Perempuan), Syair Dagang (yang agaknya ditulis penyair asal Minangkabau), Hikayat Burung Pingai, Syair Alif dan lain-lain.
Karya-karya yang mengungkap sfera faedah. Termasuk Hikayat Nabi dan para sahabatnya, Hikayat Pahlawan Islam, serta karya kesejarahan dan adab. Karya katagori ini bermaksud memperkuat dan menyempurnakan akal manusia, yaitu sarana intelektualnya, dengan membeberkan kisah-kisah yang mengandung hikmah dan pengajaran. Di antara karya termasuk sastra adab yang terkenal ialah Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja) karya Bukhari Jauhari dan Bustan al-Salatin (Taman Raja-raja) karya Nuruddin Raniri dan Nasih Luqman al-Hakim (anonim). Karya-karya ini menjadi cermin pengajaran dan tuntunan bagi raja-raja, pegawai pemerintahan dan pemimpin masyarakat dalam menjalankan pemerintahan agar tercapai keadilan dan kesejahteraan sosial, dan dengan demikian agama berkembang. Sedangkan karya bercorak sejarah menggambarkan jatuh bangunnya raja-raja dan dinasti, sebab-sebab kejatuhan dan kebangunannya, peristiwa-peristiwa penting yang mempengaruhi kehidupan masyarakat dan jalannya sejarah.
Karya bercorak sejarah ada yang ditulis dalam bentuk syair dan ada yang ditulis dalam bentuk prosa. Bustan al-Salatin merupakan karya bercorak sejarah dan adab. Karya bercorak sejarah lain yang terkenal ialah Hikayat Aceh (anonim), Sulalat al-Salatin atau Sejarah Melayu karya Tun Sri Lanang dan Tuhfat al-Nafis karya Raja Ali Haji. Jumlah karya bercorak sejarah sangat banyak. Selain yang telah disebut, karya kesejarahan lain yang masyhur ialah Hikayat Pasai, Hikayat Merong Mahawangsa, Hikayat Banjar, Misa Melayu, Hikayat Johor, Hikayat Maulana Hasanuddin, Hikayat Patani, Sejarah Raja-raja Riau, Salasilah Melayu dan Bugis Salasilah Kutai, Hikayat Bengkulu dan lain-lain.
Di Jawa genre serupa disebut babad seperti Babad Tanah Jawi, Babad Pasundan, Babad Giyanti, Babad Madura, Babad Besuki dan lain-lain. Di Minangkabau karya kesejarahan disebut tambo. Di antara yang masyhur ialah Tambo Minangkabau.
Karya bercorak sejarah yang ditulis dalam bentuk syair di antaranya ialah Syair Perang Mengkasar, Syair Sultan Maulana, Syair Moko-moko, Syair Sultan Zainal Abidin, Syair Perang Siak, Syair Pangeran Syarif Hasyim, Syair Singapura Terbakar, Syair Siti Zubaidah Perang dengan Cina, Syair Kompeni Walanda Perang dengan Cina dan lain-lain. Menurut Ali Ahmad (1991) karya bercorak sejarah yang disebut salasilah memiliki unit cerita yang terdiri dari kisah-kisah dan legenda, namun tidak seperti hikayat yang diikat oleh perkembangan tokohnya yang stereotype, karya kesejarahan diikat oleh perkembangan kejadian dan hikmah yang dikandung dalam kejadian tersebut.
Krisis yang terjadi dalam sebuah negara, yang membuat jatuhnya sebuah dinasti atau seorang raja, selalu dicari sebabnya pada krisis moral dan akhlaq, serta penyimpangannya terhadap ajaran Islam, misalnya tidak dilaksanakannya keadilan dan raja tidak lagi taat pada undang-undang dan tidak berperan sebagai pelindung rakyat dalam arti yang sebenar-benarnya.
Menurut Ali Ahmad lagi, munculnya karya kesejarahan dan hikayat yang bernaeka ragam itu, kian menjadikan kesusastraan Melayu tidak lagi streotaip, tetapi terbuka kepada berbagai-bagai kemungkinan. Ini menjadikan nilainya meningkat, dan pada saat yang sama memperkuat dasar keberadaannya, sebab ia menumpukan maknanya pada nilai Tauhid dan konsekwensi moralnya bagi mereka yang menghayati keluasan makna Tauhid.
Juga karya-karya itu, serta penyebarannya yang luas, menggambarkan latar belakang tempat dan kebudayaan Melayu dengan jelasnya di mana Islam telah dihayati pada peringkat fikrah dan amalannya, dalam arti berkaitan dengan soal hubungan manusia dengan Tuhan dan berkaitan pula dengan soal hubungan manusia dengan sesamanya. Dengan demikian estetika yang ditonjolkan ialah estetika berkenaan hikmah atau Estetika Hikmah.
Karya-karya yang menggarap sfera hiburan dan estetika zahir (luaran), termasuk ke dalam jenis ini ialah Pelipur Lara. Tujuan karya seperti itu ialah menyerasikan kesan-kesan kejiwaan yang kacau disebabkan kobaran hawa nafsu, sebuah sarana penghayatan indrawi atau sensual manusia dalam menanggapi kehidupan. Kesan-kesan kejiwaan yang kacau harus diserasikan dengan nilai moral dan ajaran agama, dan upaya ke arah itu dicapai melalui bantuan keindahan karya sastra yang memberikan semacam psikoterapi kepada jiwa, yaitu menghibur atau melipur. Karangan-karangan dalam kategori ini termasuk hikayat dan syair percintaan, kisah petualangan yang dibumbui kisah-kisah luar biasa atau ajaib. Kisah-kisah ajaib ini tidak dimaksudkan sebagai mitos, melainkan sebagai representasi pengalaman jiwa manusia yang ruang kejadiannya berlaku di alam mitsal atau alam imaginal.
Alam Mitsal mempunyai tempat tersendiri dalam teori sastra dan estetika Islam. Ungkapan-ungkapan dalam puisi atau karangan sastra adalah perwujudan alam mitsal, hasil pemikiran dan imaginasi pengarang yang dijelmakan dalamm ungkapan estetik sastra. Jadi karya sastra adalah kias atau perumpamaan. Misalnya syair-syair sufi, ia tidak lain adalah kias terhadap perjalanan rohani ahli suluk dari alam jasmani menuju alam batin.
Tidak jarang kisah yang tergolong pelipur lara seperti Hikayat Syekh Mardan dan Hikayat Inderaputra digubah menjadi alegori sufi, sehingga fungsi hikayat ini berubah menjadi sarana renungan masalah keruhanian.
Sering dikatakan bahwa kesadaran akan pentingnya indvidualitas baru dimulai oleh Pujangga Baru dan Chairil Anwar pada abad ke-20. Ini tidak benar sebab Hamzah Fansuri dan murid-muridnya telah mempelopori kecenderungan ini lebih kurang tiga abad sebelum munculnya Pujangga Baru Begitu pula gagasan tentang kemerdekaan penyair dalam merombak bahasa demi pengucapan estetik, yang disebut licensia poetica, secara kreatif dan luar biasa telah diterapkan lama dalam sastra Nusantara. Pada zaman Hindu ia telah dilakukan oleh Mpu Kanwa, Mpu Tanakung dan Mpu Prapanca. Tetapi yang lebih dahsyat dilakukan oleh Hamzah Fansuri dan murid-muirdnya di Sumatra pada abad ke-16 dan 17 M.
Kecuali itu karya para penyair Sumatra itu membuka babakan baru sejarah kepenyairan kita dengan puisi-puisi, yang menyajikan pencerahan profetik. Karya-karya mereka otentik sebab didasarkan atas pengalaman dan pengetahuan pribadi. Pengalaman dan pengetahuan tersebut dicapai melalui upaya intelektual dan spiritual yang disadari. Karena itu tidak mengherankan apabila banyak kritikus, seperti al-Attas, Brakel dan Braginsky, memandang Hamzah Fansuri sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu, seorang perintis jalan yang melalui karya-karyanya berhasil membawa sastra Melayu memasuki babakan yang universal dan kosmopolitan dalam semangat penciptaan.
Saya ingin mengutip pernyataan Teeuw (1992): “Mungkin pada penglihatan pertama pembaca menganggap pemakaian kata-kata Arab berlebih-lebihan dan mengganggu. Pembaca yang terbiasa menganggap puisi dapat dinikmati hanya dengan perasaan semata-mata, tanpa perlu berpikir, akan kecewa membaca puisi Hamzah Fansuri. Puisi Hamzah Fansuri memerlukan pengetahuan yang luas di bidang bahasa dan kebudayaan Arab Persia, termasuk pengetahuan tentang Islam dan tasawufnya.
Kekayaan daya pikir dan luasnya pengetuan yang diperlukan untuk membaca puisi Hamzah Fansuri bukanlah tanda kelemahan atau kegagalan puisi Hamzah Fansuri. Puisi Hamzah Fansuri juga kaya dengan unsur puitik: diksi puisinya khas, ungkapan-ungkapannya kaya dan orisinal, begitu juga tamsil dan imagerinya. Juga ada kreativitas bunyi…”
Bagaimana Hamzah Fansuri menekankan pada pentingnya individualitas tampak dalam bait-bait penutup dari syair-syairnya, seperti contoh berikut ini:
Hamzah miskin hina dan karam
Bermain mata dengan Rabb al-`Alam
Selamanya sangat terlalu dalam
Seperti mayat sudah tertanam
Hamzah sesat di dalam hutan
Pergi uzlat berbulan-bulan
Akan kiblatnya picik dan jawadan
Itulah lambat mendapat Tuhan
Hamzah miskin orang `uryani
Seperti Ismail jadi qurbani
Bukannya `Ajami lagi Arabi
Nentiasa wasil dengan Yang Baqi
Seperti halnya penulis-penulis Jawa Kuna memperkenalkan bentuk-bentuk teori sastra dan estetika tersendiri, demikian pula dengan penulis Melayu Islam. Wawasan estetika dan teori sastra yang diperkenalkan itu adalah hasil penafsiran terhadap teori sastra dan Arab-Persia, khususnya dari Ibn Sina, al-Jurjani, Imam al-Ghazali., Ibn `Arabi, `Attar dan Rumi. Teori Jurjani yang diambil antara lain ialah pandangannya bahwa karangan sastra/puisi merupakan bangunan struktural yang kompleks dari pengalaman kejiwaan dan spiritual yang diungkapkan melalui bahasa figuratif (majaz) yang bersifat simbolik. Mutu karangan tergantung pada cara mengolah imajinasi (takhyil) dan kualitas pengalaman spiritual atau kemanusiaan yang disampaikannya (Abu Deeb 1988; Ismail Dehoyat 1994).
Dalam sistem estetika Melayu yang bersumber dari pandangan tokoh-tokoh tersebut, karya seni dipandang sebagai sarana transendensi, yaitu tangga naik menuju hakikat tertinggi. Penulis menyajikan obyek-obyek visual dalam karyanya sebagai citraan (tasybih) dan simbol (mitsal) untuk membawa pembaca mencapai pengalaman transendental seperti `isyq (cinta ilahi). Mengenai gambaran dunia para penulis Melayu melihat alam semesta sebagai kitab agung yang sangat indah, sebuah karya sastra agung. Sang Khalik menjelmakan dunia ini dari Perbendaharaan Ilmu-Nya yang tersembunyi (kanz makhfiy) didorong oleh Cinta. Menurut mereka lagi, dunia ditulis dengan kalam Tuhan pada Lembaran Terpelihara (lawh al-mahfudz), Sebagaimana dunia, pribadi manusia juga merupakan sebuah kitab agung, sebuah karya sastra. Pada manusia keseluruhan hikmah alam semesta direkam dengan diringkas. Hikmah-hikmah tersebut hadir sebagai ayat-ayat-Nya, yaitu tanda-tanda-Nya yang menakjubkan. Karena itu mengenal hakekat diri sangat penting bagi manusia (Abdul Hadi W.M. 2001).
Sesuai dengan gambaran tersebut karya sastra mesti dibentuk menyerupai pribadi manusia, yang secara struktural merupakan kesatuan bangunan kejiwaan yang kompleks. Ungkapan zahir atau bentuk luar (surah) karya sastra, sebagaimana tubuh beserta gerak dan isyarat yang disampaikan anggota-anggotanya, hendaknya diusahakan dapat memberi sugesti atau isyarat tentang kehadiran rahasia Tuhan dan keberadaan gaib-Nya di antara ciptaan-ciptaan-Nya. Demikianlah gejala-gejala alam, peristiwa-peristiwa sosial dan sejarah, keindahan obyek yang berbagai-bagai di dunia, merupakan manifestasi dari Cinta Tuhan dan Pengetahuan-Nya yang tersembunyi itu. Semua itu dihadirkan secara estetik untuk memberi efek tertentu kepada jiwa.
Cara meresapi dan memahami hakekat penciptaan, selain dengan jalan akal dan inderawi, ialah melalui peresapan kalbu atau pemahaman intuitif (`isyq). Perkataan seperti berahi, rindu, mabuk, takjub, lena, leka, gharib, asyik, karib tamasya dan lain-lain merupakan tamsil dan citraan-citraan kunci dalam estetika Melayu. Tamsil dan citraan-citraan kunci itu dapat kita jumpai dalam hikayat-hikayat Melayu, termasuk misalnya dalam penggambaran taman ghairah di istana Aceh abad ke-17 M oleh Nuruddin al-Raniri dalam Bustan al-Salatin. Begitu pengaruhnya masih dapat kita kesan dalam sajak-sajak Amir Hamzah dan Sutardji Calzoum Bachri.
Menurut Ibn Sina dan al-Jurjani, citraan-citraaan puitik puisi di dalam keseluruhan bangunan sebuah sajak, dicipta untuk memberi efek kejiwaan dan moral tertentu kepada pembacanya, bukan semata-mata efek inderawi atau sosial. Penyair-penyair sufi lebih jauh menggunakan citraan dalam puisi dengan maksud memberi efek kerohanian, khususnya kerinduan kepada Tuhan.
***
*) Prof DR Abdul Hadi WM, Sastrawan dan Guru Besar Univeritas Paramadina.
https://republika.co.id/berita/pnjcn6385/di-mana-inspirasi-dan-estetika-sastra-melayu-part1