MENYUSURI JEJAK SPIRITUALITAS DAN RELIGIOSITAS

Djoko Saryono *

Siapakah manusia itu? Siapakah kita? Notabene, ini pertanyaan yang sudah berumur ribuan tahun. Selama ribuan tahun, manusia senantiasa mencoba merenungi hakikat dirinya sendiri sebagai manusia; para pelaku perjalanan ke dalam diri selalu mencari jawaban atas hakikat manusia. Selama ribuan tahun pula, para pemikir dari berbagai lapangan kehidupan berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan tentang hakikat manusia.

Karena itu, selama ribuan tahun – tentu saja – sudah ada sekian banyak jawaban atas pertanyaan tentang hakikat manusia dari pelbagai perspektif, misalnya perspektif filosofis, spiritual/religius, psikologis, dan pedagogis. Walaupun memberikan jawaban berbeda-beda atau minimal mirip, berbagai perspektif tersebut tampak menyepakati bahwasanya manusia memiliki badan dan jiwa atau ruhani yang berkoesistensi.

Manusia tampak mengada sebagai manusia berkat memiliki badan, tetapi sekaligus manusia tampak mengada sebagai manusia juga berkat memiliki ruhani. Lalu bagaimanakah hubungan atau jalin-kelindan antara badan dan ruhani? Bagaimanakah duduk perkara antara badan dan ruhani? Bagaimanakah sifat-sifat badan dan ruhani yang dimiliki manusia?

Manusia awam dan pemikir bersepakat bahwa hakikat manusia – lebih-lebih makrifat manusia – tetaplah makhluk ruhaniah kendati senantiasa mengada bersama badan. Pada saat bersamaan, badan menjadi manifestasi ruhani sekaligus ruhani menjadi spiritualisasi badan. Badan tanpa ruhani bukanlah manusia pada satu sisi dan pada sisi lain ruhani tanpa badan juga bukan manusia.

Karena itu, manusia adalah makhluk ruhaniah yang membadan atau meraga. Sebagai makhluk ruhaniah, dengan berbagai sudut pandang dan cara pandang, dia senantiasa memiliki kecenderungan untuk selalu pulang kembali kepada hakikat-makrifatnya; berjumpa dan atau bersatu dengan hakikat terdalamnya sebagai makhluk ruhaniah.

Untuk itu, manusia memiliki tabiat untuk selalu melakukan olah keruhanian – baik secara melembaga maupun secara pribadi. Misalnya, Si Fulan mengikuti organisasi keruhanian X dengan maksud memperoleh bimbingan dan petunjuk dalam melaksanakan olah keruhanian; atau Si Fulan menjalankan olah keruhanian tertentu – katakanlah olah keruhanian Jawa – berdasarkan pengetahuan keruhanian yang diwariskan orang tuanya atau berdasarkan petunjuk-petunjuk praktis yang diterima secara turun-temurun dari keluarga.

Itu sebabnya, bisa dikatakan, olah keruhanian telah menjadi salah satu ciri keberadaan manusia di dunia; dalam arti setiap manusia hidup di dunia selalu melakukan olah keruhanian dengan takaran masing-masing manusia berbeda; dengan jalan masing-masing yang bisa berbeda atau mirip. Tak ada manusia yang tak melakukan olah keruhanian. Tanpa olah keruhanian, manusia bakal kehilangan eksistensinya sebagai makhluk ruhaniah. Maka, olah keruhanian menjadi menifestasi keberadaan manusia.

Untuk apakah olah keruhanian selalu dijalankan oleh manusia? Olah keruhanian itu dimaksudkan untuk menghantarkan ruhani, jiwa, atau batin manusia mencapai pelbagai kemungkinan Ultim atau Kudus-suci yang berpuncak pada Sesuatu nan Agung – yang secara bahasawi bisa bernama bermacam-macam, bergantung pada agama atau keyakinan masing-masing manusia.

Mengapa demikian? Pasalnya, sebagai makhluk ruhaniah manusia senantiasa rindu meraih puncak Sesuatu nan Agung; tak bisa mengelak sekejab pun dari Sesuatu nan Agung. Di sini kerinduan mencapai Sesuatu nan Agung itu bisa dalam arti bertemu-berjumpa atau bersatu-bersama secara simbolis-mistis dengan Sesuatu nan Agung sehingga Sesuatu nan Agung itu dilihat manusia sebagai sesuatu yang semata-mata transenden atau sesuatu yang imanen. Melaksanakan transendensi atau imanensi kemudian menjadi aktivitas-pokok manusia dalam mencapai kemungkinan Ultim yang bermuara pada Sesuatu nan Agung. Karena itu, olah keruhanian adalah jalan pulang-kembali manusia kepada hakikat-makrifat dirinya sebagai makhluk ruhaniah dalam rangka mencapai kemungkinan Ultimnya.

Untuk mencapai pelbagai kemungkinan Ultim atau Kudus yang berpuncak pada Sesuatu nan Agung, olah keruhanian yang berupa transendensi atau imanensi membutuhkan jalan keruhanian. Kendati terdapat manusia secara individul yang menempuh jalan keruhanian tertentu nan sunyi-kudus, pada umumnya jalan keruhanian tertentu dipilih, dianut, diikuti, dan ditempuh oleh sekelompok manusia untuk mengintensifkan dan memaksimalkan olah keruhanian mereka.

Seturut dengan nama atau sebutan olah keruhanian yang bermacam-macam, jalan keruhanian pun ada bermacam-macam. Spiritualitas dan religiositas merupakan dua nama atau sebutan paling umum untuk olah keruhanian dan jalan keruhanian. Meskipun sudah sangat dikenal, Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan Pusat Bahasa memang belum menjelaskan secara gamblang perbedaan istilah spiritualitas dan religiositas; hanya menjelaskan istilah spiritual sebagai kejiwaan, ruhani, batin, mental, atau moral, sedang istilah religius sebagai taat pada agama atau saleh. Ini menunjukkan, makna spiritualitas lebih luas daripada makna religiositas kendati sama-sama merujuk olah keruhanian dan atau jalan keruhanian.

Pada umumnya, spiritualitas dipahami sebagai olah keruhanian dan jalan keruhanian yang terikat atau bertumpu-bersandar pada agama dan kepercayaan-kebatinan tertentu, sedangkan religiositas dipahami sebagai olah keruhanian dan jalan keruhanian yang terikat-bersandarkan agama tertentu. Sebagai contoh, baik tasawuf atau sufisme maupun Aliran Kepercayaan SUBUD sama-sama dapat disebut sebagai manifestasi spiritualitas manusia. Bedanya, tasawuf atau sufisme beserta segala variasi alirannya memiliki keterikatan-sandaran dengan agama Islam, sedang Aliran Kepercayaan SUBUD memiliki keterikatan-sandaran pada Tuhan Yang Mahaesa (bukan agama tertentu).

Maka dari itu, Seyyed Hossein Nasr, pemikiran Islam terkemuka, menyebut sufisme sebagai bentuk spiritualitas Islam. Clifford Geertz, antropolog ahli Jawa, menyebut Aliran Kepercayaan sebagai bentuk spiritualitas Jawa. Sementara itu, doa seorang anak muda, munajat atau untaian ucapan syukur kepada Tuhan Yang Mahakasih Mahasayang yang sangat mempribadi dapat disebut sebagai manifestasi religiositas. Y.B. Mangunwijaya, sastrawan dan pemikir terkemuka Indonesia, ungkapan-ungkapan doa seorang anak muda yang diungkai sendiri, bukan menghapal ayat-ayat kitab suci, merupakan ungkapan religiositas manusia. Terlepas dari persoalan semantis ini, yang jelas, baik spiritualitas maupun religiositas selalu berkenaan dengan kebertautan-keterikatan atau kebertemuan dan keberjumpaan manusia dengan Sesuatu nan Agung.

Spiritualitas atau religiositas dapat diekspresikan dalam berbagai tindakan atau laku secara melembaga atau individual. Secara melembaga, misalnya, dipraktikkan dalam tarekat-tarekat dan aliran kepercayaan yang telah mapan serta kelompok-kelompok modern yang tumbuh pesat sekali di kota-kota besar. Baik tarekat-tarekat yang sudah mapan, misalnya Tarekat Qadiriyyah, Kubrawiyyah, dan Maulawiyyah, maupun kelompok-kelompok modern “sufi kota”, misalnya Paramadina, Majelis Taklim Misykatul Anwar Padepokan Thaha, Haqqani Sufi Institute of Indonesia and Meditation Center, dan Matafisika Study Club (yang semuanya berada di Jakarta) melaksanakan pembelajaran keruhanian kepada para anggota; mengajarkan olah keruhanian yang bersandar pada keterikatan kepada Tuhan Yang Mahakasih Mahasayang. Kepada para anggota ditunjukkan dan dibelajarkan jalan hakikat dan jalan makrifat supaya mereka menjadi manusia spiritual.

Pembelajaran keruhanian dan olah keruhanian juga dipraktikkan oleh Aliran Kepercayaan SUBUD, Sapta Darma, Paguyuban Sumarah, dan PANGESTU. Bisa dikatakan, pelbagai lembaga aliran kepercayaan ini sangat mengutamakan olah keruhanian sebagai inti kegiatan. Di sini moralitas sangat ditekankan dan diutamakan dengan maksud para anggota bisa menjadi manusia baik atau manusia bermoral.

Sementara itu, secara individual, misalnya, spiritualitas bisa dipraksiskan oleh orang-orang tertentu dengan menjalani khalwat di tempat tertentu, menemui satu tokoh ke tokoh lain, mengunjungi satu pesantren ke pesantren lain, ziarah ke makam-makam orang suci, berkelana ke tempat-tempat ibadah di berbagai tempat, dan sebagainya. Sebagai contoh, kebiasaan dan kegemaran Gus Dur bersilaturahmi kepada kyai-kyai khos dan berziarah ke makam-makam wali atau kyai merupakan praksis religiositas Gus Dur. Ini menunjukkan bahwa bentuk sekaligus praktik spiritualitas atau religiositas sangat beraneka ragam.

Di samping ditindakkan atau dipraktikkan, spiritualitas atau religiositas juga diekspresikan atau dicatat-diawetkan dalam teks-teks. Ajaran, tata-cara laku, pengalaman menjalani laku spiritual, persoalan spiritualitas, dan lain-lain acap dituliskan dalam sebuah teks oleh guru spiritual, murid guru spiritual atau oleh para penulis umum. Tangga-tangga spiritualitas atau religiositas juga acap dijelaskan dalam teks-teks sufi atau teks spiritual lain.

Bukan hanya para pendiri, pemuka, dan guru spiritualitas atau religiositas yang kerap menuliskan ajaran dan pengalaman spiritualitas atau religiositas, tetapi para sastrawan juga kerap menarasikan soal spiritualitas atau religiositas dalam teks sastra. Teks sastra kerap kita ketahui sebagai teks spiritual atau teks religious. Kerap juga kita temukan guru spiritual sekaligus sastrawan terkemuka menuliskan ajaran-ajaran spiritual dalam teks sastra.

Abdul Qadir Jaelani (Syaikh Abd al-Qadir al-Jailani), pendiri dan guru Tarekat Qadiriyyah, menuliskan ajaran-ajaran tasawufnya dalam beberapa buku yang meskipun bukan sastra, tetapi sangat padat-estetis-sastrawi. Al-Hallaj, Jallaluddin Rumi, dan Fariduddin Attar menggelar ajaran-ajaran tasawuf mereka dalam teks sastra: al-Hallaj menulis puisi-puisi yang berisi ajaran-ajaran tasawufnya yang menggentarkan dan menggusarkan banyak pihak, misalnya Thawasin. Rumi yang harum namanya menghiasi dunia, pendiri dan guru spiritual Tarekat Maulawiyyah, menggelar ajaran-ajaran tasawufnya dalam teks-teks sastrawi bertajuk Matsnawi (Matsnawi-i-Ma’nawi), Diwan Syamsi Tabriz (Divan-Syamsi-i-Tabriz), dan aforisme Fihi Ma Fihi yang diakui sangat monumental.

Beberapa sastrawan terkemuka Indonesia, misalnya Fudoli Zaini, Djamil Suherman, Mohamad Diponegoro, Kuntowijoyo, Danarto, dan Ahmad Tohari, juga menggelar atau memaparkan ‘ajaran-ajaran’ dan pengalaman-pengalaman spiritual yang kuat dalam teks-teks sastra yang mereka hasilkan. Cerpen-cerpen Fudoli Zaini secara indah-simbolis memaparkan jalan-jalan cinta menunju Tuhan Yang Mahasegala. Dengan latar dunai pesantren yang khas, cerpen-cerpen dan novel Djamil Suherman menyuguhkan perjalanan cinta menemukan makrifat diri. Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (kumpulan cerpen) dan Kotbah di Atas Bukit (novel) adalah gelanggang ekspresi spiritualitas, transendensi atau profetisme Kuntowijoyo. Godlob, Berhala, dan Adam Ma’rifat serta Asmaraloka karya Danarto, misalnya, menggelar ajaran-ajaran sufistis tertentu yang khas Danarto, dalam hal ini ajaran manunggaling kawulo-Gusti. Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari juga merupakan eksposisi spiritualitas atau religiositas kultural ala Walisongo yang sangat khas. Ini semua menunjukkan, teks non-diskursif atau teks naratif sering menjadi ajang mengekspresikan spiritualitas atau sufisme bagi para pemuka tarekat, guru sufi, dan juga sastrawan.

Kendati bukanlah ajaran baku-resmi spritualitas atau religiositas, teks-teks literer-naratif-kreatif Indonesia – baik berupa puisi, cerpen maupun novel – terbukti kerap menjadi arena atau gelanggang menggelar ajaran dan membabar pengalaman spiritual (sufisme) atau religious yang memesona tiada tepermanai. Sastrawan-sastrawan Indonesia acapkali mengeksposisikan berbagai persoalan sufisme dan atau religius dalam teks-teks naratif-kreatif yang mereka gubah. Tak ayal, teks-teks naratif-kreatif karya mereka menggemakan suara-suara spiritual, sufistis dan atau religius. Pendek kata, suara spiritual atau sufistis dan religius bergema di dalam
berbagai lakon, puisi, cerpen, dan novel Indonesia.

____________________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *