Hamidulloh Ibda *
Media Indonesia, 16 Apr 2018
POLEMIK puisi Sukmawati Soekarnoputri dan KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) membuktikan generasi sekarang belum melek sastra. Jangankan melek sastra dan berbudaya, generasi muda yang berkata-kata halus saja mulai langka.
Dalam berkomunikasi, mereka lebih dominan memakai ragam bahasa gaul kekinian yang cenderung sarkastis daripada puitis. Adanya tafsir puisi tanpa pendekatan ilmu sastra, etika, dan humanisme, juga membuktikan generasi zaman now buta sastra.
Padahal, indikasi bangsa besar itu literat dan berbudaya. Bagaimana bangsa ini menjadi besar jika generasinya tak memiliki kecerdasan budi dan kelembutan hati?
Dalam trilogi filsafat, manusia tidak cukup memiliki tata nilai logika (benar-salah), etika (baik-buruk), tetapi juga memiliki estetika (indah-jelek). Salah satu bentuk kecerdasan etika adalah melek sastra. Melek sastra akan mengantarkan generasi berbudaya. Penguatan pendidikan sastra bisa dimulai dari keluarga. Namun, saat ini iklim sastrawi, mendongeng, berpuisi di dalam keluarga mulai sepi atau bahkan tiada.
Generasi sekarang haus akan pola pikir sastrawi, humanis, dan berbudaya. Banyaknya kerusakan kata-kata anak mengindikasikan negeri ini butuh generasi sastra. Lickona (1992: 14) menegaskan salah satu indikator kerusakan suatu bangsa ialah bad language (penggunaan bahasa dan kata-kata buruk). Keluarga harus mampu berperan membentuk karakter anak literat, melek sastra, dan berbudaya.
Keluarga sastra
Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk melahirkan generasi melek aksara ialah pemenuhan bahan bacaan digital. Namun, fakta membuktikan di era Revolusi Industri 4.0 ini, kualitas literasi kita masih ironis.
Padahal, di era banjir gawai, seharusnya masyarakat lebih melek literasi. Kapasitas koleksi bacaan digital milik Perpustakaan Nasional (Perpusnas) baru digunakan 1,5% (Media Indonesia, 27/3). Sementara itu, dari survei BPS 2015 terungkap 91,47% menyebut anak usia sekolah di Indonesia lebih suka menonton televisi, dan hanya 13,11% yang suka membaca.
Survei penilaian siswa pada PISA 2015 menunjukkan Indonesia berada pada urutan ke-64 dari 72 negara yang suka membaca (Kemendikbud, 2018: 2). Artinya, budaya baca dan kegiatan anak di rumah masih jauh dari harapan.
Pendidikan sastra dalam keluarga sangat mendesak untuk diterapkan. Budaya mendongeng, membaca, menulis, dan mendiskusikan karya sastra harus dihidupkan dalam keluarga. Bahasa ibu (bahasa pertama) anak-anak sangat ditentukan dalam keluarga. Semakin bagus keluarga mengajarkan bahasa ibu maka anak-anak bisa bertutur kata benar, baik, dan indah. Apalagi, anak-anak usia SD/MI sampai SMA/SMK/MA memiliki karakter dominan meniru dan imajinatif.
Jika sehari-hari orangtua dalam rumah berbahasa kasar dan buruk, anak-anak cenderung buruk, begitu sebaliknya. Penanaman bahasa ibu bagi anak-anak itu tentu dengan mendekatkan mereka pada sastra. Keluarga harus menjamin gizi sastra anak melalui kegiatan sederhana sampai pada taraf tinggi.
Orangtua bisa memulainya dengan membiasakan membaca dan menulis karya sastra. Anak-anak harus dikenalkan ilmu sastra, karya sastra, bahasa sastra, sastrawan, kritik dan apresiasi sastra, sampai pada metafora.
Hal itu sudah selaras dengan program Gerakan Nasional Orangtua Membacakan Buku (Gernas Baku), program berbentuk gerakan inisiatif yang mendorong peran keluarga meningkatkan minat baca anak melalui pembiasaan di rumah, lembaga PAUD, dan masyarakat.
Gagasan Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga Ditjen PAUD dan Dikmas Kemendikbud ini sangat strategis mencetak generasi sastra. Gernas Baku menjadi program yang harusnya bisa membuat anak literat dan mendorong orangtua membentuk keluarga sastra.
Keluarga, sekolah, dan organisasi yang dekat dengan keluarga harus melakukan sejumlah gerakan. Pertama, membumikan keluarga sastra sebagai roh dalam mendidik anak melek sastra dan berbahasa santun. Tak ada tempat yang bisa menentukan bahasa halus anak kecuali keluarga. Apa saja sistem komunikasi dan gaya bahasa dalam keluarga sangat menentukan bahasa, budaya, dan karakter anak. Apalagi, bahasa sastra memiliki kekuatan magis yang bisa menyugesti anak.
Kedua, implementasi Gernas Baku tak hanya pada buku-buku berat. Orangtua bisa memulainya dengan mendekatkan anak-anak pada buku sastra yang ringan dibaca. Bacaan berkualitas dan bernilai sastra menjadikan mereka cerdas dan berkarakter. Seperti contoh buku antologi puisi, cerpen, novel, dongeng, legenda, pantun, dan fabel.
Ketiga, orangtua harus menciptakan iklim nyaman dan aman dan membuat bank tulisan bagi anak-anak. Adanya pojok sastra, catatan/cerita harian anak yang berkaitan dengan pengalaman mereka sangat membantu pola pikir dan imajinasi. Melalui kegiatan itu akan mengasah nalar anak kritis anak untuk menulis karya fiksi. Daya imajinasi anak akan melejit jika dibiasakan mengarang dan mengilustrasikan pengalaman mereka.
Keempat, keluarga, sekolah, dan organisasi harus sinergi mendukung Gernas Baku. Organisasi PKK, Muslimat, Fatayat, Aisyiyah, kelompok arisan RT/RW, jemaah yasinan, dan lainnya harus serentak mengajak ibu-ibu menerapkan Gernas Baku. Apalagi, Gernas Baku ini akan digelar serentak di Indonesia pada 5 Mei 2018 sebagai puncak Hari Pendidikan Nasional.
Keluarga sastra bukan sekadar impian. Namun, keluarga yang benar-benar membangun iklim sastra dengan berkiblat pada logos, patos, dan etos. Lewat keluarga sastra akan lahir generasi berbudaya, karena bangsa yang besar identik melek sastra dan budi pekerti.
Penguatan sastra anak
Sastra terbagi atas sastra dewasa dan sastra anak. Dalam keluarga, orangtua bisa memilih karya sastra anak yang mudah ditemukan literaturnya. Pendidikan sastra anak dalam keluarga harus dikuatkan untuk membentengi generasi muda dari bahaya laten di era milenial ini. Mulai ancaman laten hate speech (ujaran kebencian), cyberbullying (perundungan siber), dan bad language (bahasa buruk).
Banyak sekali manfaat mengenal dan mahir sastra anak. Tarigan (2012: 6) berpendapat sastra anak memberikan kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan. Belajar sastra sangat mendukung akselerasi intelektualitas, imajinasi, karakter, dan perilaku santun anak.
Jangka panjangnya, anak-anak yang mahir sastra memiliki daya imajinasi tinggi yang menjadikan mereka berpikir panjang yang melampaui zamannya. Sangat tepat jika semua orangtua menjadikan keluarganya diterangi sinar pengetahuan sastra.
Wujud dari pendidikan sastra anak dalam keluarga ini harus berorientasi pada produk karya sastra. Anak-anak, selain membaca puisi dan bermain drama, harus diajak mengarsipkan karya sastranya dalam bentuk buku. Jika sejak kecil mereka sudah menulis buku dan mahir sastra, generasi berbudaya, santun, dan berkarakter tak hanya mimpi.
Buku dan sastra ialah asupan terbaik bagi anak untuk menanamkan kecerdasan, karakter dan budaya santun. Pepatah Arab menyatakan sebaik-baik teman duduk di setiap zaman ialah buku. Sastra di sini menjadi roh keindahan dan kesantunan bagi anak. Sastra dan buku bukan segalanya, tetapi segalanya bisa berawal dari sana.
___________________
*) Dosen dan Kaprodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiah (PGMI) STAINU Temanggung; Penulis buku “Senandung Keluarga Sastra” (2018).