M. Fauzi Sukri *
100tahunhbjassin.wordpress.com
Pada zaman Belanda dan awal Indonesia, kritikus sastra itu adalah seorang perangkai bunga. Pada masa itu, ada istilah penting dalam khazanah sastra Indonesia: bunga rampai. Dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia, Sutan Mohammad Zain (1952: 615) menjelaskan bunga rampai sebagai “kitab batjaan jang berisi sari ber-djenis2 karangan, petikan dari kitab jang lain-lain”.
Dalam kitab bunga rampai itu, kita biasanya mendapatkan pengantar penting yang menandakan bahwa si perangkai bunga adalah manusia yang paham kualitas sastra dan pantas memilihkan sari bunga yang penting untuk para (calon) pembaca sastra. Pilihan mereka akan menentukan kapasitas kritik sastra yang dimiliki dan dikuasainya.
Dari kritikus sastra Belanda, ada buku Penjedar Sastra, Zakelijk Proza in Bahasa Indonesia, dan Literatuur in Maleis en Indonesisch karya Dr. C. Hooykaas. Dr. G.W. J. Drewes yang pernah menjadi kepala Balai Pustaka tentu saja juga pernah menerbitkan buku antologi sastra: Maleise Bloemlezing (Wolters, 1947). Dr. M.G. Emeis juga menerbitkan antologi Bunga Rampai Melaju Kuno (Wolters, 1949). Tentu, mereka juga menerbitkan buku ilmu kritik sastra seperti Perintis Sastera karya Dr. C. Hooykaas. Entah siapa yang masih menyimpan dan terkhusus masih membaca karya yang banyak diterbitkan pada masa awal tahun revolusi.
Di kalangan kritikus (sastra) pribumi, Sanusi Pane pernah menerbitkan Bunga Rampai dari Hikajat Lama (Balai Pustaka, 1946). Sutan Takdir Alisjahbana menerbitkan Puisi Lama (Balai Pustaka, 1940) dan Puisi Baru (Pustaka Rakjat, 1946). Tentu saja, H.B. Jassin juga menerbitkan bunga rampai Gema Tanah Air (Balai Pustaka, 1948), Kesusasteraan Dimasa Djepang (Balai Pustaka, 1948). Khususnya yang dari kritikus sastra pribumi itu, tampaknya hanya bunga rampai Sutan Takdir Alisjahbana dan H.B. Jassin, terutama Gema Tanah Air, yang masih terus dicetak ulang.
Selain karya dua tokoh itu, kita juga mendapati Linus Suryadi A.G dengan buku Tonggak Antologi Puisi Indonesia Modern (sampai 4 jilid), Ajib Rosidi dan Pamusuk Eneste. Setelah tiga tokoh ini, sekarang sungguh sudah tidak ada lagi buku bunga rampai yang bisa dikatakan cukup “representatif” untuk menggemakan tanah air Indonesia. Buku bunga rampai para sastrawan atau penyair (plus dramawan) Indonesia sudah tidak lagi bisa dipersatukan dalam satu buku. Ini tak bisa dilepaskan oleh beberapa faktor seperti honor dan terutama perlunya kebesaran individual.
Di antara kritikus bunga rampai Indonesia, H.B. Jassin adalah yang terbesar. Buku bunga rampainya, khususnya Gema Tanah Air, laku keras dan dicetak berkali-kali, menjadi bacaan penting di sekolah dan perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Dalam perkembangan buku bunga rampai sastra mutakhir, malah ada kecenderungan bahwa kritikus akademik dari luar Indonesia mengumpulkan dan menerbitkan buku bunga rampai. Ini seperti yang terjadi pada zaman pemerintah Hindia Belanda.
Sekarang, buku bunga rampai dengan menghadirkan sejumlah penulis yang dianggap merepresentasikan keindonesiaan, bagi beberapa penulis sastra mutakhir, sudah tidak dianggap penting lagi. Kita kehilangan sosok buku bunga rampai bersama yang bisa menjangkau keindonesiaan secara utuh. Dalam suatu zaman pasca-Jassin, kritikus sastra mutakhir hampir sudah tidak mungkin menerbitkan buku bunga rampai sastra dari berbagai sastrawan. Mereka lebih tertarik menerbitkan karya kritik sastranya. Ini juga menunjukkan bahwa sekarang sudah tidak ada lagi kritikus sastra yang benar-benar dihormati dan diakui oleh para sastrawan dan penyair Indonesia, seorang kritikus yang bisa menyatukan berbagai kepentingan dan kecenderungan sastrawan Indonesia.
Apakah masih mungkin akan terbit buku bunga rampai sastra dengan menghadirkan banyak sastrawan atau penyair dari masa mutakhir di masa depan sebagai representasi Indonesia yang lebih mutakhir? Rasanya (pembaca) Indonesia seperti sedang menunggu sosok kritikus perangkai bunga sekaliber Jassin…
*) M. Fauzi Sukri, Koordinator 100 Tahun H.B. Jassin.