Kritik Mematikan Ahmad Yulden Erwin atas Yuval Noah Harari : Sebuah Apresiasi


Imam Nawawi *

Saya mendapat kabar Sigit Susanto mengomentari tulisan saya yang berjudul “Membaca Yuval Noah Harari dari Perspektif Nurel Javissyarqi,” (Sastra-Indonesia.com, 4/5/2020). Sigit memberikan catatan yang berbunyi, “kalau bikin esai, parameternya jangan buku dilawan biografi pribadi, lebih baik buku ditabrakkan ke buku lain yang saling bertentangan.”

Kritik konstruktif Sigit menginspirasi tulisan ini, yang melihat tulisan kritis Ahmad Yulden Erwin (Facebook, 5/5/2020). A.Y. Erwin menandai berakhirnya kejayaan aura mitis intelektual Barat di tangan intelektual Timur, sekali pun Erwin masih pada tataran “pemantik”. Disebut pemantik karena ia mengkritik Yuval dengan meminjam tangan Barat, belum menggeser ke proyek “mengkritik Barat melalui Timur”.

Erwin membahas tentang tesis Yuval dalam buku Homo Deus halaman 457 tentang kecerdasan yang terpisah dari kesadaran. Jika contoh kecerdasan yang terpisah dari kesadaran tersebut dapat direpresentasikan oleh Artificial Intelligence (AI), maka Bill Gates dan Stephen Hawking pantas berasumsi bahwa itulah malapetaka besar manusia abad ini.

Erwin pun menghadirkan filsuf Amerika, John Searle, yang membantah fantasi komputer yang bisa berpikir sendiri. Bagi Searle menurut Erwin, komputer yang hanya bisa berpikir tanpa sadar akan apa yang dipikirkannya, tidak bisa disebut berpikir, melainkan sebatas menjalankan program, yang sudah disetting sedari awal oleh pembuat komputer. Mungkin maksudnya, otoritas manusia yang sadar adalah dalang di balik AI sebagai wayangnya.

Pemikiran John Searle dikutip oleh A.Y. Erwin dari artikel berjudul “Minds, Brains, and Programs” yang diterbitkan Behavioral and Brain Sciences tahun 1980. Setelah memetakan fungsi kritik pemikiran Searle atas gagasan fantasi Yuval Noah Harari, Erwin pun kemudian menarik kesimpulan yang tegas: “itulah kenapa salah satu alasan yang membuat saya tidak terkesan dengan pemikiran fantasional dari Prof. Yuval Noah Harari ini. Bukan karena ia (Yuval) seorang homo seksual atau berbangsa Yahudi, tapi karena menurut saya sebagai ilmuan, ia (Yuval) tidak logis dalam berpikir.”

Saya mengapresiasi pemikiran A.Y. Erwin dengan dua cara. Pertama, saya akan mengikuti saran Sigit Susanto yang meminta saya untuk mengkritik karya seseorang dengan karya orang lain yang berseberangan, dan tidak mengkritik karya dengan pendekatan profil pribadi. Karenanya, saya memakai tulisan status A.Y. Erwin tersebut, yang dalam pandangan saya, “inilah era di mana aura mitis intelektual Barat harus segera diakhiri, terlebih pasca Covid-19 ini.”

Mengingat Erwin juga mengutip filsuf Barat dalam mengkritik Yuval, saya coba melengkapi datanya dengan mengutip Slavoj Zizek, yang juga membahas tentang peran manusia dalam mengendalikan komputer. Dua tahun silam, saya menulis artikel berjudul “Digital Cloud: Representasi Transparansi Keagamaan di Facebook,” diterbitkan Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan, Volume 6 Nomor 2 tahun 2018. Di sana saya mengutip informasi Slavoj Zizek.

Zizek menulis artikel berjudul “Who Has the Right to Bring the Public Bad New?,” diterbitkan oleh https://www.rt.com/ tertanggal 3 Agustus 2018. Zizek menginformasikan bahwa asal-muasal internet itu bisa dirujuk ke tahun 1960-an, ketika tentara Amerika sudah memikirkan bagaimana cara menjaga komunikasi dengan pasukan-pasukannya yang tercerai berai sekiranya nanti mereka hancur lebur akibat perang nuklir. “Digital Clouds” ditemukan sebagai solusi untuk tetap mengontrol. Zizek mengatakan, “nevertheless, those who control the clouds also control the limits of our freedom”.

Yang hendak saya sampaikan dalam konteks pemikiran John Searle adalah bahwa di balik kecanggihan internet maupun Artificial Intelligence terdapat “manusia-yang-mengontrol.” Benar apa yang sudah dikatakan sejak awal bahwa komputer itu hanya menjalankan program, di mana kecerdasan berpikirnya terlepas dari kesadaran. Lantas, siapa representasi dari kesadaran pada komputer itu? Jawabnya: “manusia-yang-mengontrol”.

Itulah dasar argumentasi saya dalam tulisan “Membaca Yuval Noah Harari dari Perspektif Nurel Javissyarqi”. Intinya, sekali pun pemerintah menggunakan teknologi super canggih tidak akan sepenuhnya mampu mengontrol Nurel Javissyarqi, sebab teknologi hanya jembatan penghubungan antara aktor pemerintah dan aktor personal Nurel. Ruang “rebellion” itu adanya di sana. Semakin lemah pribadi Nurel di hadapan pemerintah, maka semakin ampuh tekologi mengontrol Nurel. Begitu sebaliknya.

Teknologi, dengan demikian, sebatas instrumen. Sebagai sebuah instrumen, teknologi tidak jauh beda dengan jenis-jenis instrumen lain, seperti buku maupun artikel populer. Ruang rebellion itu masih akan terus eksis selama satu aktor tidak mau tunduk pada aktor lain, dan itu terbukti dari pribadi A.Y. Erwin yang membebaskan diri dari pengaruh ide dalam buku Homo Deus tulisan Yuval Noah Harari. Tidak mudah menemukan pribadi yang mampu bebas dari ide dan buku!

Kedua, langkah yang penting saya tempuh adalah merujuk A.Y. Erwin sebagai pribadi, bukan sebagai konten status di akun facebooknya. Ahmad Yulden Erwin adalah orang Lampung. Saya mengapresiasi posisi geografis Erwin sebagai orang Lampung dalam langkah kedua saya ini. Lampung di sini berarti adalah Timur, jika dihadapkan pada Yuval yang Israel. Bagi saya, lebih aman menaruh percaya pada Lampung daripada Israel. Suatu hari di lain kesempatan saya akan bicara makna penting penguasaan ruang geografis dan tanah.

Jadi, terdapat kemungkinan untuk melihat Erwin sebagai representasi pribadi Timur dalam melihat Yuval sebagai pribadi Barat. Ruang kemungkinan semacam ini hanya bisa terbuka, jika membebaskan Erwin dari statusnya sendiri. Sebab, jika memaknai Erwin dari konten statusnya, maka di sana akan ditemukan dengan mudah ada representasi Barat pada diri Erwin, yakni kutipannya pada John Searle. Mirip persis sebagaimana saya contohkan pada langkah pertama, yang secara terdesak mengutip Slavoj Zizek.

Bagi saya, “citations” adalah perkara urgen dalam setiap kerja akademik. Sitasi adalah penanda paling tegas tentang siapa diri kita, kemana arah kita, dan nilai-nilai apa yang kita perjuangkan. Karenanya, membaca Yuval dari perspektif pribadi Nurel maupun tulisan Erwin adalah cara kerja saya untuk membunuh Yuval di negeri tercinta kita ini. Memang remeh tapi ini rintisan. Nurel dan Erwin adalah dua pribadi yang bagi saya sudah berjasa besar untuk itu. Wallahu a’lam bish shawab.
***

*) Imam Nawawi, lahir di Sumenep 1989. Sempat belajar di beberapa pondok pesantren seperti PP. Assubki Mandala Sumenep, PP. Nasyatul Muta’allimin Gapura Timur Sumenep, PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep, PP. Hasyim Asy’ari Bantul Yogyakarta, PK. Baitul Kilmah Bantul Yogyakarta, PP. Kaliopak Bantul Yogyakarta, dan PP. Al-Qodir Sleman Yogyakarta. Kini sedang menempuh pendidikan jenjang S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *