MARSITOGIAN


Jajang R Kawentar *

Berbahagialah. Carilah kebahagiaan di setiap lorong relung dan sudut-sudut dirimu sendiri, bukan di luar dirimu. Ketika kamu mencari di luar dirimu, kamu tak akan temukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Namun ketika kamu mencari kebahagiaan di dalam dirimu, kamu akan lebih mengenal dirimu sendiri sekaligus mengenal Tuhanmu. Begitulah sebuah pepatah atau wejangan spiritual bagi siapapun para pencari ketenangan dan kebahagiaan hidup. Bukankah setiap kita melakukan segala sesuatu itu untuk mendapatkan kebahagiaan atau membahagiakan segala yang berada di sekitar kita serta alam raya ini?

Apa yang dilakukan Togi Mikkel, kawan saya ini tidak lebih dari ingin membahagiakan siapa saja, terutama Ibunya. Hal ini tersirat dalam dialog pada suatu malam menjelang subuh di sebuah kamar yang disewa sebagai surganya di daerah Sewon, Bantul. Setidaknya spirit hidupnya begitu pula spirit berkaryanya merupakan pengabdian atas rasa syukur pada Tuhan yang telah memberi anugrah kepada ibunya kebaikan-kebaikan. Sehingga dirinya kini merasa menjadi lebih baik dari kehidupan yang sebelumnya. Mengejar kebahagiaan di luar diri memang tak terhingga, namun terkadang dapat membuat lupa diri.

Kisah Togi mirip Putra Mahkota yang meninggalkan istana, lalu mencari jalan damai dengan menyepi menjalani hidup mandiri sederhana, meninggalkan kekayaan dan kekuasaan, mengabdi pada kehidupan membantu orang banyak yang membutuhkan. Menjadi seperti manusia biasa, setara dihadapan Tuhannya, serta yakin bahwa yang membedakannya adalah amal perbuatan. Namun tidak sedramatik itu pengalaman seorang Togi, hanya alur ceritanya lebih mendekati demikian.

Togi tidak ingin masa kelamnya dikonsumsi umum, sementara cukup bapak dan ibunya yang memegang rahasianya disini. Saya sedikit tahu. Hingga Togi memutuskan untuk menetap di Yogyakarta pada tahun 2014. Dengan melanjutkan keinginannya melukis. Mengapa Yogyakarta sebagai kota yang dipilihnya untuk menetap saat ini? Togi pernah suatu waktu mendatangi kota ini dan sejak saat itu dia jatuh cinta dengan kota ini.

Ketika hiruk pikuk gaya anak muda masyarakat urban menyeretnya pada kepuasan dan kebahagiaan semu. Akhirnya menjemput stagnan dalam segala hal. Togi menyerah dan pasrah. Terakhir ingatannya hanya melukis dan kota Yogyakarta. Kembali ibunyalah yang banyak berperan membesarkan keyakinannya dengan restu dan doa yang terus mengalir.

Marsitogian

Togi kecil hobby menggambar, cita-citanya jadi Pastor. Menjadi Pastor itu berat, tutur bapaknya. Togi disarankan menjadi arsitek. Namun dia memilih masuk sekolah seni, mengambil jurusan seni lukis di STISI Bandung. Akhirnya dia kembali ke tempat kelahirannya setelah menyelesaikan pendidikan SMA di Kotabumi Lampung. Togi lahir di Bandung dibesarkan di Lampung dari keluarga Saragitua Samosir, Sumatera Utara.

Mungkin atas namanya itulah yang mengarahkan Togi ingin menjadi Pastor. Dalam bahasa Batak, Togi artinya mengajak, Togu artinya menuntun. Bila kata dasarnya itu ditambah awalan (Marsi-) dan akhiran (–an) menjadi Marsitogian artinya saling mengajak, membimbing, saling memberi dalam segala hal. Marsitoguan artinya menjadi saling membantu dalam banyak hal. Sementara Partogi artinya seorang pembimbing, seorang penuntun, yang dituakan untuk memberi petuah menuju yang lebih baik, orang yang dimintai saran atau nasehat. Begitu sedikit pengetahuan yang diterima mengenai Marsitogian dari bahasa Batak mengantarkan Togi Mikkel Pameran Tunggal yang pertama.

Pameran yang dibuka Sabtu, 9 November 2019, dibuka oleh Hans Knegtmans pemilik Kebun Buku. Pameran kerjasama dengan Miracle Prints berlangsung sampai 9 Desember 2019. Terdapat 37 karya lukisnya dengan ukuran berpariasi dihadirkan di ruang Kebun Buku yang terletak di Jalan Minggiran No. 61a Suryodiningratan, Yogyakarta. Bermula dari dirinya mendapat tawaran pemilik Kebun Buku, Hans Knegtmans, untuk berpameran di tempatnya karena ketertarikan terhadap karya-karya Togi yang tampak secara visual Abstrak.

Melampaui harapan yang lebih besar demi kehidupan yang lebih baik, begitulah yang tersirat dan tersurat dari Marsitogian. Selalu ada jalan untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Togi menjalaninya mengalir dan menikmatinya.

Persoalan Togi dan Karya

Persoalan Togi sebagai pribadi dan persoalan Marsitogian sebagai kata provokatif. Kini Togi ibarat berada dalam kehidupan kedua, yang diselamatkan dan penuh keberkahan. Hidup yang harus dipenuhi rasa syukur, pengabdian, kepasrahan dan keyakinan.

Kultur Batak yang melekat padanya di bawah kesadarannya berangsur dipelajari dan merawatnya. Seperti halnya dia memahami dan mengerti Surat Batak (Tulisan Batak), dengan mempelajari sendiri dibantu saudaranya. Dia sendiri hidup di luar daerah pengguna bahasa dan tulisan Batak. Dengan cepat mampu menguasainya dan mengamalkannya. Justru karena melihat dan membaca adanya tulisan dan bahasa Sunda ketika kuliah di Bandung. Penulisan namanya dalam huruf Batak dicantumkan pada setiap lukisannya.

Berpijak dari masa kuliah itu pula banyak perubahan dalam dirinya. Romantika kehidupan, dinamika seorang remaja sebagai anak kost. Jauh dari pengawasan orang tua dan pergaulan remaja masa kini, membentuk gaya hidup. Hingga hampir kehilangan hidupnya, dan harus merelakan pendengarannya hilang.

Memori masa kelam itulah mucul dalam karya lukisnya yang dipamerkan. Dia mengaku dirinya hanya melukis, tidak mengatakan lukisannya realis ataupun abstrak. Meskipun tampak visualnya abstrak. Barangkali pengalaman melihat, mengamati sesuatu benda dalam ilusi yang dibayangi rasa kehilangan yang mendalam sekaligus wujud rasa syukur terhadap karunia yang Tuhan beri.

Persoalannya marsitogian menjadi abstrak ketika memasuki masa kelam, namun terselamatkan. Gangguan pendengaran ‘Noise’ yang selalu hadir melahirkan kesadaran dan pandangan baru dalam kehidupannya. Bagaimana menerima keadaan yang tidak seimbang, mejadi kenyataan yang dihadapinya.

Warna-warna dan bentuk yang tampak pada lukisannya membebaskan ingatan ketika proses kehilangan, menghasilkan kepuasan dan kebahagiaan. Dengan demikian pula dia masih dapat berbagi dengan orang lain. Apa yang dialaminya di masa kehilangan dan yang dirasakannya saat itu. Intinya karya itu menjadi bahan perenungan, atau gambaran masa menikmati kebebasan.

Warna-warna yag tergores realisasi dari wujud yang dilihat dan diamati pada masa proses kehilangan. Mengulang masa lalu dan menghadirkannya kembali sebagai tanda-tanda. Tanda dalam warna dan bentuk selalu menemukan yang sama dan terulang. Entah sampai kapan episode seperti ini terus berlanjut. Dia berusaha ingin membuat warna berbeda dan bentuk berbeda namun tidak mencapai titik kesenangan dan kepuasan yang tuntas. Dalam penyelesaiannya selalu kembali pada hal yang sama dan rumit. Meskipun sesungguhnya melukiskan yang berbeda.

Meskipun demikian tiap kali menyelesaikan lukisan, tercipta energi baru dalam hidupnya serta memberikan spirit kepercayaan kepada keluarga terutama ibunya. Sungguh-sungguh telah hadir kehidupan Marsitogian dalam dirinya. Dia mendapatkan keberhasilan, dia sendiri merasakan peningkatan kualitas itu. Bukan pada ekspektasi orang-orang.

Disinilah otoritas otonom Togi sebagai pelukis. Dia tetap tersenyum menikmati setiap goresan dalam lukisannya. Dia sadar kepuasan dan kebahagiaan yang dia capai, tidak sampai ke semua orang. Tidak harus menyenangkan semua orang. Dia berharap apa yang dilakukannya dapat bermanfaat.

Yogyakarta, 5 November 2019


*) Penulis di Critique Art Community Yogyakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *