Hari Puisi : Titik Balik Perspektif

Halim HD *
Kompas, 18 Agu 2013

Tak ada yang melarang jika seseorang mengoreksi, melakukan otokritik terhadap apa yang dinyatakan atau dilakukannya pada masa lampau. Justru kesadaran kepada self criticism itulah yang menjadi salah satu keunggulan manusia sebagai makhluk kebudayaan. Tanpa sikap dan cara berpikir kritis kepada diri sendiri, hanya menciptakan sejenis sikap narsisus dan akan terperangkap ke dalam sikap megalomanian.

Namun, tentu saja ada beda antara seseorang yang melakukan otokritik melalui suatu pernyataan yang mengungkapkan bahwa dirinya melakukan sejenis kekeliruan atau ketidaktepatan di dalam memandang masalah pada zaman lampau dan dia memasuki lubang kegelapan sehingga tak mampu menelisik secara jelas apa masalah yang paling mendasar yang ada di hadapannya. Keterbatasan saat berhadapan dengan sejumlah masalah adalah hal yang biasa dan wajar. Seperti juga keterbatasan suatu teori yang memiliki kaitan dengan ruang, waktu, dan lingkup sosialnya.

Kadang kita menyaksikan sikap seseorang yang dengan gampang membalik dan memantati masa lampaunya lalu menepuk diri seolah-olah masa lampau hapus begitu saja dan dirinya menganggap seolah orang lain tak memiliki ingatan. Dan ironisnya lagi dengan sejenis sikap menepuk dada bahwa kini dirinya berada di jajaran paling depan dalam berhadapan dengan berbagai masalah yang ada di lingkungannya. Hipokrisi, itulah yang kita saksikan.

Dan hal itulah rasanya yang paling terasa jika kita membaca sejumlah berita di media cetak tentang peringatan Pekan Hari Puisi Indonesia di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, pada 30 Juli 2013. (Kompas, 1 Agustus 2013). Sejumlah penyair yang dianggap dedengkot dan yang menganggap prihatin kepada kaum muda, kini mereka berusaha menggedor kaum muda agar memperhatikan kondisi negerinya. Jika mereka melakukan kritik, tak keliru dan adalah kemestian sebagai warga pembayar pajak dan adalah kewajiban bagi sastrawan, penyair, seniman untuk membongkar kondisi jumud yang kini dihadapinya. Yang mungkin agak meleset ketika mereka menuding kaum muda dan melecehkan kaum intelektual. Kita tahu kehidupan akademisi dan intelektual kita berada di dalam krisis yang paling dalam sejenis memasuki sikon fin de siècle, kondisi kronis dengan kemuraman dan kebuntuan seperti terjadi di Eropa pada abad XIX, kita kini merasakannya dan dengan belenggu lebih dari zaman lampau: di kerangkeng oleh kapital.

Kerangkeng

Namun, bukan cuma kerangkeng kapital saja yang membelenggu, melainkan juga kekuasaan dan politik yang tampaknya kini tak lagi memiliki pijakan etik. Dalam kondisi itulah kerakusan merajalela dalam semua lini kehidupan, puisi dan sastra, yang dianggap sebagai kumbang yang tak mampu menyengat, dipaksa dan terpaksa untuk bicara tentang zamannya. Sinisme terhadap sastra dan khususnya puisi sebagai kumbang tak bersengat itu berada di balik apologi tentang ketiadaan apresiasi terhadap kesenian, khususnya sastra di kalangan elite politisi. Maka apologi ini sesungguhnya tak dibutuhkan benar. Sebab, sastra, puisi, dan jenis kesenian lainnya tak perlu menunggu sampai kaum politisi memiliki komitmen terhadap kehidupan kesenian. Upaya kaum
seniman dan sastrawan untuk menggugat zaman adalah panggilan. Sudah menjadi watak bagi sastra untuk tidak membiarkan zaman yang dikelola oleh elite politisi dengan cara sewenang-wenang. Dari hal itulah apa yang disebut sastra terlibat, sastra yang menggugat menjadi bagian kehidupan di lingkungan masyarakat.

Dan hal itulah yang ingin dinyatakan oleh kaum penyair ketika mereka hadir di atas panggung Hari Puisi. Akan tetapi, kenapa mereka baru bicara sekarang, kenapa mereka begitu sinis dan menggebu-gebu menggedor kaum intelektual dan politisi beserta kekuasannya? Kenapa mereka tak sejak dulu, ketika di tahun 1980-an, dan sebelumnya ketika Rendra bicara tentang berbagai segi negatif dari pembangunan yang menciptakan jurang sosial dan ke arah pembangkrutan kehidupan peradaban, mereka begitu sinis, dan menyatakan kumbang yang tak memiliki sengat, sebagaimana mereka sinis kepada novel Korupsi karya Pramudya Ananta Toer?

Kenapa kini mereka merasa berada di garda paling depan di dalam menggugat zaman? Sementara itu, dalam kasus Sastra Kontekstual, mereka yang paling gigih menentang dan bahkan cenderung mendeskreditkan melalui berbagai isu politik, menuding pendukung Sastra Kontekstual sebagai Neo Lekra. Bahkan, tak segan dan tak merasa malu menudingkan telunjuk seperti Kopkamtib bahwa pendukung Sastra Kontekstual sebagai ”komunis baru” dan ada pula yang bersifat rasial.

Kondisi zaman bisa menjadi guru yang baik dan zaman pula yang mampu dan dapat mengubah seseorang. Sejak lama saya punya prediksi bahwa kondisi negeri ini, yang dikelola dengan cara sewenang-wenang tanpa hati nurani dan menjadikan warga sebagai tong sampah, serta keadilan kian menjauh dari kehidupan, maka mau tak mau siapa pun akan tergugah pikiran dan hatinya. Dan untuk itulah apologi untuk Sastra Kontekstual tak dibutuhkan benar. Yang ingin saya sampaikan di sini, hanya mau menyatakan, ada baiknya para sastrawan dan penyair dari aliran, genre, atau sekte apa pun untuk tak sewenang-wenang menghakimi.

Sebab, sekali lagi, zaman yang akan menilai. Dan penilaian itu tak jauh benar dari pelupuk mata: kita bersyukur kaum penyair masih menuliskan dan menggugat kondisi lingkungannya, betapapun ironinya, seiring ironi pusat kesenian yang kian menjadi akuarium.

_________________
*) Networker Kebudayaan, Solo.
https://budisansblog.blogspot.com/2013/08/hari-puisi-titik-balik-perspektif.html

Leave a Reply

Bahasa »