Mashuri *
Sri Setya Rahayu (1949—2019) merupakan sastrawan perempuan Jawa yang produktif. Ia menulis puisi dan prosa sejak tahun 1969. Namun, dalam kesempatan yang asolole ini, saya akan mengenang kembali beberapa guritannya atau puisi Jawanya yang terkait dengan kota kelahirannya, yang disebut sebagai Kota Bengawan, alias Bojonegoro, yang terhimpun dalam “Bojonegoro Ing Gurit”. Sebuah buku kompilasi para penggurit Bojonegoro atau tentang Bojonegoro, yang diterbitkan oleh Narasi Yogyakarta, 2006. Hal itu karena saya melihat kesaksian penggurit pada perkembangan kota Bojonegoro pada tahun 1970-an. Sebuah pengalaman khas yang seakan-akan kekal, meskipun kini mungkin tersisih dari arus waktu.
Sri Setya Rahayu, atau yang karib disapa Bu Yayuk, menyumbang 16 gurit dalam buku “Bojonegoro ing Gurit”. Detailnya sebagai berikut: “Kutha Kelairan” (Dharma Nyata/DN 272, Minggu/M IV Juni 1975), “Kangen” (DN, 314, M IV Juni 1977), “Nalika Aku Ngerti” (DN, 233, M I Desember 1975), “Saiki Wis ora Ana Maneh Kembang Tanjung Semi” (DN, Minggu II, September 1977), “Kita Ketemu ing Guritan” (DN 229, M I, Oktober 1975), “Sapa Jenengan Cah Ayu” (DN 137, M IV, Januari 1974), “Ing Kene Dina Iki” (DN 173, M I, Oktober 1974), Layangan (1972), “Kembang Isih Mekar ing Plataran Kampus” (DN, M I, April 1977), “Ing Tengah Sawah, Saben Sabtu Awan” (DN 302, M I, April 1977), “Banjarsari” (DN 274, M III September 1975), “Wadhuk Pacal” (Panjebar Semangat 23, 17 Juni 1972), “Kauman” (DN 168, M V Agustus 1974), “Ing Sawijining Dina” (DB 292, M IV Januari 1977), “Bagavathgita” (Kumandang 115, M III Januari 1975), dan “Lagu Ing Wengi Iki” (Panjebar Semangat 5, 2 Februari 1972).
Guritnya bertarikh antara 1971—1977. Sebuah kesaksian penggurit pada Bojonegoro pada masa itu. Guritnya berisi tentang ungkapan perasaan, baik itu gundah maupun cinta, pada seseorang dan tempat. Penggurit tidak hanya menjadikan tempat yang disebutnya sebagai latar saja, tetapi juga terjadi internalisasi sehingga pembaca dapat melihat kondisi-kondisi aktual pada masanya dengan perspektif penggurit. Penggurit memunyai kekhasan dalam mengakhiri guritan dengan sesuatu yang berbeda dengan sebelumnya. Sebagaimana dalam “Kutha Kelairan”, terdapat ungkapan “monumen Letnan Suyitna”, “Sapa Jenengmu Cah Ayu” terdapat ungkapan “yen ibu kula mboten kersa nampi/lan anak kula mboten wonting ingkang ngopeni”, dan Banjarsari ada ungkapan “Ah, ana bayi abang gumlethak ing tanggul bengawan”.
Ihwal gambaran kota Bojonegoro pada tahun 1970-an, tepatnya 1975, tergambar dalam gurit “Kutha Kelahiran”. Penggurit melihat adanya perubahan menarik di Bojonegoro pada masa itu. Ringin kembar di alun-alun yang menjadi penanda kota tradisional sudah hilang pada masa itu dan diganti cemara dan flamboyan. Begitu pula dengan kembang tanjung sudah berganti dengan tanaman lainnya. Yang menarik adalah berdirinya sebuah monumen kepahlawanan di tengah-tengahnya, yaitu Monumen Letnan Suyitno. Berikut ini kutipan lengkapnya.
Kutha Kelairan
Biyen ana ringin kembar ing tengahe
ing pinggire tanjung tharik-tharik
direngani lampu-lampu abang ijo
kembang aster lan tapak dara ngupeng ing ngisor pager
saiki gumanti cemara lan flamboyan
tengahe kutha, oh kutha kang daktresnani
ringin kembar kari tipak-tipake
tanjung kari tunggak-tunggake
ah!
saiki ing tengahe ana monumen Letnan Suyitno.
Bojonegoro, September 1975
Ringin kembar memang memiliki nilai filosofis dalam bentang tradisi Jawa yang panjang. Pada tahun 1975, ia diganti dengan kembang lain dan berdirinya monumen pahlawan. Dari sisi nasionalisme dan patriotisme, memang menunjukkan sisi positif. Namun dari sisi ekologi, tentu ada masalah. Selain itu, yang harus dipahami adalah munculnya tradisi membuat monumen dan kebanyakan mengarah pada ‘militerisme’, meskipun ada pula yang tidak.
Adapun, tahun 1975 adalah sepuluh tahun dari 1965 dan Presiden Soeharto ‘baru” dua periode menjadi presiden. Sebagaimana diketahui pilar Soeharto adalah Golkar dan ABRI, sehingga hegemoni dilakukan dengan indoktrinasi di berbagai ruang, termasuk ruang publik, apalagi pada masa-masa itu adalah masa-masa awal membuat pondasi ideologi politik. Arsitektur dan tata kota pun disulap sebagai parade untuk mempertontonkan kebajikan pahlawan-pahlawan yang didesain sebagai peneguh kewibawaan pemerintah dan negara. Oleh karena, penggurit merekam dan menangkap hal itu dengan nada getir. Bunga dan tanaman berganti menjadi bangunan semen dan beton.
Adanya perubahan terhadap ekosistem juga diungkap Sri Setyo Rahayu dalam guritan lainnya “Saiki wis ora ana Maneh Kembang Tanjung Semi”. Ia menganggap bahwa masa lalu atau kenangan memang terlalu indah untuk dilupakan karena pada masa itu bunga-bunga bermekaran, kampung masih mandi kembang dan jiwa-jiwa murni masih bertebaran. Namun, semuanya itu menjadi masa lalu. Ekosistem berubah dan kondisi psikologi pun berubah. Hubungan antara manusia dan alam tergambar dengan tegas dan jelas. Perubahan lingkungan berpengaruh sangat signifikan terhadap manusia. tidak hanya soal perasaannya tetapi juga pikiran-pikirannya dan persepsinya terhadap dunia. Kampung pun tak lagi bermandi wangi tanjung.
Dari beberapa gurit Sri Setyo Rahayu, pembaca dapat melihat bagaimana kondisi dan aktivitas kampung di kota Bojonegoro, selain alamnya yang penuh bunga —penggurit ini sangat suka dengan bunga bermekaran, juga aktivitas keseharian manusia-manusianya, mulai dari kanak-kanaknya dan orang-orangnya. Di antara guritannya yang sangat kental dengan aktivitas keseharian kampung Bojonegoro dengan latar alam dan lingkungan yang hidup dan penuh warna di antaranya sebagai berikut. Gurit “Layangan” (ing kene layangan anteng, sowangan mbrengengeng/kenure senar tanpa gelasan), “Kembang Isih Mekar ing Plataran Kampus” (kuninge alamanda lan sumringahe flamboyan/tansah ana/senajan hawa apeg ing kene tansah ngebaki dhadha), “Ing Tengah Sawah, Saben Sabtu Awan” (angin sumilir, langit, mega, bocah-bocah angon/yen ketiga ngerak, bulak ngenthak-ngenthak/yen rendengan, babut ijo kang gumelar). Ketiga gurit tersebut sangat kental aroma pedusunannya.
Gurit lainnya “Banjarsari” dan “Wadhuk Pacal” kental dengan posisi Bojonegoro ketika kemarau kekurangan air dan pada musim hujan dilanda banjir. Adapun “Kauman” khas sebuah wilayah yang dekat dengan masjid, gambarannya mirip dengan “Saiki wis ora ana Maneh Kembang Tanjung Semi”. Gambaran tentang Bojonegoro sebagai Kota Bengawan demikian menendang dalam “Banjarsari” yang ditulis pada 1975, entah pada tahun-tahun belakangan ini kondisinya demikian atau sudah berubah.
Dalam gurit “Barjarsari”, penulis tidak hanya mengabsen atau menghadirkan hal-hal yang berbau antropologis tetapi juga sosiologis di sekitar tanggul Bengawan. Deskripsi latarnya sangat berbeda dengan harmoni yang diusung pada sajak-sajak lainnya yang berbicara tentang pedusunan dan kampung agraris. Dalam lokus bengawan, tampak sekali gambaran yang berbeda dan aneh. Di sana, tidak terdapat bunga bermekaran dan kampung yang bermandikan kembang. Tentu saja, deskripsi yang demikian mencekam kontradiktif dengan nama kampung yang disebut Banjarsari. Jika dalam beberapa gurit, si penulis menuliskan Bojonegoro sebagai kota kenangan dengan pandangan yang melankolis dan nostalgis, sebagaimana dalam “Ing Tengah Sawah, Saben Sabtu Awan” yang dipungkasi dengan “Aku kangen kampungku!” tentu hal itu tidak berlaku dalam “Banjarsari”.
Dengan demikian, dalam begitu banyak guritnya penggurit menampilkan banyak wajah dari Bojonegoro dan tidak hanya melulu sebagai kenangan manis tetapi juga kenangan getir yang tidak layak untuk dirindukan.
Gitu sajah.
On Sidokepung, 2020.
_______________
*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya.