Ahmad Fatoni *
BAHASA ARAB dikenal sebagai salah satu bahasa internasional oleh PBB yang kemudian dirayakan di seluruh dunia setiap 18 Desember sebagai sarana untuk mempromosikan pemahaman budaya dan mendorong dialog antar penutur bahasa yang berbeda. Perayaan Hari Bahasa Arab Sedunia pertama kali diselenggarakan UNESCO pada 18 Desember 2010.
Namun, hingga kini masih banyak pembelajar yang menganggap bahasa Arab lebih sulit ketimbang bahasa asing lainnya. Pola pikir semacam inilah yang menjadi biang proses pembelajaran bahasa Arab terasa sulit. Terlebih bila dikaitkan dengan pengenalan karya-karya sastra Arab. Bisa dikatakan sastra Arab di negeri ini tampak asing.
Dalam perjalanan sejarah, sastra Arab mengalami perkembangannya secara bertahap dengan adanya inovasi-inovasi dalam setiap fase yang dilaluinya. Fase perkembangan sastra Arab dimulai sejak masa jahiliyah, pertengahan (shadr al-Islam), Abbasiyyah, Turki Utsmani hingga era modern. Kendati tergolong dinamis, informasi tentang perkembangan sastra Arab terlalu sedikit yang sampai ke Indonesia.
Kenyataannya, jangankan penyair semisal Ahmad Syauqi (1869-1932), sastrawan mutakhir selevel Naguib Mahfouzh saja baru dikenal di Indonesia sejak dia meraih hadiah Nobel di bidang sastra tahun 1988. Padahal sejak lama, karya sastrawan Mesir tersebut cukup tersohor di Barat. Minimnya informasi dan kontak intelektual dengan dunia sastra dan pemikiran Arab modern merupakan ‘aib’ bagi intelektual Indonesia, khususnya yang bergelut dalam kesusastraan Arab.
Sementara kontak dengan sastra modern Eropa, Amerika, Asia, dan Afrika sudah dirasakan baik secara langsung maupun melalui hasil terjemahan. Tidak halnya dengan sastra Arab. Apresiasi terhadap puisi Arab, misalnya, bagi penggiat sastra Arab di tanah air tergolong sangat jarang. Lemahnya penguasaan bahasa Arab membuat penerjemah malah lebih memilih menerjemahkan tidak dari sumber aslinya, melainkan dari bahasa Inggris.
Memang, sudah ada beberapa penerbit yang menggarap hasil karya sastra langsung dari negara-negara Timur Tengah untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Namun, beberapa hasil terjemahan masih banyak persoalan sebab menerjemahkan tak sekadar mengalihkan bahasa. Dalam hal ini, peran penerbit tampaknya tak dapat dipandang sebelah mata karena penerbitlah yang memproduksi buku-buku terjemahan.
Di sisi lain, al-Quran sendiri mengecam keras keberadaan penyair dan puisi yang dihasilkannya, sebagaimana terekam dalam surat asy-Syu’araa ayat 224-227. Akan tetapi, kecaman itu sesungguhnya ditujukan kepada para penyair Arab Jahiliyah yang menggunakan puisi sebatas untuk mengeksploitasi kemolekan tubuh wanita dan mengumbar gelegak hasrat birahi. Tema-tema puisi yang berkembang masa itu umumnya memang demikian
Mengingat kegemaran bangsa Arab begitu tinggi terhadap puisi, al-Quran pun diturunkan dengan bahasa yang sangat puitis. Itu sebabnya, sebagian mufasir modern ada yang menafsir al-Quran dengan pendekatan sastrawi. Bahkan benih-benih kesusastraan telah muncul dalam karya-karya tafsir klasik. Maka tak heran, bila tidak sedikit orang yang kemudian terpesona oleh tingginya citarasa bahasa al-Quran.
Cahaya Islam yang menerangi masyarakat Jahiliyah masa itu memberi warna baru bagi perkembangan sastra (puisi) di masa selanjutnya. Termasuk banyak kaum sufi yang memanfaatkan puisi sebagai sarana untuk mengungkapkan kecintaannya kepada Yang Maha Kuasa. Rabi’ah al-Adawiyah, contohnya, adalah tokoh sufi perempuan yang puisi-puisi kecintaannya kepada Allah begitu menonjol.
Puisi-puisi cinta Rabi’ah telah menyemangati banyak orang untuk meninggikan derajat keimanannya kepada Allah. Puisi-puisi yang senafas dengan aliran cinta Rabi’ah adalah salah satu genre puisi sufistik. Penyair sufi lainnya seperti Maulana Rumi melalui karya Matsnawi-nya, juga perlu diberi tempat khusus.
Sebelum berkembang puisi-puisi cinta sufistik, juga banyak kreasi puisi-puisi yang mengedepankan nilai-nilai kepahlawanan. Puisi dengan gaya seperti ini menjadi salah satu perintis berkembangnya puisi-puisi islami pada periode berikutnya. Qatari ibn al-Fujaia (697 M) termasuk di antara penyair yang mengisi genre tersebut.
Setelah berkembang puisi-puisi cinta dan kepahlawanan, hadir pula genre puisi islami yang menonjolkan kezuhudan. Abu al-Atahiyah adalah salah seorang penyair yang karyanya banyak mengekspresikan pentingnya hidup zuhud. Puisi-puisinya acap memotivasi para penikmatnya agar tidak terlena gemerlap dunia yang fana.
Dalam konteks ini kita—terutama kalangan muslim—kiranya perlu mengapresiasi karya-karya sastra berupa puisi Arab demi menyelami kedalaman dan kedahsyatan kreasi sastrawan-sastrawan muslim dalam khazanah Islam. Dalam hal pemilihan tema, puisi-puisi Arab banyak mengupas tentang nilai-nilai ketuhanan, semangat kemanusiaan, penghargaan terhadap harmoni alam, dan sebagainya.
Menyimak perkembangan kreasi puisi yang beredar dalam kesusastraan Arab, pembaca akan mengenal lebih jauh spektrum puisi yang banyak ditulis penyair Arab dalam mengeksplorasi persepsi dan kecintaannya kepada Sang Maha Pencipta.
Atas dasar itulah, semua pihak—termasuk penerbit, penerjemah, pendidik, penceramah, dan peminat sastra Arab—hendaknya membangun sinergitas dan memiliki sikap apresiatif demi menyebarluaskan hasil karya sastra Arab di Indonesia.
***
*) Kaprodi Pendidikan Bahasa Arab FAI-UMM.