MARTIN ALEIDA : WONG BAGUS DENGAN SEMANGAT ELANG RAJAWALI


Marulak T. Siregar

Rabu yang lalu, buku ini sampai di rumah, dan kuputuskan untuk dibaca weekend ini. Tadi pagi pukul 03.00 saya sudahi. Secara pribadi saya belum pernah ketemu penulis, tetapi memang pernah dengar-dengar dari Laeku Jeffar (alm), juga pernah baca karyanya yang lain. Dulu Laeku Jeffar pernah bilang, suatu saat saya mau mengenalkan Lae ke Bang Martin, dan bersyukurlah bisa mengenal sekilas melalui buku ini. Bisa jadi beberapa percikan yang saya tangkap ini adalah hanya sekelumit dari buku yang sangat bernas itu. Sangat banyak topik dan tema di memoar itu, tetapi inilah yang tinggal dalam benakku.

Bang Martin dalam bab I membawa kita kepada Tuhan yang ke 100. Dalam memoar ini Bang Martin menamai ban ini dengan Nama Yang Keseratus : Uyan. Sesudah membacanya, saya menyimpulkan menurut versi saya bahwa bang Martin sebenarnya mau mengatakan “Nama (TUHAN) Yang Keseratus” Di dalam wajah bengis orang-orang berseragam hijau / operasi kalong, tak terperikan dialami oleh banyak penulis dan masyarakat Indonesia pada era itu. Dengan gambling Bang Martin membuat perbandingan logis, “Kalau di Jakarta yang sangat dekat dengan pusat kekuasaan dan control saja sedemikian keji bagaimana pula yang ada di luar Jakarta? Tentulah perlakukan lebih sewenang-wenang. Darah yang mengalir sahabatnya, Suami-Istri di sungai Asahan, Darah Mertuanya di aliran bengawan Solo, dan kisah sangat pilu ketika seorang membawa saudaranya sendiri ke dalam lubang pembantaian di NTT. Itulah kebengisan. Teriris hati membacanya, bulu kuduk merinding, tak sanggup membayangkan kekejian itu. Namun ada “Tuhan” yang lain, yang ada bersama korban yaitu Uyan. Ia adalah telaga bening, dimana orang yang tersiksa lahir-batin menemukan dahaga. Tuhan hadir dalam sosok Uyan, tentara yang tidak sempurna secara fisik, tetapi ia menjadi sumber pembasuh luka dan perih para tahanan.

Bang Martin kemudian membawa kita kepada “Uyan Uyan yang lain”, di bab berikutnya, ’Becak Komplit dan Pahlawan Kliping’. Pergaulan Bang Martin terutama dengan para sastrawan dan penulis yang dianggap “kiri”. Mereka-mereka ini adalah teman sependeritaan Bang Martin; disiksa dan diproses dengan cara yang berbeda. Gambaran solidaritas yang hakiki di antara para tahanan, di tengah syak sangka yang dimainkan operasi kalong dan juga kisah penghianatan di antara mereka. Bang Martin mengenang orang yang sangat berjasa dalam masa pengejaran dan tahanan. Pekerjaan apa saja dilakukan selama pengejaran untuk bertahan hidup dan menyamar. Pengalaman jadi tukang bobok tembok, penjual kain dan aneka kegiatan masyarakat pinggiran, dan daya tahan para aktivis itu saat disiksa di dalam tahanan memberikan kita gambaran, bahwa mereka ini bukan orang sembarang punya; mereka punya daya survival yang sangat tinggi. Kehidupan yang pahit tidak pernah mengalahkan nyali mereka, bahkan dengan caranya sendiri mereka seperti mengolok-olok kepahitan hidup itu dan menyatakan bahwa mereka bisa mengatasinya. Bang Martin memberikan gambaran masyarakat Tanjung Balai yang merupakan perpaduan Melayu/Tionghoa memaknai hidup terkadang dengan olok-olok jadi semacam analogi kehidupan para tahanan dalam menjalani pahitnya hidup. Tentu saja tidak sebagai suatu kekalahan, tetapi justru sebagai bentuk perayaan hidup.

Maka demikianlah Bang Martin dan para tahanan seperti membawa kita kepada “Mitesisifus” gaya Indonesia. Ia menyanyikan “Gubang”, lagu yang jadi mantra yang meresap di hati para tahanan, semacam jimat kekuatan untuk mengobati sakit dan derita. Kubayangkan lagu itu dinyanyikan dengan ritmis semacam mistis atau doa Tai Ze yang diucapkan berulang ulang yang membawa ketenanan dan kekuatan jiwa. Bab buku ini membawa saya semacam pengenalan pada orisinalitas siapa itu Bang Martin, yaitu pribadi yang selalu membuat ingin memberikan “nilai lebih”. Ia meskipun sebatang kara, karena jauh dari keluarga, Ia memberikan ”something different” dengan menjadi koki bagi sahabat-sahabatnya, juru damai untuk perselisihan teman-temannya yang bertikai, ia juga agak berat hati jadi “lurah” tahanan, yang pada akhirnya waktu ia keluar dari tahanan dan ditampung oleh Rudewo/Rudio; sekali lagi, ia memberi “nilai lain” dengan mengolah ulang kertas-kertas bekas untuk dijual dan akhirnya bisa jadi pembeli bumbu atau kecap. Saya berpikir inilah yang membuat si Jantung hati Bang Martin (Sri) & Ibu Mertua (Sipon) dengan senang hati menerima Bang Martin. Julukan yang disematkan Sri kepada pujaan hatinya yaitu “Semangat Elang Rajawali” (SER) dan ucapan Jawa “ Wong Bagus” adalah semacam kata kunci yang menyatakan Bang Martin lolos untuk memenuhi kriteria suami dan menantu. Nilai excellence, bukat average seperti yang hasil assement waktu ia bekerja di Tempo. Bang Martin adalah bibit unggul bukan karena punya harta melimpah, atau studi yang tinggi, tetapi karena ia punya semangat bak Elang Rajawali, gak pernah tunduk pada badai kehidupan, tetapi terbang tinggi ke atas badai, accept but beyond it!

Tentu karakter demikianlah yang dicari oleh perempuan untuk jadi suami atau menantu. Dari manakah kekuatan itu? Selain dari kekuatan Ayah-Emak yang ditimba saat di Tanjung Balai, kuat dugaan Martin banyak berguru kepada yang orang-orang yang ia kagumi seperti Bung Karno dan Njoto. Secara khusus, Njoto, meskipun boleh dibilang bukan dalam waktu yang sangat panjang, tetapi telah menjadi semacam panutan dalam dunia dalam karier jurnalistiknya. Bakat alamnya dari Melayu sejak muda dan diasah oleh guru yang tepat telah menjadikan dunia kata-kata/jurnalistik jadi “kampung halaman” sebagaimana Bung Naibaho ingatkan supaya Bang Martin segera pulang, dan kembali ke kampung tersebut.

Dalam dunia kata-katalah Bang Martin bersua dengan Usama, Rus dan Goenawan Mohammad. Untuk nama yang terakrhi, ada semacam kesan implisit di memoar ini bahwa ada yang mengesankan bahwa mereka sebenarnya datang dari dunia yang berbeda, dan tidak begitu connected. Terus terang hal ini juga muncul di benakku entah itu karena pengaruh media social atau bahasa lisan yang bergerak liar. Namun melalui memoar ini saya justru melihat saling hormat dan junjung di antara mereke berdua. Ternyata Goenawan Muhammad-lah yang menjadi gerbang pulang kampung Bang Martin ke dunia kata-kata. Tak diragukan juga impresi bahwa ada rasa hormat yang tinggi dari Bang Martin pada Goenawan Mohammad (yang bukan hanya saja membuka pintu tetapi sebagai pribadi yang bisa memegang rahasia seorang tahanan politik dan bahkan memberikan kesempatan bekerja bagi yang berhaluan kiri). Tapi rasa hormat itu tak lantas melunturkan kritisisme dan sifat independen bang Martin, dimana hal itu tercermin seperti dalam kisah ketika ia memberikan tanggapannya secara jujur tentang rencana Goenawan yang mau menerbitkan tulisan kritis terhadap sikap Pramudya Ananta Toer (yang akhirnya tulisan itu di memoar ini disebut dimasukkan di laci saja). Terlihat betul adanya keutamaan terhadap penerimaan akan perbedaan, kejujuran dan prinsip keberanian di antara keduanya.

Di akhir memoar ini Bang Martin mengatakan bahwa ia menutup buku ini sembari ingin memuliakan puisi spontan D. Zawawi Imron. Martin ingin dimuliakan sebagai seorang Gusdurian, Lekra, Komunis tapi Religius”. Itulah Martin! Seorang individu yang merangkul keseluruhan unsur paradoksalnya. Ia tidak suka berdagang seperti Ayahnya, tetapi ia dinilai sahabatnya adalah Pedagang berbakat. Ia adalah Lekra yang berkeringatkan jalanan tetapi bergaul dengan promotor pembangunan dan kemajuan. Ia adalah Harian rakyat tetapi juga di Tempo. Ia adalah orang yang dianggap tidak bertuhan tetapi sangat Religius. Ia dianggap penghianat ketika diangkat jadi lurah tahanan, tetapi juga diagungkan ketika ia menjadi penyumbang asupan makanan bagi sahabatnya. Martin mengatasi paradox dan dialektika itu, karena ia adalah Wong Bagus, Semangat Elang Rajawali! Tak mudah hidup seperti itu, tetapi Martin Aleida jadi buktinya!

Thabik
https://www.facebook.com/notes/marulak-t-siregar/martin-aleida-wong-bagus-dengan-semangat-elang-rajawali/10157747077766141/

Leave a Reply

Bahasa »