Imajinasi, Observasi, dan Intuisi pada Cerpen “Langit Makin Mendung”

H. Bahrum Rangkuti

Tidak mudah melukiskan secara objektif dan ilmiah judul di atas ini, lebih-lebih karena cerpen Langit Makin Mendung karangan Kipandjikusmin, sangat dihebohkan oleh golongan besar umat Islam. Hamka sendiri sebagai saksi ahli dalam sidang pengadilan atas dimuatkannya cerpen tersebut dalam majalah Sastra, merasa dirinya sangat tersinggung dan menyatakan kepada hakim ketua, ia akan murtad jika ia sebagai Penanggung Jawab majalah Kiblat memuatkannya dalam majalah yang dipimpinnya itu.

Antara dua kurung, dapatkah diambil kesimpulan bahwa oleh ucapannya itu, H.B. Jassin pun telah dicapnya keluar dari Islam, karena telah mempublikasikan cerpen Langit Makin Mendung dalam Sastra?

Kita tidak tahu, apakah Buya Hamka sejauh itu pikirannya waktu melontarkan kata-kata keras tersebut. Atau emosinya sudah amat memuncak, sehingga sikap radikalnya tak sempat disentuh oleh kelembutan dan belas kasihan Muslim, sebagaimana termaktub dalam Quran: “Faman ‘afaa wa wa aslaha fa ajruhu ala’ilahi; innahu laa yuhibu zhaalimiin,” (Asy Syura’a ayat 40), artinya: Maka siapa-siapa yang memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain, karena mengandung maksud akan mewujudkan perbaikan, beroleh pahala di sisi Allah. Dan ia pun tak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Yakni, Tuhan yang mengetahui watak dan kelemahan insan dalam berbagai kondisi mengadakan restriksi (pembatasan) pada ancaman, tuntutan yang bersifat apa pun, jika pengampunan (pemaafan) dapat menimbulkan impresi yang baik pada si yang bersalah.

Lebih-lebih jika yang disangka bersalah atau si tertuduh berbuat salah atau kurang benar, telah melakukannya karena kurang atau pun belum dalam pengertian pahamnya. Dalam Quran pun Allah berfirman: “Innama ‘ttuabatu ‘ala’ilahi lilladzina ya’ maluuna ‘ssuua bi-jahaalah,” (An Nisa’ ayat 17), artinya: Allah menerima taubat orang-orang yang berbuat salah, karena ketidaktahuan mereka.

Jelasnya, sebab-sebab sebenarnya sesuatu perbuatan salah ialah ‘kurang’ mendalamnya pengetahuan seseorang mengenai latar belakang sesuatu hal ataupun perbuatan, yang dianggap salah atau tak benar.

Apakah sebabnya seseorang kurang benar atau mendalam pengetahuannya? Karena memang tak pernah dibacanya ataupun tak ada orang yang menyampaikannya kepadanya apa yang benar sampai diketahuinya seluk-beluk sesuatu masalah. Maka agama yang benar selalu menuntun para pengikutnya kepada penghayatan hakiki, sehingga mereka pun lambat mendalam pengetahuannya dan benar tingkah laku dan perbuatannya.

Jika ini tak tercapai, bukanlah agama itu yang ‘tak’ benar, tetapi para pemuka dan alim-ulama ‘kurang’ giat menjalankan dakwah dan tarbiyah (pelajaran dan pendidikan). Lebih-lebih pada zaman ‘guncang-guntainya’ (masyarakat dengan gejala-gejala kekaburan makna dan tafsiran (semantical confusion), kaum ulama dan mereka yang paham nilai-nilai agamalah yang seharusnya tampil ke depan siang dan malam, untuk merangsang umat mendalami nilai-nilai agama dan menumbuhkan akhlak kepujian.

Jadi sikap beradab yang tersirat dalam ayat-ayat Quran di atas ini ialah, bahwa kaum alim-ulama dan sarjana Islam seharusnya ‘merangkul’ mereka dengan inti hakiki ajaran Islam sedalam-dalamnya, baik dalam tulisan ataupun dalam lisan, maupun dalam amal perbuatan sehari-hari.
***

Saya melihat cerpen Langit Makin Mendung yang menghebohkan itu dari sudut pikiran-pikiran di atas ini. Tujuan pengarang dengan nama samaran Kipandjikusmin ialah: hendak mensucikan Islam dari racun-racun paham baru yang menyesatkan (Nasakom), sehingga banyak dari pengikut-pengikutnya dengan sadar ataupun tidak memperpincang dan melumpuhkan Islam. Iman dan Islam menjadi permainan bibir semata-mata. Ada pula dari orang-orang Islam yang karena putus asa atau tak menghayati inti hakikatnya mencari hiburan pada perempuan-perempuan bunga raya, minum alkohol, gadis-gadis, dan lain-lain. Krisis akhlak, derita, kemiskinan merajalela di mana-mana. Sebagian besar pemimpin hanya ngomong doang (cakap saja), tidak memperlihatkan leadership yang meyakinkan.

Semua peristiwa dan gejala yang destruktif untuk Islam ini, menimbulkan ‘imajinasi’ pengarang Kipandjikusmin. Ia sendiri yakin, Islam akan jaya terus, akan menang atas segala macam, sebagaimana dikemukakannya dalam suatu adegan yang padu dan dahsyat, yakni: “Sabda Allah tak akan kalah. Begitu pun Islam, ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun. Suara Nabi mengguntur dahsyat, menggema bumi, di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, di kebun-kebun karet, dan berpusar-pusar di laut lepas. Gemanya terdengar sampai ke sorga, disambut takzim ucapan serentak: Amien, amien, amien! Neraka guncang, iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan cambuk petir bersahut-sahutan.”

Sebenarnya fakta observasi sebagaimana dilukiskan pengarang sebelum sampai pada adegan ini adalah untuk menonjolkan bahwa Islam sebagai agama yang dikehendaki Allah Swt. tokh akan jaya dan gemilang pada akhirnya, meski bagaimana campur tangan insan, geliting akhlaknya, dan lekuk-lekuk pemikirannya. Ia telah mengambil risiko akan dituduh ‘menghina’ Islam, tetapi di sinilah inti hakikat ‘niat’nya: Islam pasti tetap dan jaya!

Memang untuk memahami niat pengarang ini, kita juga memerlukan intuisi halus di samping apresiasi seni sastra dan hakikat’wujud agama. Yakni Islam mengemukakan, bahwa evaluasi sesuatu amal perbuatan berdasarkan niat yang dikandung semula, berdasarkan hadis Nabi Muhammad: Inna kullu ‘i-a’maalu bin niyati (?-P).

Jadi jika niat ataupun motif amal karya baik, hasilnya betapapun pada lahirnya buruk, bersifat baik jua. Makanya dalam agama, ‘lubuk niat’ perlu benar diasuh tiap-tiap saat. Sebaliknya dalam hukum sekuler yang utama ialah apa yang kentara (lahiriyah). Seseorang dapat dituntut oleh pengadilan oleh tingkah laku atau tindak-tanduknya yang kelihatan. Niat atau motif jarang sekali dapat dikemukakan sebagai bahan peradilan. Agama mengutamakan sekali fungsi dan kerja niat. Menurut Islam, seseorang dapat menjadi ahli sorga, karena banyak niat-niatnya yang luhur dan suci, meskipun amalnya belum sampai merealisasi niatnya dengan sempurna.

Dalam kritik seni sastra pun motif amat penting, yakni pertanyaan yang pernah dirumuskan oleh Jean-Paul Sartre:

i. Mengapa saya mengarang?
ii. Untuk siapa saya mengarang?
iii. Apa yang saya inginkan dengan karanganku itu?

Adapun tujuan Kipandjikusmin dengan cerpennya Langit Makin Mendung, telah kita kemukakan pada halaman-halaman terdahulu. Soal: Untuk siapa dia telah mengarangkan cerpennya itu?—dapat dijawab dengan pikiran-pikiran di bawah ini.

Yakni ia mengarangkannya justru kepada orang-orang Islam dan pengarang-pengarang yang benar-benar mau menghayati nilai dan inti hakikat agama sebagaimana telah diajarkan Tuhan Swt. supaya mereka berhati-hati pada masa depan, jangan terpedaya oleh berbagai macam isma yang bisa menodai kesucian agama Islam.

Supaya mereka yang pernah berkultus kepada Nasakom (nasional-agama-komunis) menjalankan taubat sebenar-sebenarnya dan kembali menumbuhkan Islam yang murni dan kreatif.

Supaya mereka yang tak ber-Tuhan ataupun mereka yang bejat, jangan berilusi, bahwa Islam akan lenyap dari permukaan bumi. Islam akan tetap jaya oleh kurnia Tuhan Swt. karena didukung oleh sabda Ilahi.
***

Bahwa Kipandjikusmin ada melukiskan Tuhan dalam cerpennya dengan kata-kata dan sifat insan, ditinjau dari sudut kesusastraan dan dari sudut higher sufism (tasawuf mendalam), sebagai meminjam istilah Dr. Mohammad Iqbal, dapat diterima oleh emosi dan simbolik keagamaan. Dalam bahasa tasawuf, banyak benar sufi dan penyair Islam menggunakan pengertian-pengertian anthropomorphism. Mohd. Iqbal sendiri adalah ahli dalam bahasa demikian, sehingga pada mulanya sajak-sajaknya pun ditentang oleh alim-ulama Islam di India dan dia dicap kafir. Tetapi kemudian ia dipuji-puji sebagai penyair Muslim yang unik, yang belum pernah muncul ke permukaan bumi selama 1000 tahun terakhir.

Menarik hati bagi kita ialah juga beberapa rangkaian hadis Nabi Muhammad saw. yang digolongkan hadis ‘qudsi’ yakni hadis yang diwahyukan Tuhan Swt. sendiri, dan yang bahasanya bersifat anthropomorphistis, misalnya:

a. Idza taqarraba ‘abdi ilaiyya bin-nawwafil, fakuntu basarahu alladzi yubsiru bihi. Wa sam’uhu allazi yasmaa’u bihi, wa yaduhu allati yabsutuhu. (Apabila hamba-Ku mencari kehampiran kepada-Ku dengan jalan sembahyang sunat, maka Aku pun menjadi matanya untuk melihat, telinganya untuk mendengar, dan tangannya untuk menjamah),

b. As saajidu yasjudu baina qadamayyi ‘Rahmaani (Orang yang sujud dalam sembahyang, berbuat demikian antara kedua kaki Tuhan).

Juga dalam hadis-hadis sahih, bahkan muttafaqun ‘alaihi (disepakati oleh semua kumpulan hadis terkemuka), Allah dilukiskan beroleh sifat iman, seperti:

a. Yadh-haku ‘Ilahi subhaanahu wa ta’aala ila rajulaini yaqtulu ahadu-huma ‘l-aakhar, yadkhulaani’l-jannah (Allah Swt. tertawa tentang dua orang, yang seorang membunuh yang lain, tetapi kedua-keduanya masuk surga)—diriwayatkan oleh Abu Hurairah.

b. Yang lebih aneh lagi ialah suatu hadis, juga diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: Allah akan bersabda pada hari kiamat: ‘He anak Adam, dahulu aku sakit, tetapi engkau tak datang berkunjung …. He anak Adam, dulu aku minta minum, tetapi engkau tidak kunjung memberi Aku minum…” Yakni maksud daripada hadis ini ialah, bahwa ada seorang insan di bumi yang sakit dan haus, tetapi orang yang dicakapi Allah itu, tidak mau menjenguk dan memberinya minum. Jika ia datang berkunjung, tentulah ada Tuhan di dekat yang malang itu.

Pula contoh bahasa anthropomorphistis dari Hadis dan Quran, dapat kita kemukakan, yang semuanya pada hakikatnya ialah untuk mengemukakan aspek plastis daripada hubungan insan dengan Tuhan Swt. Dalam pengertian agama: usaha menghampirkan diri kepada Al-Khalik atau kehampiran Tuhan dengan manusia, rapat bertaut dengan amal-amal qurban (qurb = dekat, hampir). Semua karya pengurbanan di jalan Tuhan tujuannya untuk hampir atau qurb kepada Allah.

Kambing, lembu yang dikurbankan pada hari Idul-Adha dan lalu dibagi-bagikan antara fakir miskin dan tuna-karya, adalah untuk beroleh kehampiran kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prajurit yang mengorbankan jiwanya dalam mempertahankan tanah air dan menegakkan kalimah Allah Swt. juga mengharapkan kehampiran kepada-Nya.

Demikian juga pengarang, yang punya imajinasi kuat untuk menghadirkan para Nabi dan Malaikat di permukaan bumi ini dalam sesuatu bentuk karya sastra, pada hakikatnya ingin hampir kepada Tuhan dan cita-cita yang diidam-idamkannya.

Di dalam falsafah modern pun, gejala mendekatkan kesegalaan ini nyata benar, lebih-lebih dalam aliran eksistensialisme. Misalnya Heidegger menciptakan istilah Entfernung, yakni usaha mendekatkan atau melenyapkan kejauhan sama sekali. Dikatakannya bahwa ciri insan ialah entfernend, yakni suka sekali mendekatkan segala sesuatu pada dirinya, seperti: radio, televisi, ruang kosmos, kesanaan dari yang jauh, dan sebagainya.

Sebaliknya agama yang kita anuti di Indonesia ini, sudah lama benar dirasakan oleh kaum berpikir sebagai sesuatu dari yang jauh benar. Tuhan pun seolah-olah hilang di balik awan. Hadis-hadis dan ayat Quran yang menggambarkan hampirnya Tuhan kepada insan, jarang benar disampaikan kepada umat beragama. Kepercayaan berkerak demikian, lambat-laun di berbagai kalangan umat yang percaya menyebabkan Ia ditanggapi sebagai Zat yang tak ada hubungan apa-apa lagi dengan manusia. Ia tokh sudah tak berbicara lagi. Ia sudah bisu.

Pengertian-pengertian beginilah yang mungkin tergambar dalam Kipandjikusmin, sehingga dalam imajinasinya, digambarkan Jibril sudah tua,—karena tak membawa wahyu lagi kepada seorang nabi di dunia (sebab Muhammad saw. ialah nabi penutup), dan Tuhan Swt. (na’udzu billaahmin dzaalik) sudah tak menggunakan mata-Nya lagi yang melihat dengan belas kasihan kepada umat manusia yang terlunta-lunta dalam gelita dan kebodohan. Lalu dilukiskan pengarang Kipandjikusmin kondisi Tuhan demikian dengan memakai kacamata emas.

Memang bagi mereka yang selamanya beramah-tamah dengan hukum-hukum fiqh, simbolik demikian mengagetkan. Samalah halnya Omar Khayyam dan Iqbal dimaki-maki kaum fuqaha, sebab Tuhan dilukiskan memberi anggur kepada insan dan mengajaknya minum-minum. Padahal secara simbolis anggur yang mereka maksudkan ialah kecintaan samawi (heavenly love).
***

Andai kata Kipandjikusmin lebih mendalam lagi pengetahuannya tentang simbol dan simbolisasi mengenai wujud Ilahi, sifat-sifat-Nya, para malaikat, alam barzakh, dan kerja para Nabi dalam seberang makam itu, tentulah ia akan dapat menciptakan karya sastra yang lebih mengasyikkan. Tetapi dalam hal ini pun, pada hemat kami buku-buku agama di Indonesia yang dikarang oleh alim-ulama dan sarjana Islam belum sampai mengupas inti-inti hakikat Islam itu. Yang ada hanyalah tersimpan dalam kalbu alim-ulama tertentu, kadangkala dikandung secara rahasia, kadangkala segelintir pemuka tasawuf itu merasa belum waktunya menguraikan seluas-luasnya kepada orang-orang awam.

Kita hanya bertanya, apakah belum waktunya Departemen Agama mengadakan sesuatu lembaga ilmiah yang dapat merangsang dan mengajak kaum cerdik-pandai, pengarang-pengarang, dan seniman berdialog dengan kreatif dan bebas mengenai hal-hal dan soal-soal asasi di bidang agama, keimanan, dan pengetahuan.

Lembaga ini akan baik benar untuk memupuk para seniman, sastrawan, dan ahli pikir/ alim-ulama yang lain coraknya dan justru oleh akhlak dan ilmu sastra karya mereka dapat memanggil orang yang mencari nilai-nilai agama hakiki kepada sumber cahaya Islam yang senantiasa cemerlang itu.

Bismillah!

(Sumber: Harian Merdeka, Tahun 24 Nomor 6915, 25 Februari 1970)

Tulisan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/05/proses-lahirnya-manifes-kebudayaan/

Sepilihan Esai & Kritik Sastra, Copyright © Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6, KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA, Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa).

2 Replies to “Imajinasi, Observasi, dan Intuisi pada Cerpen “Langit Makin Mendung””

Leave a Reply

Bahasa »