Memaknai Realitas Kuburan


Ahmad Fatoni *
Malang Post, 28 Sep 2019

BETAPA ngerinya suasana kuburan. Kuburan bagaikan lorong gelap yang setiap orang tak sanggup lari darinya. Akan tetapi, kendati jarak kuburan begitu tipis dari kehidupan, tidak lantas menggugah kesadaran manusia yang sedang mabuk dengan sandiwara dan permainan.

Buku ini ingin menyadarkan manusia-manusia yang teledor dari tafakur tentang kepastian alam kubur. Manusia selalu menunggu/dan lupa di sepanjang usia/yang berguguran dan pucat/di sebujur hayat (”Masa Depan Semua Orang” hlm.19). Kuburan senyatanya bukan sekadar monumen yang dijadikan obyek wisata religi, melainkan penanda yang meronce tali sejarah keluarga agar tidak terhapus dalam ingatan generasi setelahnya.

Binhad Nurrohmat, penyair dan esais yang kini mengelola Kuburan Institute, begitu bergairah mencatat hal-ihwal kuburan. Melalui antologi puisi ini seolah ingin menafsir kuburan sebagai medan akulturasi yang strategis dalam tradisi sosial Nusantara. Binhad paham betul bagaimana menangkar realitas kuburan dalam ragam dimensinya, lalu disuling sedemikian rupa dalam rakitan kata yang memukau.

Dengan kemampuan kontrol bahasa yang apik, Binhad menampilkan renungan alam kubur yang so sweet dan mengasyikkan, namun tetap mengandung letupan asosiatif yang menakjubkan tentang kuasa kuburan yang siap memangsa siapa pun. Itulah kiranya antologi puisi ini bertajuk Kuburan Imperium.

Puisi-puisi dalam buku ini mewakili pergulatan batin anak manusia yang tengah disergap sunyi yang menyakitkan, duka yang menekan, dan kabar kabur dari kuburan. Pergulatan batin yang intens itu mewujud, antara lain, dalam puisi “Waktu di Kuburan”: Peristiwa dan percakapan di kuburan/seakan ada yang menatap dan menyimak/dari bawah gundukan tanah diam-diam (hlm.20).

Kenyataannya, hidup manusia memiliki tonggak-tonggak usia yang sangat krusial, di antaranya usia empat puluh tahun. Dalam menapaki usia empat puluhan tahun, seseorang biasanya mulai berfikir soal kematian. Pada puisi “Di Kuburan Ayah dan Ibu di Usia Empat Puluh Satu”, Binhad pun menghitung diri: “Usia hidup ayah dan ibu bisa dihitung anaknya tanpa tahu berapa kelak batas usia hayatnya sendiri—sebab ia belum terkuburkan./Kesedihan anak kali ini terasakan seperti rambatan umur yang kelak menyusul ayah dan ibu yang terkubur.” (hlm.16).

Petuah penuh hikmah dalam karya himpunan puisi ini seolah ingin mempertegas sebuah isyarat agar kita selalu mawas diri dari intaian maut yang setiap saat menjemput. “Mata manusia tak bisa menerabas selaput batas pendangannya sendiri./Sekujur bekas manusia membisu semata ketika tertimbun kedalaman duka di ceruk sepi asal-usulnya.” (“Bekas Manusia” hlm.21).

Saya sebenarnya cukup lama mengintimi puisi-puisi Binhad. Dalam antologi puisinya kali ini sang penyair tampak lebih bijak. Barangkali gegara usianya yang sudah menapaki empat puluhan tahun, Binhad mencoba menyaring intinya inti kehidupan, selain menghadirkan makna kuburan dengan segenap dimensinya. Sungguh, ini berbeda dengan karya-karya terbitan sebelumnya yang lebih kental dengan aroma perkelaminan seperti Kuda Ranjang (kumpulan sajak, 2004), Bau Betina (kumpulan sajak, 2007), Sastra Perkelaminan (kumpulan esai, 2007), dan Demonstran Sexy (kumpulan sajak, 2008).

Satu hal yang patut dicatat, Binhad dalam buku ini telah berusaha sekuat tenaga dalam mengolah realitas kuburan yang begitu rumit. Dan usaha kerasnya itu berhasil melahirkan realitas baru, juga penafsiran baru, yang tentu memperkaya rancang bangun tentang makna kuburan yang terkadang absurd.

Absurditas kuburan tersebut terpapar dalam puisi “Tafsir Siksa Kubur Lilin Herlina”: Biduan dangdut menghibur orang dengan lagu “Siksa Kubur”/Suaranya merdu dan yang mendengarnya berjoget gembira/”Suara rerintihan, suara tangisan insan yang berdosa di masa hidupnya menjalani siksa di dalam kuburnya.”/Biduan membikin orang karib kepada lirik lagu mengerikan yang syahdu dinyanyikan dengan asyik bergoyang. (hlm.22). Lewat puisi ini Binhad ingin memperdengarkan lalu “Siksa Kubur” yang pernah dipopulerkan pedangdut legendaris Ida Laela, itu semestinya dijadikan media kontemplasi.

Tak pelak, menyimak puisi-puisi dalam Kuburan Imperium niscaya menuntun siapa pun untuk mengakrabi dunia kuburan, dan dari sana bisa belajar berbekal diri menuju kematian. Sebagaimana pesan Imam Al-Ghazali, “Ketahuilah, maut tidak menjemput anda pada waktu dan kondisi tertentu, tetapi maut akan menjemput anda di saat yang sulit diterka. Itu sebabnya, menyediakan diri untuk maut adalah lebih utama daripada menyediakan diri untuk dunia”.

Judul: Kuburan Imperium
Penulis: Binhad Nurrohmat
Penerbit: DIVA Press, Yogyakarta
Cetakan: I, September 2019
Tebal: 119 halaman
ISBN: 978-602-391-767-9

*) Ahmad Fatoni, Penikmat puisi dan pengajar Pendidikan Bahasa Arab UMM.
https://malang-post.com/berita/detail/memaknai-realitas-kuburan-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *