Kurikulum 2013 : Gaduh atau Heboh Sastra?

Maryanto *
tempo.co, 18 Sep 2013

“Buruk muka, cermin dibelah.” Pepatah itu agaknya tepat menggambarkan kegaduhan pendidikan baru-baru ini dari kalangan guru yang marah hendak merobek-robek karya sastra pada lampiran buku ajar Kurikulum 2013. Sastra Indonesia sudah dibuat gaduh di sekolah menengah pertama (SMP), bukan heboh penuh dengan pembelaan.

Bukan karena dituduh menodai agama, melainkan karena diduga bakal menodai budi pekerti anak, cerpen Gerhana karya Muhammad Ali dibuang dari lampiran buku Kurikulum 2013 (SMP kelas VII) yang berjudul Bahasa Indonesia: Wahana Pengetahuan. Anehnya, penolakan kehadiran karya sastra ini dilakukan oleh guru yang mesti mengapresiasi dan membela keberadaan sastra di sekolah.

Protes dari kalangan guru memperlihatkan ketidaksanggupan pelaksana pendidikan memasukkan sastra ke pelajaran bahasa. Padahal integrasi bahasa dan sastra Indonesia membentuk ruang imajinasi yang diperlukan anak untuk berlatih menerapkan perilaku ilmiah. Pendekatan sains, yang menjadi doktrin Kurikulum 2013, sulit diamalkan guru dan anak sekolah tanpa cukup ruang imajinasi.

Ruang imajinasi itu sekarang terbuang percuma setelah karya sastra Muhammad Ali dibiarkan dirobek-robek atau dibredel. Dengan mendekonstruksi dan merekonstruksi cerpen Muhammad Ali tersebut, seharusnya anak dapat dilatih untuk menciptakan teks sesuai dengan harapan Kurikulum 2013 untuk SMP kelas VII. Proses penciptaan teks telah diarahkan dalam pembelajaran bahasa secara saintifik.

Pelajaran bahasa Indonesia sebagai teks-termasuk di dalamnya unsur kesastraan-membuka ruang pengamatan melalui tahap pembangunan konteks dan pemodelan teks untuk memperoleh data. Tanpa adanya data, tidaklah mungkin sebuah teks dapat dikonstruksi. Dalam contoh pelajaran SMP itu, pada tahapan lebih lanjut, anak (baik secara kelompok maupun mandiri) memerlukan data verbal yang menggunakan penghubung sebab dan akibat untuk membangun teks eksplanasi.

Guru yang siap melaksanakan pembelajaran teks dalam pendekatan sains akan menggiring anak untuk bertanya-tanya. Misalnya: menurut cerita Gerhana, apa akibat tuturan sarkastis yang dilontarkan kepada Sali? Mengapa istri Sali-pada akhir cerita itu-mengaku sebagai pelaku yang menebang pohon pepaya kesayangan suaminya? Dengan diajak berpikir kritis, anak tidak mudah bosan. Guru perlu membuat anak terpukau dan merugi kalau meninggalkan pelajaran bahasa Indonesia.

Pohon celaka itulah gara-gara semua ini. Beginilah jadinya. Akulah yang menebangnya semalam, karena anak-anak sering memanjatnya…. Itulah tuturan istri Sali sebagai penutup cerita untuk menyatakan penyebab atau alasan mendasar mengapa pohon pepayanya ditebang. Bagi istri Sali, pekerjaan sang suami menanam pohon pepaya itu sama halnya dengan perbuatan menebar benih jiwa korup, maling, atau rampok ketika banyak anak memanjatnya tanpa izin.

Penebangan pohon pepaya tersebut bisa jadi simbol pencegahan korupsi bagi anak. Apabila cerpen garapan Muhammad Ali diamati secara cermat-melalui pendekatan sains-hingga ujung cerita, anak-anak SMP dapat terdidik menjadi cerdas dan berakhlak mulia, sekurang-kurangnya dalam konteks mengamalkan ajaran meminta izin dan berbuat jujur. Untuk mendidik anak agar menjadi jujur dan antikorupsi, perlu ditunjukkan perbuatan bohong, culas, atau tindakan lain yang tidak boleh ditiru.

Demikian pula, agar anak berbudi bahasa santun, tuturan bahasa yang tidak santun pun perlu diketahui akibat-akibat buruknya. Pencarian pengetahuan sebab dan akibat dari fenomena sosial dalam cerita tokoh protagonis Sali tersebut merupakan kegiatan belajar berpikir kritis dan logis. Pendekatan sains tidak bisa diterapkan di ruang hampa tanpa imajinasi.

Kurikulum pembaruan

Untuk menjaga eksistensi sastra di sekolah, tak usahlah para guru (disuruh) merobek-robek lembaran lampiran pada buku ajar siswa SMP itu. Pembredelan sastra-yang menurut Taufiq Ismail (dalam komunikasi pribadi, awal 2013) sudah berlangsung di dunia pendidikan sekolah sejak 1950-an-perlu dihentikan sekarang. Kurikulum terbaru ini tak seperti kurikulum sebelumnya, menghadirkan sastra terintegrasi dengan bahasa. Kompetensi berbahasa Indonesia, terutama aspek sikap spiritual dan sosial, dibangun melalui sastra dengan paradigma pembelajaran teks.

Pembaruan kebijakan pendidikan bahasa dalam Kurikulum 2013 bisa menjawab kecaman Taufiq Ismail dengan menyelenggarakan pembelajaran bahasa Indonesia yang tidak lagi dominan sebagai pelajaran tata bahasa tanpa konsep pengajaran tata sastra atau paramasastra. Dalam kasus buku SMP itu, cerpen Gerhana dengan sengaja dimasukkan semata-mata untuk memperkaya proses pembelajaran. Tentu, jauh dari niat penulis buku untuk menodai budi pekerti anak.

Bangsat! Kurang ajar! Bajingan! Sambar geledek lu! Kiramu aku pokrol bambumukah? Ini adalah tempat paling sopan di muka bumi. Dan sekali-kali bukan tempat untuk mengadukan hal yang bukan-bukan. […] Itu hanyalah cuplikan dari serangkaian peristiwa berbahasa (teks) untuk menceritakan tokoh protagonis Sali yang gagal memperkarakan pohon pepaya kesayangannya. Jika guru siap mengajarkan bahasa sebagai teks sesuai dengan tujuan sosialnya, cerita tragedi komedi itu sesungguhnya tidak hanya akan menghibur, tapi juga mendidik.

Memang, terasa sangat kasar dan getir setiap bentuk bahasa yang sarkastis. Ketika mengenai Sali dan-mungkin-siapa pun, sarkasme seperti itu bakal melukai dan menyakitkan. Muhammad Ali bercerita bahwa Sali akhirnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Kasus kematian Sali sangat menantang untuk dijelaskan secara logis melalui rekonstruksi cerita itu menjadi pelajaran teks eksplanasi. Dalam pembaruan pendidikan ini bahasa Indonesia diajarkan utuh sebagai teks, tidak dalam kepingan bahasa seperti butiran kosakata yang lepas konteks.

Demi pembaruan pendidikan, Goenawan Mohamad telah ikut serta mempromosikan implementasi Kurikulum 2013 dengan bersedia tampil sebagai bintang iklan pada layar televisi. Kesediaan sastrawan Indonesia itu tentu bermakna membela sastra agar eksis di dunia pendidikan sekolah. Sayangnya, selama ini belum ada pakem penggunaan sastra sekolah untuk jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

Belum semua guru siap menjalankan Kurikulum 2013 untuk menerapkan pendekatan sains dan teks dalam pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Penyalahgunaan sastra bisa saja terjadi karena ketidaksiapan guru. Karena itu, sastra tidak heboh dipelajari anak di sekolah. Ruang pelajaran bahasa itu justru gaduh menolak kehadiran sastra. Ih… berisik, deh!

*) Pemerhati Politik Bahasa.
https://budisansblog.blogspot.com/2013/09/kurikulum-2013-gaduh-atau-heboh-sastra_18.html

Leave a Reply

Bahasa ยป