Masa Depan Puisi

Marhalim Zaini *
Indopos, 12 Okt 2013

BEBERAPA hari yang lalu, dalam sebuah percakapan di telpon, seorang kawan, penyair, bilang pada saya begini, “ke mana masa depan penyair kita hari ini?” Kalimat pertanyaan itu, rupanya ia sitir dari seorang kritikus. Sang kritikus itu, katanya, sedang mengkhawatirkan perkembangan perpuisian kita mutakhir. Banyak generasi baru penyair (masih muda-muda) bermunculan, di media, sekilas mungkin menggembirakan. Tapi, menurut kritikus itu, karya-karya mereka tampak tanpa pondasi, begitu bebas menulis “puisi bebas.” Ia menganalogikan, mereka itu seperti seseorang yang bebas tanpa pernah merasakan dipenjara.

Saya menangkap, apa yang dimaksud “pondasi” di situ, agaknya terkait dengan “identitas kultural,” terkait dengan “kampung asal” tempat berpijak. Maka, agaknya juga, kemudian membawa ingatan kita pada tulisan Abdul Hadi WM, “Kembali ke Akar, Kembali ke Sumber” (1998). Atau, soal kesadaran untuk kembali kepada apa yang disebut sebagai “puitika Timur.” Jika benar tangkapan saya itu, maka kekhawatiran kritikus kita itu boleh jadi ada benarnya. Tetapi juga, di lain pihak, tentu patut kita telisik lebih jauh kebenarannya.

Sebab, di zaman yang sekat-sekat ruangnya sudah keropos, melihat ke dalam dan melihat ke luar, adalah seperti melihat diri kita yang semu. Semua seolah berbaur. Tumpang tindih. Kekhawatiran kita soal “kampung asal” adalah kekhawatiran yang kadang dinilai berlebihan, sebab yang lokal telah jadi global, yang global masuk ke dalam kamar mandi kita juga. Asal-usul, asli-palsu, jadi lucu dibincangkan. Para penyair generasi terkini, lahir dari rumah-rumah yang sekat-sekat ruangnya keropos semacam itu. Maka puisi-puisi mereka, agaknya, adalah mi instan, yang enak untuk sarapan pagi, juga oke untuk dimakan petang hari saat hujan, atau malam hari saat bergadang.

Tapi, karena sifatnya yang instan, ia tak bisa terbiar terlalu lama, harus segera dimakan, kalau tak, akan mengembang, lalu tak karuan bentuk dan rasanya. Saya, tidak sedang menghakimi puisi-puisi generasi baru penyair kita itu, sebagai mi instan yang terbiar. Tapi hendak menegaskan bahwa, karena memang sifatnya begitu, maka kita harus menikmati puisi-puisi itu dengan bergegas, sebelum datang puisi-puisi yang lain dengan merk lain, dengan rasa ayam bawang, ayam panggang, rasa daging, cabe ijo, rasa sate, bahkan rasa rendang. Itu semua, lidah Indonesia. Dan itu juga, cara lain menikmati “identitas kultural” yang Nusantara itu.

Namun, bagi yang memandang bahwa pondasi sebagai persoalan mendasar, di dunia gegas dan instan yang semacam itu, maka “berpuisi” adalah proses menegakkan tonggak-tonggak kepenyairan. Saya kadang cemburu, kenapa misalnya, lidah kita tak bisa juga untuk tidak menyebut nama-nama penyair masa lalu (yang tak usahlah saya sebut lagi di sini), baik yang sudah tiada, maupun yang masih bertenaga menghasilkan karya. Mereka, para penyair itu, seolah menjelma sebuah “lembaga” yang kalau tak disebut, tak sah sebuah maklumat. Kenapa bisa seperti itu? Karena, hemat saya, mereka telah jadi tonggak. Tonggak, yang tentu saja, berdiri di atas pondasi yang tidak rumpang. Tonggak-tonggak perpuisian Indonesia.

Maka, bisakah masa depan puisi Indonesia dibangun di atas zaman yang bergegas dan serba instan ini? Kalau bisa, masa depan dengan pondasi dan tonggak macam apakah yang mesti dibangun? Saya tidak tahu. Yang pasti, masa depan puisi Indonesia, adalah tempat tinggal masa lalu dan masa kini. Ia terus bercakap-cakap, bertukar tangkap gagasan, bisa saling memeluk sekaligus rela untuk melepas. Tetapi, ia bukanlah masa lalu, dan tidak seperti masa lalu. Meskipun ia bukan tanpa masa lalu. Jadi mari kita temukan, di mana dan macam apa masa depan itu….**

__________________
*) Marhalim Zaini. Lahir di Teluk Pambang Bengkalis Riau, 15 Januari 1976. Alumnus Jurusan Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen, esai budaya, resensi, naskah drama, juga cerbung dipublikasikan ke berbagai media massa lokal, nasional, dan internasional di antaranya Kompas, Majalah Sastra Horison, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Jurnal Puisi, Jawa Pos, Bali Post, Surabaya Pos, Lampung Post, Riau Pos, Majalah Budaya Sagang, Pustakamaya (Malaysia), dan Prince Claus Fund Journal Netherlands, dll. http://riaunology.blogspot.com/p/kolom-indopos.html

Leave a Reply

Bahasa »