MENEGUHKAN KEINDONESIAAN, MEMULIAKAN KEBERAGAMAN:

POLITIK BAHASA DI DALAM KEMAJEMUKAN BANGSA
Djoko Saryono *

/1/
Politik dan bahasa adalah dua istilah yang sekarang dihubungkan, bahkan disenyawakan. Dua istilah itu dapat kita lihat dalam dua macam hubungan. Pertama, hubungan koordinatif atau sejajar antara politik dan bahasa. Di sini politik dan bahasa ber¬interaksi, saling mempengaruhi, dan tarik-menarik secara setara dan seimbang. Keduanya dapat saling berpengaruh dan berkontribusi karena keduanya menjadi subjek. Kedua, hu¬bungan subordinatif atau saling membawahkan antara politik dan bahasa. Di sini salah satu menjadi subjek dan lainnya menjadi objek. Pada satu pihak bahasa dapat dijadikan agenda, kebijakan, ¬dan sasaran kajian politik sehingga di sini politik menjadi subjek dan bahasa menjadi objek; dan pada pihak lain tuturan politik, wacana politik, dan perilaku verbal politik dapat dilihat sebagai gejala kebahasaan dan sasaran kajian (ke)bahasa¬(an) sehing¬ga di sini politik menjadi objek dan bahasa menjadi subjek. Yang per¬tama dapat di-sebut politik bahasa (language politics), sedangkan yang kedua dapat disebut bahasa politik (political language, linguistics of power).

Sejalan dengan itu, bisa dikatakan bahwa politik bahasa menunjuk pada kenya¬taan-kenyataan tentang keberadaan, status, kedudukan, keadaan, persamaan, dan perbedaan baha¬sa diperpolitikkan; dan keberadaan, keadaan, per¬samaan, dan perbedaa¬n politik dituangkan, disuarakan, dan diung¬kapkan dalam ungkapan, idiom, dan wacana kebaha-saan, misalnya bahasa Indonesia dan bahasa daerah di Indonesia. Dalam pada itu, bahasa politik merupakan orientasi dan kecenderungan bahasa [yang digunakan oleh] elite politik atau partisipan politik, yang menentu¬kan orientasi dan kecende¬rungan politik mereka sendiri dan orientasi dan ke¬cender¬ungan politik masyara¬kat. Sebagai contoh, jika kita menyebut politik bahasa dan sastra Indonesia, kita me¬nunjuk pada pelbagai kenyataan bahasa dan sastra Indonesia – di antaranya keberadaan, status, kedudukan, keadaan, persamaan, dan atau perbedaan bahasa dan sastra Indonesia – diperpolitikkan oleh orang Indonesia; dan keberadaan, keadaan, persamaan, dan atau perbedaan politik di Indonesia yang dimainkan oleh orang Indonesia diungkapkan dalam idiom, wacana, dan atau laras kebahasaan Indonesia. Dalam pada itu, jika kita menyebut bahasa politik Indonesia berarti kita berurusan dengan orientasi dan kecenderungan bahasa Indonesia[yang digunakan] elite politik atau partisipan poli¬tik Indonesia, orientasi dan kecenderungan elite politik Indonesia yang terepre¬sentasi dalam bahasa Indonesia, dan orientasi dan kecende¬rungan politik masyarakat Indonesia yang terepresen¬tasi dalam bahasa Indonesia.

Sebagai ilustrasi, pada waktu unsur-unsur bahasa Inggris banyak sekali digunakan oleh pengguna bahasa Indonesia untuk menamai alat-alat transportasi, teknologi informasi dan komunikasi, dan nama manusia Indonesia; pada waktu bahasa dan sastra Indonesia [di samping bahasa Inggris] ditetapkan oleh pakar linguistik sebagai sumber utama pengembangan bahasa Indonesia dengan alasan tertentu; ketika pemerin¬tah (baca: Pusat Bahasa atau lembaga lain) menetapkan pedoman dan penulisan ejaan bahasa Indonesia, pedoman pembentukan istilah bahasa Indonesia, dan tata bahasa baku ba¬hasa Indonesia; pada waktu peme¬rintah (lihat peraturan perundangan berkenaan dengan bahasa, antara lain UU 24 Tahun 2009, PP 57 Tahun 2014, dan Perpres 63 Tahun 2019) memutuskan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sesungguhnya kita sedang menyaksikan sebuah politik bahasa dan sastra Indonesia. Namun, pada waktu kosa kata Indonesia dijadikan konsep-konsep kunci pemerintahan Orde Baru; pada waktu gaya (baha¬sa) eufemistis [dihalus-haluskan], puferistis atau sarkastis [dikasar-kasarkan], bombastis [dibesar-besarkan], vulgaristis [dijijik-jijikkan], feodalistis atau strati¬fikatif, dan sloganistis dijadikan gaya bahasa pemerintahan Orde Baru; pada waktu ma¬syarakat melakukan perlawanan ter¬hadap pemerintahan Orde Baru dengan cara menciptakan plesetan-plesetan bahasa Indonesiasesung¬guh¬nya kita sedang menyaksikan sebuah bahasa poli¬tik Indonesia ata¬u bahasa kekuasaan di Indonesia. Kedua ilustrasi tersebut jelas menunjukkan perbe¬daan politik bahasa dan sastra Indonesia dengan bahasa politik [yang digunakan oleh] elite politik Indonesia.

Harus diakui bahwa, dalam praktik, sebenarnya kita sulit memisahkan secara tegas antara politik bahasa dan sastra Indonesia dan bahasa politik elite Indonesia. Pasalnya, romantika hubungan politik bahasa dan sastra Indonesia dan bahasa politik elite Indonesia sedemikian rumit, tidak bisa dibedakan secara bipolar atau biner semata. Bisa terjadi demikian karena pelbagai faktor juga turut menyemarakkan hubungan keduanya, misalnya faktor spasial, geografis, sosial, kultural, ideologi, etnis, dan ekonomis. Bisa saja persoalan kecenderungan eufemisasi dan stratifikasi bahasa Indonesia susah dijelaskan dari segi bahasa, tetapi bisa dengan baik dijelaskan dari segi sosial politik. Bisa saja persoalan eufemisme dan sarkasme bahasa Indonesia sudah memadai dijelaskan dari segi ba¬hasa (lingu¬istik, sosioling¬uistik, antropolinguistik, etnografi komunikasi atau lainnya), tetapi juga bisa dijelaskan dari segi sosial politik. Hal ini menunjuk¬kan bahwa politik bahasa dan sastra Indonesia sering pada umumnya merupakan kepanjangan tangan suatu rezim politik atau ideologi dan agenda politik suatu rezim penguasa pada satu pihak dan pada pihak lain baha¬sa politik sering menjadi bagian dari politik bahasa dan sastra Indonesia suatu zaman. Dengan demi¬kian, hubungan antara politik bahasa dan sastra Indonesia dan bahasa politik elite Indonesia bisa berjalin berkelin¬dan, bagai rambatan sulur yang bertali-temali dalam sebu¬ah pohon.

Berdasarkan uraian tersebut tampak jelas bahwa politik bahasa dan sastra Indonesia bukan urusan dan persoalan sederhana dan sempit, melainkan urusan dan persoalan rumit dan luas sekali. Politik bahasa dan sastra Indonesia bukan semata-mata urusan dan persoalan jenis, fungsi, dan bentuk bahasa dan sastra Indonesia [khususnya sistem dan gramatika bahasa Jawa] – sebagai¬ma¬na selama ini kita saksikan dalam bahasa Indonesiaatau dipegang teguh oleh para ahli bahasa khususnya – sebab politik bahasa dan sastra Indonesia bukanlah po¬litik linguis¬tik/gramatika atau lingual. Sekali lagi, politik bahasa bukanlah politik linguistik! Lebih dari itu, malah jauh lebih penting, politik bahasa dan sastra Indonesia harus berurusan dan mena¬ngani persoalan keindonesiaan yang terpresensi dalam bahasa Indonesia. Secara mikro tentu saja juga berurusan dengan kehadiran bahasa Indonesia, makna dan kuasa [meaning dan force/power] bahasa, wacana bahasa Indonesia, ranah dan matra peng¬gunaan bahasa Indonesia, ruang-ruang penggunaan bahasa Indonesia, sektor pengguna¬an bahasa Indonesia, dan seje¬nisnya. Hal itu mengimplikasikan bahwa politik bahasa dan sastra Indonesia harus diartikan pula sebagai politik lambang bahasa Indonesia, politik mak¬na dan daya ungkap Indonesia, politik wacana Indonesia, dan politik komunikasi verbal Indonesia, serta politik pelambangan-pemaknaan-penafsiran bahasa Indonesia dalam bingkai atau perspektif filsafat, sosial, politik, ekonomi, etnis, budaya, geografi, demografi, dan ruang publik-domestik tertentu [baca: pluralisme dan multidimensionalisme]. Di sinilah format politik bahasa dan sastra Indonesia harus selalu dihu¬bungkan, malah perlu disinergikan, dengan format dan formasi politik kebudayaan Indonesia, bahkan politik kebangsaan Indonesia. Tanpa sinergi dengan format dan formasi politik ke¬budaya¬an Indonesia atau politik kebangsaan Indonesia, yang tercipta hanyalah format dan formasi politik linguis¬tik Indonesia, bukan format dan formasi politik bahasa Indonesia.

Hal tersebut menunjukkan bahwa politik bahasa dan sastra Indonesia merupakan urusan dan persoalan lintas-bidang, lintas-disiplin [interdisipliner], lintas-sektor, lintas-profesi, dan lintas-lintas lain bergantung pada bingkai ruang dan tempat politik bahasa dan sastra Indonesia. Tegasnya, urusan dan persoalan politik bahasa dan sastra Indonesia adalah urusan dan persoalan sosial, politik, etnis, geografi, dan budaya [baca: lintas-bidang]; urusan dan per¬soalan linguistik, sosiologi, antropologi, ilmu politik, psikologi, dan humaniora [baca: lintas-disipliner]; urusan dan persoalan linguistik, administrasi-birokrasi, hukum, komunika¬si, bisnis, dan sejenisnya [baca: lintas-sektor]. Oleh karena itu, politik bahasa dan sastra Indonesia bukan semata-mata urusan dan persoalan bahasawan Indonesia atau ahli bahasa/linguis, tapi juga urusan dan persoalan ahli dan pelaku ekonomi dan bisnis, ahli sosio¬logi dan antroplogi, ahli psikologi, ahli dan praktisi hukum, ahli dan praktisi pendidikan, ahli sastra dan sastrawan, dan sebagai¬nya yang bersentuhan atau bereksistensi dengan bahasa dan sastra Indonesia. Pendek kata, politik bahasa dan sastra Indonesia merupaka¬n urusan banyak orang yang berlatar bela¬kang ber¬macam-macam. Terlalu naif dan sederhana [simplistis] kalau urusan politik bahasa dan sastra Indonesia hanya diserahkan kepada ahli bahasa Indonesia, apalagi urusan formulasi sekaligus implementasi format, agenda, dan kebijakan politik bahasa dan sastra Indonesia diserahkan kepada ahli bahasa semata!

/2/
Bagaimanakah atau [seperti] apakah politik bahasa dan sastra Indonesia yang ada dan selama ini dilaksanakan di Indonesia? Bagaimana¬kah atau [seperti] apakah format, agenda, dan ke¬bijakan politik bahasa dan sastra Indonesia yang selama ini dilaksanakan? Pertama-tama harus diakui sekaligus dikatakan bahwa yang se¬lama ini – setidak-tidaknya semenjak pemerintahan Orde Baru – dilaksanakan adalah politik linguistik khususnya gramatika bahasa Indonesia, bu¬kan politik bahasa dan sastra Indonesia dalam arti luas sebagaim¬ana dikemuka¬kan di muka. Dalam politik linguistik/gramatika Indonesia tersebut diurusi atau ditangani secara intensif hal-ihwal bentuk bahasa Indonesia meskipun secara ala kadarnya juga diurusi atau ditangani hal-ihwal kehadiran, je¬nis, dan fungsi bahasa Indonesia. Penetapan bahasa Indonesia yang benar, pem¬bina¬an dan pengembangan bahasa Indonesia, kedu¬dukan dan fungsi bahasa Indonesia, ejaan dan penulisan bahasa Indonesia, penulisan sejarah [resmi] sastra Indonesia, dan tata bahasa baku bahasa Indonesia merupakan contoh po¬litik bentuk bahasa Indonesia. Adapun putusan-putusan Kongres Bahasa Indonesia secara kuat mengekspresi¬kan politik li-nguistik Indonesia sebab pu¬tusan tersebut didominasi oleh pertimbang¬an linguistik/gramati¬ka. Kenyataan-kenya¬taan tersebut memperlihatkan bahwa selama ini dilaksanakan suatu politik linguistik Indonesia yang terbatas dan sempit, belum politik bahasa dan sastra Indonesia da¬lam arti menyelu¬ruh (komprehensif) dan luas.

Di samping itu, politik bahasa dan sastra Indonesia yang selama ini dilaksanakan – setidak-tidaknya selama masa Orde Baru – merupakan politik uniformisasi dan monodimensio¬nalisasi, politik penyeragaman dan penunggalan [penyatuan]. Keseragaman dan ketunggalan atau kesatuan dikedepankan, keberagaman dan kemajemukan ditinggalkan, dalam menentukan, merumuskan, dan melaksanakan format, agenda, dan kebijakan politik bahasa dan sastra Indonesia Indonesia atau politik bahasa dan sastra Indonesia di Indonesia. Ke[aneka]ragaman dan ke¬majemukan bahasa yang ada di Indonesia, fungsi-fungsi bahasa yang ada dan dipakai di Indonesia, ragam dan bentuk bahasa Indonesia yang ada dan dipakai di ruang Indonesia, terkesan diabaikan, kurang diperhatikan. Demikian juga dengan “doktrin pembinaan dan pengembangan ba¬hasa Indonesia”, keseragaman dan ketunggalan bahasa Indonesia diwujudkan pada satu pihak dan pada pihak lain ragam-ragam bahasa Indonesia tertentu dipinggirkan atau diutama-kan sehingga terkesan telah terjadi peminggiran [marginalisasi] atau penonjolan [dominasi atau hegemoni] ragam-ragam tertentu bahasa Indonesia. Lebih lanjut dengan “doktrin pembakuan bahasa Indonesia” diseragamkan dan ditunggalkanlah bahasa Indonesia: keka¬yaan bentuk, fungsi, dan bentuk bahasa Indonesia justru kurang dihiraukan atau diabaikan de¬ngan dalih salah dan tidak baku. Semua itu jelas memperlihatkan betapa kuat atau dominan rekayasa bahasa dalam politik bahasa dan sastra Indonesia kita sehingga tidak salah kalau dikatakan politik bahasa dan sastra Indonesia kita merupakan politik rekayasa bahasa Indonesia. Dengan dominannya rekayasa bahasa Indonesia sebagai “mesin atau buldoser” politik penyeragam¬an dan penunggalan bahasa Indonesia tersebut, meranalah keberagaman dan ke¬majemukan bahasa dan sastra Indonesia. Di sini keberagaman dan kemajemukan bahasa dan sastra Indonesia telah direndahkan, tidak dimuliakan dalam format, formasi, dan agenda politik bahasa dan sastra Indonesia. Secara tidak lang¬sung hal ini mengakibatkan ketungglan makna, keseragaman daya dan kemampuan ungkap ragam-ragam bahasa Indonesia di samping keseragaman pikir¬an dan imajinasi manusia Indonesia.

Politik linguistik/gramatika yang uniformistis dan monodimensionalistis tersebut dirumuskan dan dilaksanakan secara sentralistis dan elitis-eksklusif. Kesentralan dan keelitisan-keeksklusifan tersebut tampak jelas pada perumus format, formasi, dan agenda politik bahasa dan sastra Indonesia dan pelaksana agenda dan kebijakan politik bahasa Indonesia. Tak bisa dipungkiri, selama ini perumus format, formasi, dan agenda politik bahasa dan sastra Indonesia kita didominasi oleh ahli bahasa dan sastra Indonesia. Pihak-pihak di luar disiplin bahasa dan sastra Indonesia – semisal ahli politik, sosiologi, antropologi, dan hukum – jarang sekali dilibatkan atau sedikit sekali diajak berpartisipasi dalam penentuan format, formasi, dan agenda politik bahasa dan sastra Indonesia kita. Dalam hubungan ini organ resmi pemerintah yang mengurusi bahasa dan sastra Indonesia sering menjelma menjadi “jenderal lapangan” penentu dan pelaksana format, formasi, dan agenda politik bahasa dan sastra Indonesia kita. Dikatakan demikian karena selama ini mereka terkesan memiliki otoritas yang sedemikian kuat di bidang bahasa dan sastra. Me¬reka memiliki otoritas memanggil atau mengundang ahli bahasa dan sastra Indonesia untuk merumuskan format, formasi, dan agenda politik bahasa Indonesia; mereka memi¬liki keabsahan tinggi untuk menetapkan kebijakan-kebijakan bahasa dan sastra Indonesia; mereka juga memiliki keabsahan tinggi untuk melaksanakan berbagai agenda dan kebijakan politik bahasa dan sastra Indonesia kita. Lembaga-lembaga intelektu¬al dan akademis bidang bahasa juga lumayan memiliki otoritas dan keabsahan untuk merumuskan dan melaksanakan format, agenda, dan kebijakan politik bahasa dan sastra Indonesia kita. Itu semua menunjukkan bahawa politik bahasa dan sastra Indonesia amat sentralistis dan elitis. Lebih jauh, itu semua menggambarkan proses deliberasi pengambilan keputusan politik bahasa Indonesia belum dijalankan secara optimal.

Politik bahasa dan sastra Indonesia yang dikemukakan di atas tentu saja kurang menghiraukan atau kurang memuliakan keberagaman dan kemajemukan orang Indonesia atau penutur bahasa Indonesia dilihat dari berbagai segi atau perspektif. Dikatakan demikian karena Indonesia telah dili¬hat sebagai kenyataan yang seragam dan sederhana, bukan beraneka ragam dan kompleks. Hal ini jelas sebuah reduksionisme keindonesiaan. Reduksionis¬me keindonesiaan ini sudah tentu sangat merugikan kebanyakan manusia atau orang Indonesia di samping menguntungkan sebagian kecil manusia Indonesia. Dalam hal bahasa Indonesia, sebagai contoh, reduksionis¬me ini telah me¬minggirkan [bahkan memusnahkan] ragam-ragam bahasa Indonesia dan cerlang-cerlang sastra Indonesia yang bertebaran dari Miangas sampai Pulau Rote dan dari Sabang sampai Merauke. Lebih lanjut, hal ini memiskin¬kan kemampuan, daya ungkap, dan fungsi bahasa Indonesia. Dengan kata lain, kekayaan kebahasaan Indonesia da¬lam arti luas menjadi terkebiri. Dalam keadaan seperti ini, tak terelakkan lagi, kemiskinan pikiran, imajinasi, dan tutur dapat mengancam manusia Indonesia. Oleh kare¬na itu, tidak salah kalau politik bahasa dan sastra Indonesia seperti ini disebut politik bahasa dan sastra Indonesia berwajah Malin Kundang [pinjam khazanah sastra Minangkabau]. Sebagaimana Malin Kundang telah mendurhakai keberadaan dan ke¬adaan ibunya, politik bahasa dan sastra Indonesia Malin Kundang telah mendurhakai keberadaan dan keadaan Indonesia yang beragam dan majemuk; politik bahasa dan sastra Indonesia Malin Kudang telah mendurhakai kodrat dan ke¬nyataan keberagaman dan kemajemukan Indonesia sehingga keindonesiaan dapat terfragmentasi. Jelaslah politik bahasa dan sastra Indonesia seperti ini tidak dapat [dan me¬mang tidak perlu] dipertaha¬nkan pada era multi-disrupsi sekarang serta era peneguhan keindonesiaan dalam alaf seka¬rang ini – yang penuh kelebatan mara bahaya di samping harapan bahagia.

/3/
Politik bahasa dan sastra Indonesia macam apakah yang kita butuhkan dalam era multi-disrupsi sekarang – yang terasa senantiasa terlepas (mrucut) kita tangkap secara utuh dan lengkap? Dalam era multi-disrupsi seka¬rang – disrupsi sains, teknologi digital, transportasi, komunikasi, dan juga penyakit – kita memerlukan sebuah format, formasi, agenda, dan kebijakan politik bahasa dan sastra Indonesia yang mampu memuliakan keberagaman dan kemajemukan keindonesiaan kita pada satu sisi dan pada sisi lain menegakkan dan meneguh¬kan keindonesiaan kita sebagai satu komunitas masyarakat. Pendek kata, mulai sekarang kita memerlukan politik bahasa yang memperkuat “keimanan keindonesiaan” di samping memuliakan “keberagaman yang dimiliki oleh orang Indonesia”. Hal tersebut berarti bahwa format, formasi, agenda, dan ke¬bijakan politik linguistik Indonesia yang uniformistis, singularistis, monodimensional, sentra¬listis, dan elitis-eksklusif harus ditinggalkan pada satu pihak; dan pada pihak lain format, formasi, agenda, dan kebijakan politik bahasa dan sastra Indonesia yang plura¬listis, multidimensional, de¬sentralistis, dan populis-inklusif harus ditumbuh¬kembangkan dan bahkan diterapkan. Sudah saatnya kita memiliki sebuah format, formasi, dan agenda politik bahasa dan sastra Indonesia yang plural, multidimensional, dan inklu¬sif supaya bahasa Indonesia tetap eksis secara kokoh merawat “iman keindonesiaan” di samping memiliki sumbangan berarti [signifikan] dalam proses pemodernan atau malah pe-multi-modern-an wilayah-wilayah Indonesia, setidak-tidaknya bahasa Indonesia mampu memberik¬an dukungan dan ruang bagi pemajuan Indonesia.

Perumusan atau juga pelaksanaan format, formasi, agenda, dan kebijakan politik bahasa dan sastra Indonesia yang plural, multidimensional, desentralistis, dan inklusif tersebut membawa berbagai konsekuensi. Pertama, kita harus berani mengubah atau menggeser ideologi laras dan ragam bahasa Indonesia tertentu yang benar, doktrin pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia yang kaku, dan doktrin pembakuan bahasa Indonesia yang beku. Kedua, kita harus berani meluaskan lingkup politik bahasa dan sastra Indonesia sampai pada masalah politik lambang Indonesia, politik makna dan daya bahasa Indonesia, politik wacana Indonesia, politik komunikasi Indonesia, dan politik pelambangan-pemaknaan-penafsiran bahasa [wacana] Indonesia, bukan terbatas pa¬da politik gramatika, vokabuler dan leksikon Indonesia saja. Untuk itu, politik bahasa dan sastra Indonesia harus selalu disandingkan dengan politik kebudayaan dan komunikasi Indonesia. Ketiga, kita harus berani membuka partisipasi masyarakat secara luas atau melibatkan pihak-pihak di luar bidang bahasa dan ahli bahasa Indonesia untuk menentukan, merumuskan, dan menentukan format, formasi, agenda, dan kebijakan politik bahasa dan sastra Indonesia. Dalam hubungan ini elitisme atau otoritarianisme bahasawan, ahli bahasa dan atau organ resmi tertentu perlu diudar. Keempat, kita harus berani mengembangkan sebuah cetak-biru, format politik, dan peta-jalan politik bahasa dan sastra Indonesia yang berkeadilan dan berperikemanusiaan yang tidak meminggirkan ragam-ragam dan laras-laras bahasa Indonesia tertentu [misalnya, ragam pesisiran dan ragam Tengger; laras kepemerintahan dan laras keilmuan] pada satu sisi dan pada sisi lain mengutamakan ragam bahasa Indonesia tertentu pula. Harus diakui bahwa selama ini format dan agenda politik gramatika Indonesia kita masih diskriminatif dan kurang adil baik secara lingual, etnis, geografis, maupun sosial dan kultural. Keempat konsekuensi tersebut mengamanatkan atau menyerukan perlunya dekonstruksi dan reformulasi format, formasi, agenda, dan kebijakan politik bahasa dan sastra Indonesia kita secara menyeluruh demi masa depan “keimanan keindonesiaan” kita yang tetap mempertahankan kodratnya yang beragam dan majemuk. Rasanya, sudah sa¬ngat mendesak kebutuhan kita untuk memiliki cetak-biru, format politik, dan peta-jalan politik bahasa dan sastra Indonesia yang berlandasan multikultural, multilingual, multietnis, geokultural, multi-spasial, dan multi-ras serta multi-regional dengan mengedepankan asas keseteraan dan keterbukaan. Mampu atau maukah kita mewujudkannya?

______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Bahasa »