Marhalim Zaini *
Indopos, 19 Okt 2013
PUISI dan media massa (koran khususnya) kerap dianggap memiliki hubungan yang absurd. Hubungan yang paradoks. Atau, bisa juga disebut hubungan gelap. Bagaimana tidak, puisi yang tak populer itu (bahkan dibanding dengan genre prosa, sesama sastra), yang tak banyak digemari (dibaca) orang itu, masuk dalam koran yang diproduksi untuk publik yang massif. Puisi, yang fiksi itu, terselip di antara lembar-lembar data-fakta koran. Puisi, yang berkomunikasi dengan bahasa yang tidak biasa itu, disandingkan dengan koran yang harus berkabar dengan bahasa yang terang, jelas, dan informatif. Puisi, yang meminta dibaca secara pelan-pelan, dan koran yang dituntut untuk padat, cepat, dan bergegas.
Tapi, anehnya, “hubungan gelap” itu terus saja terjadi. Sejak lama. Sejak zamannya HB Jassin, bahkan mungkin sebelumnya. Di tahun 1993, Sapardi Djoko Damono pernah menulis begini, “sastra modern kita memang dilahirkan oleh koran dan majalah, di akhir abad lalu. Dan sampai tahun ini, entah sampai kapan nanti, ia ditimang dan dibesarkan koran.”
Saya tak tahu persis apa sebab kelanggengan hubungan itu. Saling membutuhkankah mereka? Koran butuh puisi, atau puisi yang butuh koran? Saya kira, koran “yang egois” pasti akan bilang bahwa, “aku tidak butuh puisi, karena puisi tidak menjual.” Koran macam inilah, yang kemudian oleh Jassin disebut “koran barbar.” Lalu, puisi “yang egois” juga akan berteriak dari pertapaannya, “puisi tidak butuh koran yang berisi sampah kata-kata.” Saya tidak tahu, mungkin saja puisi yang semacam ini akan disebut dengan “puisi yang sok suci.”
Tapi nampaknya, koran dan puisi, sama-sama menyadari bahwa dalam keberbedaan itulah, justru mereka (seolah merasa) saling membutuhkan—meskipun tetap ada koran dan puisi yang egois. Koran, supaya tidak dianggap barbar (tak berbudaya), maka disediakanlah ruang untuk puisi (sastra/budaya)—meski kadang masih dengan setengah hati (selain tampak pada space yang sempit, juga honornya yang kecil). Puisi, dengan penuh percaya diri, penuh ketegaran, hadir (seolah) sebagai oase.
Maka, yang terjadi kemudian memang saling mempengaruhi—terlepas besar atau kecilnya keterpengaruhan itu. Misalnya muncul istilah “jurnalisme sastra.” Berita yang datar dan kaku, bisa elastis dan dapat “menyentuh” pembaca melalui sastra. Lalu, begitu pun sebaliknya. Diam-diam, rupanya puisi juga dipengaruhi oleh koran. Puisi-puisi yang dimuat di koran, (seolah) mau tidak mau, harus “menyesuaikan dirinya” dengan “ideologi” koran tersebut. Saya kok tidak yakin, kini ada koran yang mau memuat puisi-puisi “mantera” macam Sutardji dulu. Saya juga tidak yakin, kalau puisi-puisi kritik sosial macam Wiji Thukul dapat dimuat koran hari ini. Tentu, terlepas apakah kita hari ini memang sedang tidak enjoy menulis model puisi yang semacam itu.
Agaknya, menarik juga kalau melihat “keterpengaruhan” itu dari teori kekuasaannya Michel Foucault. Saya meyakini, apa yang disebut sebagai “wacana” itu tidak hanya dibawa oleh berita di koran, tetapi juga dimiliki oleh puisi. Dengan begitu, keduanya (koran dan puisi) sama-sama memiliki “kekuasaannya” masing-masing. Kekuasaan sebagai strategi untuk saling memainkan peran dan fungsinya masing-masing. Saya melihat, keterpengaruhan itu, sesungguhnya tidak bersifat represif, sebagaimana konsep Marx ihwal kekuasaan, ihwal dominasi kelas. Juga, tidak hegemonik, seperti Gramsci.
Mungkin saja memang kadang koran tampak menghegemoni, dan dengan begitu terkesan represif terhadap puisi. Itu semata, disebabkan oleh secara kuantitas space berita selain puisi, memang lebih banyak. Akan tetapi, kehadiran ruang puisi yang tidak banyak itu, justru membuat puisi menjelma jadi semacam oase, semacam titik cahaya di rimba gelap realitas peristiwa. Maka daya tawar puisi, menjadi tak dapat diabaikan di situ. Apalagi, ditambah pembenarannya dengan stigma Jassin di atas; setengah halaman puisi (sastra/budaya) sudah cukup menghapus cap barbar sebuah koran.
Maka, dalam konteks ini saya merasa Foucault benar. Sebab apa yang sedang terjadi adalah, koran dan puisi sedang mengoperasikan kekuasaannya masing-masing, melalui mekanisme-mekanisme pengetahuannya masing-masing. Koran dan puisi sama-sama sedang membangun relasi sosialnya, dengan strategi masing-masing. Boleh jadi kemudian memang saling mempengaruhi, karena relasi itu. Tetapi tidak saling mendominasi, apalagi menghegemoni. Dan, hemat saya, inilah sebab kenapa “hubungan gelap” itu masih terus langgeng sampai sekarang. Kian tampak mesralah ia, kalau ada koran macam Indopos dan Riau Pos, misalnya, yang berani menyediakan satu halaman penuh untuk puisi…
***
__________________
*) Marhalim Zaini. Lahir di Teluk Pambang Bengkalis Riau, 15 Januari 1976. Alumnus Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, esai budaya, resensi, naskah drama, juga cerbung dipublikasikan ke berbagai media massa lokal, nasional, dan internasional di antaranya Kompas, Majalah Sastra Horison, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Jurnal Puisi, Jawa Pos, Bali Post, Surabaya Pos, Lampung Post, Riau Pos, Majalah Budaya Sagang, Pustakamaya (Malaysia), dan Prince Claus Fund Journal Netherlands, dll. http://riaunology.blogspot.com/p/kolom-indopos.html