Makalah Kemah Sastra IV Medini
F. Rahardi *
Gatoloco, merupakan tokoh sentral dalam buku dengan judul sama. Lengkapnya judul buku itu Suluk Gatoloco, Kitab Gatoloco, Balsafah (filsafat) Gatoloco. Buku yang menggunakan Bahasa Jawa modern, dengan huruf Jawa ini dan terbit di Kasunanan Surakarta, Jawa Tengah; pada awal abad 19, atau akhir abad 18 ini merupakan karya seorang penulis anonim.
Pada kurun waktu itu pun, buku ini sudah menggegerkan kalangan establish, terutama elite Kasunanan dan para ulama. Setelah Indonesia Merdeka, buku ini resmi dilarang oleh Kejaksaan Agung, dan sampai sekarang belum dicabut. Dalam buku ini, si penulis anonim dengan meminjam mulut Gatoloco, secara vulgar mengolok-olok Islam.
Rasul Mekah ingkang sira-sembah, ora nana ing wujude, wus seda sewu taun, panggonane ing tanah ‘Arbi, lelakon pitung wulan, tur kadangan laut, mung kari kubur kewala, sira sembah jungkar-jungkir saben ari, apa bisa tumeka? Sembahira dadi tanpa kardi, luwih siya marang raganira, tan nembah Rasule dewe, siya marang uripmu, nembah Rasul jabaning diri. Kabeh sabangsanira, iku nora urus, nebut Allah siya-siya, pating brengok Allah ora kober guling, kabebregen suwara. Rasulu’llah seda sewu warsi, sira-bengok saking wisma-nira, bok kongsi modot gulune, masa bisa karungu, tiwas kesel tur tanpa kasil.
(Rasul Mekah yang kalian sembah, tak ada ujudnya. Sudah wafat seribu tahun, tempatnya di tanah Arab, perjalanan tujuh bulan, lagi pula terhalang laut, tinggal hanya makamnya. Kalian sembah jungkir-balik tiap hari, apakah bisa sampai? Sembah kalian jadi tanpa guna, lebih banyak menyiksa badan, tak menyembah Rasul sendiri, menyia-nyiakan hidup kalian, menyembah Rasul di luar diri. Kalian semua ini tak sopan menyebut Allah sia-sia, teriak-teriak sampai Allah tak sempat tidur keberisikan suara kalian. Rasulu’llah wafat seribu tahun, kalian teriaki dari rumah kalian, sampai memanjang leher kalian, tak akan bisa mendengar. Terlanjur capek dan tanpa hasil.)
Kalimat-kalimat vulgar itu disampaikan oleh Gatoloco, tokoh sentral buku ini, kepada tiga orang guru: Kiai Abdul Jabar, Kiai Abdul Manap, dan Kiai Ahmad Arif; beserta enam murid mereka dari Pondok Rejosari. Sebelum mengolok-olok “Rasul Mekah”, Gatoloco dengan tiga guru dan enam murid itu telah berdebat tentang banyak hal. Mulai dari soal mandi, mengisap candu, sampai halal haram.
Najan iwak asu, sun-titik asale purwa, lamun becik tan dadi seriking janmi. Najan babi celenga, ngingu dewe awit saking cilik, sapa ingkang wani nggugat mring wang? Halale ngungkuli cempe. Sanajan iwak wedus, yen asale srana tan becik, haram, lir iwak sona. Najan babi iku, tinilik kawitanira, yen purwane ngingu dewe awit genjik, luwih saking maenda. Najan wedus nanging nggonmu maling, luwih babi iku haramira. Najan mangan iwak celeng, lamun asale jujur, mburu dewe marang wanadri, dudu celeng colongan, halale kalangkung sanajan iwak maesa.
(Meskipun daging anjing, saya lihat asal-usulnya baik, tak akan menyakitkan hati sesama. Meskipun babi, hasil peliharaan dari kecil, siapa yang berani menggugat diriku? Halalnya melebihi anak kambing. Meskipun daging kambing, tapi dari perilaku tak baik, haram ibarat daging anjing. Meskipun babi, dilihat asal-usulnya hasil memelihara dari anakan, itu melebihi domba. Meski kambing tapi hasil maling, melebihi babi haramnya. Meski makan daging babi hutan, tetapi hasil berburu sendiri dari hutan, bukan babi hutan curian, halalnya melebihi daging sapi.)
Debat antara Gatoloco dengan tiga guru dan enam murid itu jelas dimenangkan Gatoloco. Tiga guru itu tak terima. Mereka mengadu ke Maha Guru, Ulama Besar dengan 300 murid bernama Kiai Hasan Besari, di Pondok Cepekan. Demi mendengar aduan tiga guru dan enam muridnya ini, Kiai Hasan Besari marah. Ia mengutus tiga orang santri untuk mencari Gatoloco di ngepaken, tempat menjual dan mengisap candu (opium). Dan benar, Gatoloco ada di sana. Sebelum memenuhi panggilan Maha Guru Kiai Hasan Besari, Gatoloco “ngerjain” tiga orang santri ini. Dengan alasan takut sakau di Pondok Cepekan, kopiah tiga orang santri ini diminta Gatoloco, untuk ditukarkan dengan candu.
Menaklukkan Lima Perempuan
Dalam Pupuh II, Dandanggula, Gatoloco lan Candrane; tokoh utama buku ini dilukiskan sangat buruk. Lelaki ideal pastilah yang gagah, tinggi besar, berwajah tampan. Gatoloco justru kebalikannya. Selain bertubuh kecil, kurus, bertampang jelek, berpakaian lusuh, tak pernah mandi, dan karena kebiasaannya mengisap candu, baunya juga apek.
Endek cilik remane barintik, tur aburik wau rainira, ciri kera ing mripate, alis barungut tepung, irung sunti cangkeme nguplik, waja gingsul tur petak, lambe kandel biru, janggut goleng semu nyentang, pipi klungsur, kupingira anjepiping, gulu panggel tur cendak.
Pundak broyol semune angempis, punang asta cendak tur kuwaga, ting carentik dariyine, alekik dadanipun, weteng bekel bokongnya cantik, semu ekor dengkulnya, lampahipun impur, kulit ambesisik mangkak, ambengkerok napasira kempas-kempis, sayak lesu kewala.
(Pendek, kecil, rambut keriting, wajah burik, mata kurus, alis menyatu, hidung kecil, mulut lebih kecil lagi, gigi gingsul, bibir tebal dan biru, dagu berlekuk, pipi kempot, telinga tegak, leher pendek, pundak melorot, ruas lengan pendek, jari-jari buntek, dada cekung, perut menonjol, pantat tepos, lutut pengkor, jalannya limbung, kulit bersisik dekil, napas kembang-kempis, selalu tampak lesu.)
Dengan penampilan seperti itu, Gatoloco mampu menaklukkan lima perempuan sekaligus. Tersebutlah, dalam debat dengan Guru Besar Kiai Hasan Besari, Gatoloco berhasil mengalahkannya. Hasan Besari mengaku kalah, lalu sesuai janji sebelumnya, ia menyerahkan seluluh pondok berikut 300 orang santrinya kepada Gatoloco, lalu pergi meninggalkan Pondok Cepekan. Gatoloco memberi nasihat kepada para santri itu, agar jangan sombong seperti Kiai Hasan Besari. Setelah memberi wejangan panjang-lebar, Gatoloco juga meninggalkan Pondok Cepekan untuk kembali mengembara.
Dalam pengembaraan kali ini, sampailah Gatoloco ke Padepokan Cemorojamus, di Gunung Endragiri. Padepokan Cemorajamus dipimpin oleh Retno Dewi Lupitwati, dibantu oleh empat cantrik perempuan: Dewi Mlenukgembuk, Dewi Dudulmendut, Dewi Roro Bawuk dan Dewi Bleweh. Nama-nama itu merupakan sinonim dan bentuk slank dari alat kelamin perempuan. Begitu datang, Gatoloco langsung dibuly habis-habisan oleh Lima perempuan ini. Gatoloco bersabar, seraya menantang debat. Lima perempuan itu setuju mau menjadi istri Gatoloco apabila kalah debat. Dalam debat dengan tiga guru, Gatoloco memberi teka-teki, dan tiga guru menebak. Kali ini, yang memberi teka-teki lima perempuan itu, dan Gatoloco menebak dengan sangat tepat.
Sesuai janji, lima perempuan itu mengaku kalah dan siap diperistri Gatoloco. Kurangajarnya, Gatoloco langsung minta lima perempuan itu telanjang bulat, agar ia bisa yakin kalau mereka perempuan dengan melihat langsung alat kelaminnya.
Para garwa samya manut, tyas ajrih den supatani, sadaya lukar busana, Gatoloco duk umeksi, gumujeng alatah-latah, sarwi ngingkrang munggeng kursi. Mangkana denira muwus, saiki katon sajati, wus ceta nyata wanita, tengere wadon kaeksi, warna-warna datan pada, ana gede ana cilik. Rehning ceta wus kadulu, wujudnya sawiji-wiji, akarya renaning driya, ing samengko sun-lilani, kabeh pada tutupana, ngagema busana maning. Yen sireku arsa weruh, marang sajatining laki, duwekingsun tingalana, becike apa saiki, utawa mengko kewala, sakarepmu sun-turuti. Lamun sira ngajak ngadu, duwekmu lan duwek-mami, manira manut sakarsa, gelem bae ingsun wani, sira ngajak kaping pira, manira saguh ngladeni.
(Para istri menurut, karena takut terkena sumpah, semua melepas busana. Gatoloco mengamati, lalu tertawa terkekeh-kekeh, sambil mengangkat kaki ke atas kursi. Jadi sekarang saya yakin karena semua tampak nyata sebagai wanita, dengan tanda kelamin masing-masing. Bermaacam bentuk, tak ada yang sama, ada yang besar, ada yang kecil. Karena sudah tampak wujud kelamin masing-masing, yang membuat lega hati; sekarang silakan kembali mengenakan busana masing-masing. Apabila kalian ingin membuktikan kelakian saya, silakan dilihat, apakah mau sekarang, atau nanti, silakan saja saya akan ikut. Kalau kalian ngajak mengadu milikmu dan milikku, saya juka akan ikut kehendak kalian. Saya mau dan berani, kalian mau ngajak berapakali, saya sanggup meladeni.)
Yang Dikritik Perilaku
Sebenarnya Gatoloco bukan sedang mengritisi ajaran Islam, melainkan perilaku sebagian pemeluknya. Faham yang ditampilkan Gatoloco, masih paralel dengan ajaran Kejawen pada umumnya. Para penganut ajaran Kejawen yang secara formal sudah masuk Islam, seringkali disebut sebagai Islam Abangan. Sebutan ini mengacu pada Syekh Lemah Abang, atau Syekh Siti Jenar. Meskipun kritik Gatoloco yang sangat vulgar ini, masih sebatas sebagai gagasan (ide); bukan perlawanan frontal seperti yang pernah dilakukan oleh Syekh Siti Jenar terhadap Walisongo (Wali Sembilan). Padahal, Walisongo, salah satunya Sunan Kudus; demikian toleran dan menjaga perasaan Umat Hindu yang masih cukup banyak pengikutnya.
Itulah sebabnya menara Masjid Kudus dibangun dengan bentuk candi Hindu. Sunan Kudus juga melarang masyarakat Muslim di kotanya menyembelih dan mengonsumsi sapi. Sebab sapi merupakan hewan suci bagi masyarakat Hindu, karena merupakan kendaraan Hyang Syiwa. Di Kudus yang disembelih dan dikonsumsi kerbau. Hingga sampai sekarang, meskipun yang dijual sudah daging sapi, mayarakat tetap menyebutnya sebagai daging kerbau. Toleransi seperti ini juga dilakukan oleh Sunan Kalijaga. Ia justru memanfaatkan wayang dengan cerita Mahabharata dan Ramayana, serta gamelan; sebagai sarana dakwah. Tetapi sikap hidup bertoleransi seperti ini tak bisa serta-merta diikuti oleh semua pemeluk Islam di Tanah Jawa.
Yang terjadi justru sebaliknya. Siapa pun yang tak seperti mereka, akan dicap sebagai musuh dan untuk itu mereka harus diganjar celaka di dunia dan akhirat.
Janma ingkang rupane kajeki, sarwi noleh ngandika mring sabat, pada tingalana kuwe, manusa kurang wuruk, datan weruh sakehing nabi, neng dunya wus cilaka, iku durung besuk, siniksa aneng achirat, rikel sewu siksane neng dunya kuwi, mulane wekasingwang.
Ingkang petel sinauwa ngaji, amrih weruh syara’ Rasulu’llah, slamet dunya achirate, sapa kang neja manut, ing sari’at Andika’ Nabi, mesti oleh kamulyan, sapa kang tan manut, bakale nemu cilaka, Ahmad ‘Arif mangkana denira eling, janma iku sunkira. Dudu anak manusa sayekti, anak belis setan brekasakan, turune memedi wewe. Gatoloco duk ngrungu, den wastani yen anak belis, langkung sakit manahnya, nanging tan kawetu. Ngungkapi gembolanira, kleletipun sajebug sigra ingambil, den untal babar pisan.
(Manusia dengan penampilan seperti ini, (sambil menengok ke arah murid), lihatlah dia, manusia kurang pendidikan, tak tahu sekian banyak nabi. Di dunia sudah celaka, dan besuk, akan disiksa di Akhirat, lipat seribu dari siksa di dunia. Maka pesan saya, giatlah belajar mengaji, agar tahu syara’ Rasulu’llah, selamat dunia akhirat. Siapa pun yang ikut sari’at Andika’ Nabi, akan mendapat kemuliaan. Siapa yang tak nurut, akan celaka. Demikianlah menurut Ahmad Arif, mengingatkan. Sebenarnya dia ini bukan anak manusia, melainkan anak iblis brekasaan, keturunan hantu wewe. Demi mendengar disebut anak iblis, Gatoloco benar-benar sakit hati, tapi tak dia ungkapkan. Ia justru mengambil segenggam klelet candu dari kantungnya, lalu dia telan sekaligus.)
Gatoloco, dugaan saya tak hanya terkait dengan ajaran Tasawuf (menyatunya manusia dengan Tuhan, manunggaling kawulo Gusti); melainkan merupakan sisa-sisa ajaran Tantraisme, yang pada zaman Kerajaan Kediri menyatu dengan Syiwaisme dan Buddhisme. Sebab dalam ajaran Tasawuf Syekh Siti Jenar, tak ada candu dan seks. Sementara Gatoloco seorang pengisap candu. Meskipun tak secara harafiah dilukiskan adegan seks, tetapi nama Gatoloco sendiri, dengan alias Barang Panglusan, dan Barang Kinisik; merupakan salah satu sebutan untuk penis, phalus, alat kelamin laki-laki. Dan dengan penampilan yang sangat buruk ini, Si Gatoloco mampu menaklukkan lima perempuan yang cantik jelita.
Sebutan Mlenukgembuk, Dudulmendut, Roro Bawuk dan Bleweh; untuk perempuan cantik; sebenarnya juga merupakan kekurangajaran. Tetapi belum sampai ke pelecehan. Sebab di lain pihak diri Gatoloco sendiri juga dilukiskan sangat buruk. Dalam buku disebutkan Gatoloco menang debat dengan lima perempuan. Tetapi debat yang sebenarnya, sama dengan saat Gatoloco berdebat dengan tiga guru dan Kiai Hasan Besari; merupakan adu argumentasi antara pikiran moderat, dengan pikiran sempit keagamaan. Bahkan sebenarnya bukan hanya pikiran sempit Islam, melainkan juga pikiran sempit semua agama.
Di lain pihak, Gatoloco juga membela pluralitas. Dalam debat dengan tiga guru, Gatoloco diancam akan dibunuh.
‘Abdu’lmanap duk miyarsi, mojar mring Ahmad ‘Arif, ‘Abdu’ljabar yen sarujuk, wong iki pinatenan, lamun maksih awet urip, ora wurung ngrusak syara’ Rasulu’llah.
Iku wong mbubrah agama, akarya sepining masjid. Gatoloco asru ngucap, den enggal nyuduk mring mami, sapisan nyuduk jisim, pindo batang sira-suduk, ya ingsun utang apa, arsa mateni mring mami, saurira mung lega rasaning driya.
Krana sira ngrusak syara’, Gatoloco anauri, syara’ tan kena rinusak, pinesti dening Hyang Widdhi, syara’e, yen mangan lebokna silit, iku tetep aran janma ngrusak syara’.
Dene bangsane agama, sasenengane wong ngaurip, sanajan agama Cina, lamun terus lair batin, yekti katrima ugi.
(‘Abdu’lmanap memberi tahu Ahmad ‘Arif dan ‘Abdu’ljabar. Bila setuju, orang ini kita bunuh saja. Sebab kalau dibiarkan hidup, arahnya akan merusak syara’ Rasulu’llah. Ini orang merusak agama, akan membuat masjid jadi sepi. Gatoloco menjawab, cepat tusuk saja saya. Pertama kalian akan menusuk mayat. Kedua bangkai yang kalian tusuk. Memangnya saya hutang apa hingga kalian mau membunuhku? Hanya untuk memuaskan hati? Kata tiga guru, karena kamu telah merusak syara’. Gatoloco menjawab, syara’ tak bisa dirusak. Syara’ sudah ditentukan oleh Hyang Widdhi. Kalau kalian makan dimasukkan leawt dubur, itu baru merusak syara’. Tapi kalau soal agama, itu terserah pilihan masing-masing. Mau agama China, tetapi kalau tulus lahir batin, akan diterima juga.)
Pertentangan antara yang mapan (pusat) dengan yang pinggiran; memang akan terus abadi. Siddhartha Gautama, Lao Tzu, Kong Hu Cu, Yesus Kristus, Muhammad; adalah tokoh-tokoh pembaharu; yang pada zamannya menentang kemapanan berpikir, bermasyarakat, dan berTuhan. Sebagai pembaharu pada zamannya, para “Nabi” itu juga ditentang oleh mereka yang mapan. Syekh Siti Jenar juga merupakan simbol perlawanan dari kemapanan Walisongo. Dan Gatoloco, meski hanya berupa buku tipis, pengaruhnya tetap besar sampai dua abad setelah ditulis. Salah satu puisi Goenawan Mohamad, penyair modern Indonesia, berjudul Gatoloco.
GATOLOCO
Aku bangun dengan 7.000.000 sistem matahari
bersatu pada suatu pagi
Beri aku es! teriakku,
Tiba-tiba kulihat Kau di sudut itu.
Keringatku tetes, Gusti, apakah yang telah terjadi?
“Tak ada yang terjadi. Aku datang kemari.”
Memang kamar seperti dulu kembali.
Kulihat kusam sawang pada kisi-kisi.
Kulihat bekas hangus, tahi tikus.
Kulihat mata kelelawar.
Kulihat puntung separuh terbakar.
Kulihat hitam kayu oleh lampu, dan wajahku
pada kaca almari itu.
Tapi di luar tak ada angin, hanya awan lain.
Tak ada getar, hanya gerak. Tak ada warna,
hanya cahaya. Tak ada kontras, hanya ….
“Jangan cemas,” gurau-Mu. “Aku tak ‘kan menembakkan pistol
ke pelipismu yang tolol.”
Tapi Kau datang kemari untuk menggugatku.
“Jadi kau tahu Aku datang menggugatmu.”
Mimpikah aku? Mengapa tak tenang tempurung kepala
oleh celoteh itu?
“Celoteh dan cerewetmu!” Tiba-tiba Kau menudingku.
Sesaat kudengar di luar gerimis kosong, sekejap
lewat bukit yang kosong. Sesaat kudengar suaraku.
Ah, kefasihanku. Tiba-tiba aku membenci itu.
Aku memang telah menyebut nama-Mu.
“Kau tak menyebut nama-Ku, kau menyebut namamu.”
Makin suram kini suara-Mu.
Hei, berangkatlah dari sini! Aku tahu ini hanya mimpi!
“Tidak. Ini bukan mimpi.”
Kalau begitu inilah upacara-Mu.
“Benar, inilah upacara-Ku.”
Ya, barangkali aku telah tak peduli selama ini.
Tapi apakah apakah yang Kau kehendaki? Mengembalikan posisiku
pada debu, kembali?
“Tidak. Tapi pada kolong dan kakerlak, pada kitab
dan kertas-kertas dan kepinding yang mati setiap pagi hari.
Padamu sendiri.”
Kini aku tahu. Aku milik-Mu.
“Dan Aku bukan milikmu.”
Aku memang bukan santri, bukan pula ahli.
“Mengapa kau kini persoalkan perkara itu lagi?
Kau hanya pandai untuk tak mengerti.”
Oke. Kini aku mencoba mengerti. Ternyata Kau tetap
ingin mengekalkan teka-teki dan mengelak dari setiap ujung
argumentasi. Tapi mengapa kau tetap di sini?
“Sebab kulihat matamu basah dan sarat.”
Ah, begitukah yang Kau lihat?
Kulihat memang garis-garis yang kuyup bertemu dengan
garis-garis yang kuyup. Butir-butir yang miskin berkeramas
dalam butir-butir yang miskin. Ada garis-garis buram,
seolah kelam terkena oleh bulan.
Dan kurasa angin terjirat. Kudengar hujan yang gagal.
Langit berat. Dan panas lembab dalam ruang yang sengal.
“Agaknya telah sampai kini batasmu.”
Aku tahu.
“Artinya dari kamar ini kau tak akan berangkat lagi.”
Artinya dari kamar ini mungkin aku tak berangkat lagi.
“Kau tak bisa lagi memamerkan-Ku.”
Aku tak bisa lagi memamerkan-Mu.
“Tak bisa berkeliling, seperti penjual obat, seorang pendebat.”
Tak bisa lagi berkeliling.
“Tak bisa lagi bersuara tengkar dari seminar ke seminar,
memenangkan-Ku, seperti seorang pengacara. Sebab kau hanya
pengembara, yang menghitung jarak perjalanan, lelah tapi
pongah, dengan karcis dua jurusan.”
Sebab aku hanya seorang turis, tak lebih dari itu?
Gusti, beranjaklah dari sini. Telah Kau cemoohkan tangis
pada mataku.
1973
Cimanggis, 25 April 2018.
_____________
*) Floribertus Rahardi atau F. Rahardi, lahir di Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah 10 Juni 1950, seorang penyair, petani, wartawan, penulis artikel, kolom, kritik sastra, cerpen, novel, dll. Pendidikan drop out kelas II SMA tahun 1967, dan lulus ujian persamaan SPG (1969). Pernah menjadi guru SD, dan kepala sekolah di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Tahun 1974 ke Jakarta, lalu alih profesi menjadi wartawan, editor serta penulis artikel/kolom di berbagai media. Pertama menulis puisi akhir tahun 1960-an, dimuat di Majalah Semangat, Basis (Yogyakarta), dan Horison (Jakarta).
https://frahardi.wordpress.com/2018/05/11/gatoloco-dan-dewi-mlenukgembuk/