Kau boleh bersedih, boleh penasaran, boleh merana tersiksa rindu, dan kau boleh menjadi apapun yang kau mau di dalam puisi. Entah itu berlebihan atau tidak, saya tidak peduli, sebab hanya itu jadi tahu setelah baca buku puisi Melihat Api Bekerja dari M Aan Mansyur, ini.
Jujur sejak kecil pengalaman membaca puisi saya menyedihkan, referensi puisi sangat miskin, saya tidak tahu ada penyair lain selain Chairil Anwar. Bahkan mungkin takkan pernah tahu satu pun penulis puisi atau penyair di tanah air ini, jika salah satu puisi Chairil Anwar tidak nampak dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia yang kita pelajari sejak bangku SD hingga SMA, bayangkan berapa tahun lamanya dan di tanah air yang memiliki sekitar 18.000 pulau hanya ada satu nama penyair yang terselip di kepala. Tapi saya rasa itu tak begitu penting, sejauh tidak membuat kita berdosa. Mungkin seperti kata para guru ngaji.
Pengalaman baca puisi saya sangat buruk sebelum mengenal metafor, analogi, dan kaidah-kaidah lain dalam karya sastra. Setiap kali baca puisi, kepala ini tiba-tiba pusing, mungkin itu yang terjadi pada anak TK yang dipaksa menyelesaiakan soal persamaan linier dalam matematika —semoga si anak yang dipaksa itu bukan Einstein kecil atau kawan-kawannya. Seperti itulah ketololan saya, tidak bisa menangkap apa yang dimaksud penyair dalam larik-larik puisinya. Kadang ketika baca seolah terbawa ke tempat lain, asing, dan mengerikan. Jujur itu membuat jiwa ini tersiksa.
Entah seiring perjalanan membaca, akhirnya mengenal sedikit demi sedikit nama-nama penyair serta puisi-puisinya yang menyenangkan. Salah satunya adalah M Aan Mansyur, dan ini buku ketiganya saya baca. Setelah Tidak Ada New York Hari Ini, buku ini sebenarnya terbit sebelum Tidak Ada New York Hari Ini, meski demikian tidak membuat buku puisi ini jauh dibawah buku puisi setelahnya. Malahan buku ini tidak kalah menariknya dengan buku-buku puisi setelahnya.
Perlu saya katakan, salah satu yang membuat menarik buku puisi ini ialah adanya ilustrasi-ilustrasi liar semacam surealis yang berusaha baik merepresentasikan puisi-puisi M Aan Mansyur. Dan saya rasa Muhamammad Taufiq atau Emte panggilan akrabnya, telah berhasil dengan baik dalam melakukannya. Saya merasa antara penulis dan ilustrator, dua-duanya memiliki keberanian dalam bereksperimen menciptakan hal-hal baru belum pernah ada sebelumnya. Dan yang terjadi, sebuah karya yang menyenangkan untuk dinikmati. Akhirnya, harus dikatakan saya bisa menikmati puisi.
Sebenarnya saya tak begitu banyak mengerti tentang puisi. Hanya suka baca puisi-puisi mereka, sok-sokan mengomentari, dan dengan lancang berani menulis puisi seperti mereka. Dalam hati kecil ini yang naif, berharap kelak ada sebuah koran mau menerbitkan puisi saya. Entah kapan tidak peduli, kalaupun tiada yang mau memuatnya, saya akan menerbitkannya dalam buku, secara indie barangkali. Tidak peduli nanti ada yang mau beli atau tidak, ada yang suka atau tak, akan tetap menerbitkan puisi-puisi yang tampak seperti anak tengil. Meski hanya dalam web saja.
Kembali ke Melihat Api Bekerja, Sapardi Djoko Damono pun ikut memberi suara tentang keberhasilan Aan dalam menemukan bentuk baru dari puisi kontemporer. Seperti dilakukan Chairil Anwar, Aan berangkali telah membuat lompatannya sendiri. Sebagaimana orang awam, saya merasai adanya perbedaan kuat antara puisi keduanya, atau mungkin seperti inilah ketika penyair telah matang. Mereka memiliki identitasnya masing-masing. Sehingga jika terhidang sebait puisi di depan kita, dengan mudah bisa merasakan ini racikan puisi siapa.
Terakhir saya katakan, membaca Melihat Api Bekerja, seperti sedang mendengar dongeng-dongeng empuk di telinga, tidak membuat berkedut-kedut sebagaimana kerap dilakukan lagu dangdut. Disamping itu, juga terhibur dengan ilustrasi-ilustrasi liar yang dihadirkan Emte. Sebuah buku yang menarik untuk dibaca berulang-ulang, jika mencintai cerita dalam bentuk puisi, atau sebaliknya.
_______________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya terpublikasi di Website Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com