Djoko Saryono *
Apakah yang ada di kepala, ingatan, dan bayangan sebagian besar di antara kita (baca: sebagian besar masyarakat Indonesia atau warga Indonesia pada umumnya) ketika disebut kata/istilah: kampung? Yang terbit di kepala, teringat, dan terbayang niscaya gambar(an) serba negatif, suram dan kelam, serta sumber segenap persoalan. Memang, tampaknya alam pikiran atau cara pandang sebagian besar di antara kita, yang sudah dirasuki oleh cara berpikir kolonialistik yang dilanjutian oleh modernisme klasik-baku terutama pembangunan-isme (developmentalism) terkesan jumawa-congkak (arogan) terhadap kampung. Pandangan serba negatif dilekatkan pada kampung, nyaris tak tampak dimensi, aspek, dan spektrum keberadaan dan sosok kampung yang bisa disebut positif.
Bukan hanya dalam ingatan-bayangan, hal tersebut juga tampak tegas pada bahasa, wacana, makna, dan realitas kehidupan sehari-hari. Dalam simbol, semantik, dan realitas sosiologis, kampung mengalami stigmatisasi dan itu dibekukan oleh pelbagai kalangan. Betapa tidak! Perhatikan saja, secara semantis atau bahasawi, istilah kampung senantiasa dimaknai negatif, malah destruktif. Sebagai contoh, buka saja Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah kampung dimaknai sebagai berikut: /kam·pung/1 n kelompok rumah yang merupakan bagian kota (biasanya dihuni orang berpenghasilan rendah); 2 n desa; dusun; 3 n kesatuan administrasi terkecil yang menempati wilayah tertentu, terletak di bawah kecamatan; 4 a terkebelakang (belum modern); berkaitan dengan kebiasaan di kampung; kolot; — halaman daerah atau desa tempat kelahiran. Sementara itu, kata kampungan dimaknai sebagai: /kam·pung·an/ a 1 ki berkaitan dengan kebiasaan di kampung; terbelakang (belum modern); kolot; 2 ki tidak tahu sopan santun; tidak terdidik; kurang ajar. Pengertian kampung dan kampung amat negatif dan destruktif, bukan?!
Demikian juga dalam wacana publik dan akademik, istilah kampung senantiasa dihubungkan, dikonotasikan, diasosiasikan, bahkan diidentikkan dengan kemiskinan, kebodohan, kekotoran, kekumuhan, kriminalitas, bahkan tak jarang sumber dan sarang gangguan-persoalan sosial. Lebih-lebih dalam realitas kehidupan sehari-hari, kampung dilekatkan dan dicitrakan dengan ketertinggalan, kerendahan, dan kejorokan. Dalam realitas kehidupan sehari-hari betapa sering kita mendengar ucapan atau umpatan berbunyi: Dasar anak kampung!; Benar-benar kampungan perilakunya!; Kampungan benar tindakannya!; Berperilakulah yang tertib, jangan kampungan; Jangan bermental kampung! Pendek kata, kampung serasa dan serupa daerah, wilayah, dan atau permukiman serba remang, bahkan gelap nyaris dalam segenap hal.
Hal tersebut mengisyaratkan tiga hal penting. Pertama, imajinasi, konstruksi, dan signifikasi kampung serba negatif, bahkan destruktif dalam leksikon-semantik, diskursus, dan praksis hidup sehari-hari. Kedua, dalam kungkungan alam pikiran dan perspektif seperti tersebut, pemerintah, akademisi (terutama yang bergerak di sektor keruangan), pengusaha (terutama yang berkutat di sektor properti), bahkan politisi (terutama yang punya kewenenangan merencanakan tata ruang dan wilayah), dan pihak-pihak lain cenderung atau kerap melakukan labelisasi negatif, stigmatisasi, marginalisasi, dan atau eksklusi-isolasi terhadap (yang dinamai) kampung.
Di situlah kita melihat kampung cenderung dilekatkan pada daerah atau permukiman udik-jauh, terisolasi-terkurung, dan sejenisnya. Kampung adat dan Kampung Naga, misalnya, pasti dipersepsi udik-jauh, tradisional, kolot, dan berbeda dengan pusat kota. Andai ada di kota (seperti kampung saya), kampung niscaya dihubungkan dengan kantong permukiman yang terkurung oleh ruang-ruang modern yang megah-mewah-bersih, misalnya pertokoan dan mall. Bahkan akhir-akhir ini kampung juga dioposisikan dengan perumahan: di sini perumahan dianggap beda dengan kampung kendati sama-sama permukiman yang lekat dan lengket dengan kampung.
Karena itu, ketiga, tak jarang kampung mengalami diskriminasi dan segregasi keruangan (spasial-fisikal) dan sosial. Di sinilah kita lihat kampung tak terintegrasi dengan ruang-ruang lain di dalam kota sehingga akses fisikal dan sosial kehidupan kampung sering sulit. Bahkan di pinggiran kota atau jauh dari kota, kampung juga kerap dipisahkan dengan permukiman baru yang dinamai perumahan. Sering kita saksikan yang disebut perumahan benar-benar terpisah secara spasial-fisikal dengan kampung (yang kerap dibatasi oleh tembok kokoh-tebal-menjulang yang menandakan batas kampung dengan perumahan!). Tak heran, kita kerap menemukan keterbelahan dan keterpisahan ruang dan sosial di dalam sebuah tata ruang dan wilayah: ruang kampung versus ruang non-kampung (baca: perumahan, kantor, mall, dan sejenisnya) dan tata-kampung versus tata non-kampung.
Keterbelahan dan keterpisahan kampung versus non-kampung makin tegas, tajam, dan mengeras ketika pembangunan berlangsung timpang atau tak konektif, kebijakan pemerintah kurang terpadu, dan perubahan kultural tak terkendali. Dalam hubungan ini kita menyaksikan ruang dan wilayah non-kampung mengalami pembangunan ekonomi-kapitalistik dan modernistik-material, sedangkan ruang-wilayah kampung kerap tak mengalami pembangunan secara berarti.
Tak heran, tumbuh ruang-ruang ekonomi, bisnis, perkantoran, ruko, rekreatif-modern, jalan hotmix, dan sejenisnya di ruang-wilayah non-kampung pada satu sisi dan pada sisi lain nyaris tak tumbuah apa-apa di kampung, malah kadang perlindungan pasar, tanah, dan fasilitas umum pun tidak. Bahkan yang disebut kampung adat dan kampung tradisi, misalnya Kampung Naga, Kampung Way Rebo, dan Kampung Osing tak mendapat sentuhan apa-apa, tak jarang malah kena eksploitasi atas nama konservasi budaya dan turisme.
Itu sebabnya, wajarlah ruang-wilayah kampung tumbuh tak seimbang dibandingkan dengan ruang-wilayah non-kampung. Perbedaan pertumbuhan dan perubahan ruang-wilayah kampung versus non-kampung tersebut lama-kelamaan tak hanya pada lapisan material, tatapi merasuk ke lapisan sosial dan simbolik pula. Kita seperti menyaksikan dikotomi kebudayaan-peradaban kampung versus non-kampung dengan catatan: kebudayaan kampung dimaknai secara peyoratif (merendahkan-kecil) dan kebudayaan non-kampung dimaknai secara amelioratif (meninggih-megah).
____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.