M E R A H


Catatan Kecil Sunlie Thomas Alexander *

DI lantai loteng ruko lama kami yang telah ludes dalam kebakaran pada tahun 1993, suatu siang kutemukan bendera merah dengan lima bintang kuning itu. Ia teronggok di lantai papan, di antara tumpukan pakaian-pakaian bekas tak terpakai di pojok loteng tempat ibuku sering menggantung jemuran separuh kering.

Lantaran tiba-tiba merasa tertarik pada warna merahnya yang cukup mencolok, aku pun meraih dan membuka kain yang semula aku sangka entah baju apa itu. Dan aku langsung tercekat ketika sehelai bendera merah dengan lima gambar bintang kuning terbentang di depan mukaku. Warnanya sudah memudar oleh usia, baunya apak, dan tampak bolong-bolong di sana-sini bekas dimakan ngengat entah rayap.

Ketika itu aku masih SD, mungkin kelas tiga atau empat. Tapi aku tahu kalau itu adalah bendera Republik Rakyat China dari gambar-gambar bendera di buku Atlas. Toh aku mesti memastikannya.

Surprise oleh penemuanku itu, dengan penuh semangat aku pun berlari turun ke bawah dengan maksud hendak memperlihatkannya kepada ayah dan kakekku di toko.

“Benaran ini bendera Chung Kwet, Pa?” tanyaku sembari berniat membentangkannya kembali. Ayahku yang sedang menjahit celana panjang seorang langganan tampak kaget begitu melihat apa yang kupegang dan buru-buru merebutnya dari tanganku. Ia berteriak memanggil ibuku.

“Dari mana anak ini mendapatkan bendera itu? Ia membuka lemariku?” tanya kakekku yang sedang menggambar pola pakaian di meja besarnya. Ayahku mendelik padaku, ia membentak marah: “Barang ini tak boleh kau bawa keluar ke toko! Paham?!”

Tak ada yang tahu siapa yang mengeluarkan bendera merah itu dari dalam lemari Kakek. Ibuku yang kemudian menyimpannya kembali tentu saja menolak jadi tertuduh, demikian pula halnya pamanku.
***

SETELAH aku sedikit lebih besar, barulah ayah dan kakekku kemudian menceritakan riwayat bendera itu kepadaku: Itu adalah bendera yang biasanya dikibarkan oleh Kakek di depan ruko kami berdampingan dengan bendera Merah Putih setiap 17 Agustus atau pada 1 Oktober (Hari Nasional RRC) sebelum 1965.

Tak perlu lagi kutulis dengan jelas di sini peristiwa apa yang terjadi pada tahun kelam yang mengubah kehidupan banyak orang Tionghoa di Indonesia itu. Namun bagi yang belum tahu, sebelum kudeta militer tercepat di dunia yang dibekingi oleh CIA itu terjadi, setiap orang Tionghoa yang menolak kewarganegaraan Indonesia memang diminta untuk mengibarkan dua lembar bendera. Bendera Indonesia dan bendera negaranya sendiri.

Tentu sejarah pengibaran dua bendera ini bisa kita telusuri jejaknya sampai ke masa revolusi kemerdekaan Indonesia tatkala nyawa dan harta benda orang Tionghoa benar-benar menjadi petaruhan di berbagai tempat di Jawa dan Sumatera lantaran dianggap pro-NICA oleh laskar-laskar rakyat separuh begal. Sehingga Konsulat Jenderal Republik China di Palembang kala itu pun menyerukan pengibaran bendera matahari untuk menunjukkan posisi netral warga Tionghoa.

Tetapi masalahnya China telah terbelah jadi dua selepas 1949. Guomindang kalah perang dan melarikan ke pulau Formosa lalu menjadikan Taipei sebagai ibukota sementara Republik China, dan dari sana mereka kembali melancarkan kampanye politik anti-komunis besar-besaran ke seluruh dunia. Maka terjadilah perebutan pengaruh antara dua China, bukan saja demi pengakuan dari negara-negara lain tetapi juga terutama menarik simpati Huaqiao di seberang lautan, termasuk mereka yang sudah menjadi Warga Negara Indonesia. Sebab bagaimanapun—selepas Perang Dunia II yang dilanjutkan dengan perang saudara (1945-1949)—keduanya sama-sama membutuhkan kucuran dana amat besar dari kantong kaum China Perantauan dan Peranakan yang semasa Revolusi Xinhai maupun dalam perang melawan Jepang telah terbukti menjadi tulang punggung yang kokoh.

Dan kedua-duanya, baik Guomindang maupun Partai Komunis Tiongkok memiliki pendukung yang nyaris sama kuatnya di luar negeri, termasuk di Indonesia. Utamanya dalam tiga pilar kebudayaan yang dimatikan oleh Jenderal Soeharto semasa rezim Orde Baru: media, pendidikan, dan organisasi. Alhasil, ejek-mengejek dan saling menjelekkan sampai kepada bentrokan fisik pun kerap tidak terhindari.

Nama Kampung Bintang di Pangkalpinang contohnya, syahdan terlahir dari perseteruan dua China yang kian memanas ini tatkala simbol matahari putih pada bendera Republik China-Taipei yang keliru ditafsirkan sebagai gambar bintang oleh mata orang-orang Melayu lokal.

“Saat itu urang Cin pada berantem deweq. Due kelompok same-same bawa bendera bintang. Sikok mirah, sikok biru,” demikian kuingat pada seorang tua yang pernah bercerita.
***

YA, kakekku–sebagaimana sekian banyak Tionghoa totok lainnya di Indonesia waktu itu–memang termasuk yang menolak kewarganegaraan Indonesia selepas penghapusan dwi-kewarganegaraan RRC ditandatangani dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955 oleh Perdana Menteri Zhou Enlai. Selain lantaran “ai guo” (cinta negara), tentunya hal ini juga akibat dari pengaruh himbauan Mr. Wang Renshu, Duta Besar RRC untuk Indonesia kala itu agar mereka yang pro-Peking (kini ditulis Beijing) tetap mempertahankan kewarganegaraan RRC-nya. Ya, meskipun hal itu mendatangkan lebih banyak kesukaran bagi dirinya dalam berbagai hal.

Dan karena hal ini pula saat seruan “Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi” dikumandangkan oleh Radio Peking terkait dikeluarkannya PP 10/1959 (yang dalam pelaksanaannya di sejumlah tempat telah disertai dengan aksi pengusiran dan tindak kekerasan terhadap orang Tionghoa oleh militer), kakekku langsung memilih mendaftarkan diri dan keluarganya ke Kedubes RRC kendati adik nomor tiga juga ibunya lebih memilih pulang ke pangkuan Republik China di Taiwan dan adik kelimanya bahkan menjadi perwira militer dalam pasukan Chiang Kai-sek.

Hanya saja peti-peti kayu besar dan koper yang telah dipersiapkan oleh kakekku ternyata tak pernah singgah ke dermaga Muntok. Sebab Guanghua, kapal besar berlambung hitam yang fotonya pernah dikirimkan padaku via email oleh seorang kawan di Tiongkok itu, tak kunjung merapat. Tak pernah merapat. Karena rupanya pada waktu itu telah tercapai kesepakatan baru dan pemakluman antara Jakarta dan Peking.

Ah, hingga bertahun-tahun kemudian, kau tahu, masih kerap kudengar alasan yang melandasi pilihan politik Kakek, kenapa ia lebih condong kepada China Merah seperti kebanyakan orang Tionghoa semasanya: “Republik China yang terusir ke Taipei cuma tinggal ilusi dan Mao bagaimanapun telah membangkitkan kembali harga diri dan harapan bangsa China yang tercabik-cabik. Kau tahu kenapa komunis bisa menang di Daratan Besar? Itu karena rakyat sudah jijik dengan kebohongan dan budaya korupsi ala era feodal yang terus berulang. PLA itu tentara penuntut balas.”

Namun begitu, sebelum kudeta Angkatan Darat di Indonesia berhasil menggulingkan Soekarno pada bulan Oktober yang muram, toh Kakek dan paman-bibiku telah memutuskan untuk dibaptis oleh para pastor Belanda mengikuti jejak keimanan nenekku. Dan di kemudian hari, sampai ia meninggal pada usia 80, Kakek akhirnya menjadi seorang aktivis Gereja yang militan dan cukup dihormati.

Ya, kau tahu, ini suatu hal yang amat mengusarkan ayahku, satu-satunya anaknya yang menolak untuk percaya kepada Kristus. Bagi Ayah, kakekku seyogianya telah mengkhianati rasionalitasnya sendiri dan memilih menyerah kepada takhyul bangsa Barat. Tidak, ayahku bukanlah orang yang menafikan keberadaan Sang Adikodrati, tetapi ia agnotis.
***

YA semenjak penemuan bendera tua di loteng itulah, aku kemudian jadi tahu bahwa ada barang-barang yang tidak boleh dikeluarkan sembarangan karena “berbahaya”. Selain bendera merah lima bintang itu, juga ada beberapa majalah dengan foto-foto Mao lalu buku-buku ayahku yang hampir semuanya berbahasa mandarin dan kebanyakan merupakan buku-buku sekolahnya di THHK.

Waktu kecil aku memang suka membongkar buku-buku tua yang sudah menguning di dalam kardus itu untuk melihat gambar-gambarnya. Dan yang paling aku sukai adalah buku pelajaran biologi di mana ada ilustrasi perkembangan evolusi manusia dari makhluk primata menjadi homo sapien dengan banyak gambar binatang. Tetapi aku juga masih ingat kalau di antara buku-buku yang sebagian telah berlubang itu terdapat sebuah buku tebal tanpa sampul yang pada halaman ketiganya ada foto seorang pria berjenggot lebat.

“Itu Makesi,” tukas ayahku memberitahu. Dan jauh di kemudian hari aku pun tahu bahwa Makesi adalah ejaan China untuk Karl Marx. Namun sampai sekarang toh aku tidak pernah tahu apakah buku bergambar Marx yang kulihat di masa kecil itu Das Kapital atau bukan. Karena semua buku milik Ayah tersebut juga ikut musnah pada bencana kebakaran 1993.

Tetapi Ayah tidaklah pernah melarangku menyanyikan lagu Mars Sukarelawan (Lagu Kebangsaan RRC) atau Dong Fang Hong (Merah di Timur) yang ia ajarkan kepadaku dengan suara cukup keras plus fals-cempreng.

“Ai! Tidak bakal ada orang Melayu yang ngerti itu lagu apa. Paling-paling mereka pikir itu Iagu mandarin biasa,” demikian jawabnya suatu kali ketika ada seorang Tionghoa pelanggan toko kami yang kebetulan mendengar aku menyanyikan lagu-lagu itu bertanya dengan cemas kepadanya.

Ah, tatkala berkunjung ke China bersama Pak Zhou Xin pada bulan September 2019 silam, aku pun sempat menceritakan kenangan masa kecilku ini kepada seorang pejabat di kota Yang Chun.

“Ayahmu itu generasi kedua. Wajar saja jika semangat nasionalismenya masih cukup tinggi. Apalagi ia lulusan THHK,” kata Pak Zhou menimpali. Saat itu aku dan si pejabat daerah hanya tersenyum. Toh demikian, diam-diam aku juga merasa ingin sekali menangis karena terkenang pada almarhum Ayah dan kakekku. Terutama Kakek yang ingin sekali bisa melihat China lagi namun tak pernah kesampaian. Apalagi waktu itu kami baru saja bertemu dengan sejumlah tokoh lokal kelahiran Indonesia yang kembali ke China pada tahun 1950-1960an.

Duh, di hadapanku, di muka kantor pemerintahan daerah itu, sehelai bendera merah berbintang lima berukuran besar tampak berkibar-kibar dipermainkan angin.

Ayahku memutuskan untuk menjadi Warga Negara Indonesia empat tahun setelah aku lahir. Itulah sebabnya kenapa pada akte kelahiranku tertulis bahwa aku adalah anak ibuku. Sementara itu Kakek menjadi stateless sampai Soeharto mengeluarkan pemutihan pada tahun 1996.[]

____________________
Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *