Nashih Nashrullah
Republika, 4 Sep 2016
Dalam menelusuri jejak para ulama-ulama Indonesia yang mendunia, tentu cara efektif antara lain dengan mengkaji kembali deretan karya mereka. Sebab, tak sedikit hasil mereka terdokumentasikan di mancanegara tanpa pencantuman nama Indonesia.
Kondisi ini bukan tanpa efek negatif. Sejumlah peneliti masih kerap rancu antara Malaysia dan Indonesia. Apalagi, konon karya-karya itu masih banyak ditulis dengan bahasa Melayu, bahasa yang menyatukan kedua rumpun pada masa-masa tersebut.
Identifikasi karya itu akan sangat membantu dalam menghubungkan jejaring ulama nusantara dengan komunitas ulama di dunia internasional. Agar dunia tahu bahwa di seberang jauh di sana, tepatnya di Indonesia, pernah lahir para ulama yang berandil besar dalam penyebaran Islam lewat karya mereka yang mengabadi.
Ismail Pasha al-Baghdadi, misalnya, sastrawan kelahiran Bagdhad menulis sekelumit tentang riwayat Imam an-Nawawi. Melalui karyanya yang tersohor, Hadiyat al-Arifin fi Asma’ al-Muallifin wa atsar al-Mushanifin, Ismail yang dikenal juga sebagai sejarawan di akhir-akhir masa runtuhnya pemerintahan Dinasti Ottoman tersebut mengulas sedikit biografi Nawawi.
Ismail yang wafat pada 1920 M itu menulis bahwa pemilik nama lengkap Muhammad Nuri bin Umar bin Arabi bin Ali an-Nawawi Abu Abd al-Mu’thi al-Jawi adalah seorang yang terkenal kepakarannya di bidang fikih.
Ia pernah singgah dan belajar di Mesir, lalu pindah ke Makkah dan meninggal di sana pada 1315. Jumlah karya yang berhasil dikarang oleh Imam an-Nawawi sebanyak 315 kitab. Dalam kitab Hadiyaat al-Arifin ini, an-Nawawi masuk dengan kata entri awal al-Jawi.
Sastrawan dan penulis asal Damaskus, Yusuf Ilyan Sarkis, menulis dalam kitabnya yang bertajuk Mu’jam al-Mathbu’at al-Arabiyyah wa al-Mu’rabah/, sekelumit tentang Nawawi.
Ia merupakan salah satu ulama yang berpengaruh pada abad ke-14. Karya tulis yang dihasilkan cukup banyak. Lagi-lagi, Yusuf yang wafat pada 1932 M itu hanya mencantumkan kata al-Jawi sebagai identitas akhir.
Sementara, Khair ad-Din az-Zirikli juga menuliskan penuturan serupa dalam kitab ensiklopedia tokoh yang ia tulis dengan judul al-A’lam. Kitab ini merupakan buah pemikirannya yang paling fenomenal.
Tokoh kelahiran Beirut, Lebanon, 1893 M itu memasukkan entri nama-nama baru. Kriterianya harus sosok terkenal lewat karya tulisnya, atau tokoh berpengaruh di masanya, seperti raja atau khalifah.
Nama Imam an-Nanawi kembali disebut dengan entri Nawawi al-Jawi sesuai sistematika penyusunan alfabetik yang khas pada kitab al-A’lam. Az-Zirikli menulis demikian, al-bantani iqlimiyyan, at-tanari baladan. Nawawi berasal dari wilayah Banten, tepatnya Desa Tanara, seorang ahli tafsir, sufi, dan bermazhab Syafi’i. Ia terkenal di kawasan Hijaz dan sekitarnya.
Begitu juga dengan nama Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Dunia luar mengenalnya dengan sebutan al-Banjari. Kata Banjar, yang merujuk ke daerah Banjar (kini Kalimantan Selatan), seperti yang tertuang dalam karya monumentalnya, yakni Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquh fi ad-Din, sebuah kitab fikih ibadah yang bermazhab Syafi’i.
Kitab tersebut dicetak pertama kali pada 1882 M secara serempak di Makkah, Istanbul, dan Kairo. Kitab yang ditulis atas permintaan Sultan Tahmidullah ini pun banyak digunakan sebagai referensi utama kajian Islam di berbagai negara Asia Tenggara, seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Laos.
Pada masa yang sama, nama Muhammad Khalil al-Maduri juga muncul. Selain hafizh, ia juga menguasai qiraah tujuh (tujuh cara membaca Alquran). Ulama asal Bangkalan, Madura, tersebut berasal dari keluarga ulama.
Pada 1859 dia menuju ke Makkah untuk menuntut ilmu. Pulang dari Tanah Suci, ia mendirikan pondok pesantren di daerah Cengkebuan. Dia adalah sahabat Syekh Nawawi al-Bantani.
Al-Maduri sangat aktif mengobarkan semangat perlawanan terhadap penjajah Belanda kepada para santrinya. Karena usia senja, ia tidak mampu melawan penjajah secara fisik. Karena dituding melindungi pemberontak, ia pernah ditahan Belanda.
Murid-murid binaan al-Maduri di antaranya adalah KH Hasyim Asyari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang) dan KH Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang). Dia tutup usia saat berusia 106 tahun.
Zainal Anshari Marl dalam Pemikiran Pendidikan Islam Kh Mohammad Kholil Bangkalan menambahkan, mayoritas kiai-kiai di tanah Jawa dan Madura berguru kepada Syaikhuna.
Syaikhuna memiliki beberapa karya tulis ilmiah, di antaranya adalah al-Matnu asy-Syarif (kitab fikih dasar), as-Shilah Fi Bayan an-Nikah, Saadat ad-Adaraini fi Shalat Ala an-Nabiiya at-Tsaqalain.
Menelusuri karya-karya ulama tersebut, tentu bukan hanya menyelamatkan aset berharga, tetapi juga akan sangat membantu merekonstruksi bangunan intelektual ulama nusantara yang terabaikan selama berabad lamanya.
***
https://republika.co.id/berita/koran/news-update/16/09/04/ocz2c55-karya-tokoh-ulama-madura