Kesaksian kecil Dian Sukarno *
“Wis Mas, sampeyan muliha! Aku ora bakal balik menawa durung bisa ngluwihi sampeyan.” (Didi Kempot kepada Mamik Podhang)
Mengawali tulisan ini perasaanku mengharu-biru dan ambyar sak walang-walang, meskipun tidak menjadi anggota komunitas paling fenomenal menandai rebornnya sang tokoh yang hampir sepanjang hidupnya tidak mau ditokohkan. Sosok yang kumaksud adalah Mas Didi Kempot alias Mas Didi Prasetyo yang memang tetap ngugemi prasetya atau menunaikan janji kehidupannya kepada semesta, kepada Sang Maha Hidup. Wabil khusus kakak kandungnya Mamik Prakoso atau Mamik Podhang, seorang pelawak papan atas group Srimulat yang lebih dulu berpindah ke alam langgeng.
Cuplikan kalimat pembuka, “Wis Mas, sampeyan muliha! Aku ora bakal balik menawa durung bisa ngluwihi sampeyan.” (terjemahan bebas : Sudahlah Mas, kamu pulang saja! Aku tidak akan kembali sebelum bisa melebihi kamu). Adalah kalimat yang diucapkan suwargi atau almarhum Mas Didi Kempot ketika menjalani lelana alias berproses “menjadi” diri sendiri ditengah arus bermusik para artis yang gandrung dengan aliran musik mapan dengan menggunakan bahasa nasional. Keputusan “menolak” jemputan sang kakak ketika menemui beliau menggelandang di seputaran jembatan Semanggi tersebut menjadikan Mamik Prakoso atau Mamik Podhang berurai air mata. Tapi apalah daya sang kakak harus menghargai keputusan adiknya yang memang sudah ditempa oleh ayah tercinta seorang seniman lawak Mbah Ranto Edi Gudel.
Konon menurut suwargi Mas Didi, nama Kempot dipakai karena beliau menjadi ketua paguyuban pengamen trotoar di Jakarta. Dengan nama tersebut Mas Didi ingin menunjukkan konsep berdikari yang dicontohkan oleh Bapak pendiri bangsa Bung Karno, yaitu berdiri di atas kaki sendiri. Tidak silau dengan fasilitas yang ditawarkan sang kakak, apalagi memanfaatkan aji mumpung sebagai adik seniman papan atas Mamik Podhang yang sedang berada di puncak popularitas. Buntutnya kemudian sang kakak harus berurai air mata melepas seorang Didi Kempot yang sedang membangun impiannya sendiri.
Tidak berselang lama dari keputusan yang tidak dilatari keputusasaan, bertemulah seorang Didi Kempot dengan almarhum Manthous, seorang tokoh yang mengenalkan genre baru bermusik yang kemudian dikenal sebagai aliran musik campursari. Melalui tangan dingin Pak Manthous inilah ibarat bahan baku batu mulia yang menemukan pengasahnya. Karya-karya Mas Didi Kempot seolah mendobrak kemapanan dengan syair-syair berbahasa Jawa ngoko yang mudah dicerna. Lagu demi lagu bermunculan seperti tumbuhnya cendawan pada musim penghujan. Masih menurut Mas Didi, karya-karya seperti Stasiun Balapan, Sewu Kutha, dan lain-lain adalah karya-karya lama yang dikumpulkan ketika masih menjadi pengamen jalanan. Dan pertemuan tidak sengaja dengan bos atau pimpinan CSGK (Campursari Gunung Kidul) almarhum Pak Manthous menjadikan Mas Didi Kempot semakin eksis sebagai pendatang baru di blantika musik nasional. Tentunya dengan aliran yang belum dianggap secara umum sebagai musik yang menjanjikan.
Maka duapuluh tahun silam diawal millenium kedua, Mas Didi Kempot telah membuktikan kata-katanya hingga memantik undangan yang dilayangkan sedulur Jawa Suriname. Karya-karya beliau telah membawa Mas Didi Kempot untuk berdiri gagah sebagai seniman tradisional yang mengglobal. Sehingga tangisan sang kakak Mamik Podhang dari yang semula tersedu karena keteguhan sang adik menolak diajak pulang dan memilih menggelandang, kini mengharu-biru melihat keberhasilannya melebihi para seniman dan artis yang dianggap mapan.
Keberhasilan demi keberhasilan tersebut kemudian mendorong produser seorang Didi Kempot berkeliling Nusantara untuk memperkenalkan lagu-lagu campursari beliau yang berbeda. Salah satu kota yang disinggahi adalah Jombang. Nah, di sebuah radio lokal Jombang itulah pertemuan pertamaku yang memunculkan kesan mendalam terhadap sang maestro Mas Didi Kempot bermula. Dengan rombongan kecil bersama pendatang baru Yan Vellia. Aku masih ingat betul lagunya Pokoke Melu. Sedangkan aku adalah reporter magang yang diserahi meliput beliau.
Bagiku seorang Mas Didi Kempot telah menumbuhkan gairah baru bagi hidupku setelah itu. Sebagai seorang reporter magang pada stasiun radio lokal berkesempatan mengorek perjalanan karir sang maestro. Sebuah kesempatan yang aku pikir tidak akan terulang sepanjang perjalanan hidupku.
Rupanya perjalanan karir seorang Mas Didi Kempot memasuki tahapan ujian paling menentukan. Dan peristiwa itu masih aku ingat betul ketika pendatang baru besutan beliau melakukan kesalahan mengambil nada pada sebuah pertunjukan yang disiarkan secara langsung oleh sebuah stasiun televisi swasta nasional. Kesalahan tersebut sangat fatal, sehingga entah karena peristiwa tersebut atau sebab lain, aku tidak lagi mendengar kiprah Mas Didi Kempot secara on air.
Duapuluh tahun kemudian ternyata tidak hanya aku, mungkin hampir semua lini bangsa Indonesia terperangah dengan kembalinya sang maestro dengan lagu-lagu bertema melankolis namun tetap disajikan dalam kedinamisan. Melahirkan komunitas ambyar melebihi fenomena klub pemuji dan pemuja yang kemunculannya mengiringi kehadiran sang idola. Pada tahap kedua ini sosok Mas Didi Kempot semakin bertiwikrama dan membuktikan janjinya kepada almarhum sang kakak Mamik Podhang.
Tidak berselang lama beliau pun membuktikan ucapannya , “Wis Mas, sampeyan muliha! Aku ora bakal balik menawa durung bisa ngluwihi sampeyan. ” Terbukti beliau telah sebenar – benarnya kembali menyusul sang kakak Mamik Podhang dan ayahanda Mbah Ranto Edi Gudel ke alam langgeng pada puncak pencapaian kemahakaryaan. Sugeng tindak Mas Didi… Kondurnya panjenengan sebaik – baiknya peristiwa pindah dimensi.
Jombang, 6 Mei 2020.
*) Penulis adalah adalah penggiat budaya dan pimpinan sanggar tari Lung Ayu, Sengon, Jombang.