Menziarahi Kisah-Kisah Sufistik

Judul Buku: Ziarah Batu-batu Setan
Penulis: M. Fudoli Zaini
Penerbit: Cantrik Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: I, 2018
Tebal: 643 Halaman
ISBN: 978-602-6645-26-5
Peresensi: Ahmad Fatoni *
Jawa Pos, 31 Maret 2019

“Lihatlah batu-batu setan itu, tak tergores sedikit pun oleh granat dan roket-roket mereka. Malah tubuh mereka sendiri yang terkoyak-koyak dan bergelimpangan di mana-mana. Mereka mau membunuh setan, padahal setan telah bercokol lebih dulu dalam diri mereka masing-masing….”

M. Fudoli Zaini dalam cerpen “Batu-Batu Setan” di atas sepintas tak mengandung dimensi apa-apa. Tetapi, bila dicermati, ungkapan itu kaya akan harta karun spiritual. Cerpen-cerpen Fudoli umumnya mengisahkan tentang kesadaran batin manusia menghadapi berbagai persoalan hidup seperti kefanaan, kematian, dan kenisbian waktu yang kerap mengganggu.

Buku antologi cerpen Ziarah Batu-Batu Setan ini merupakan kristalisasi kekhasan Fudoli dalam hal sosio-religiusitas dengan lebih menekankan pada “keterlibatan-dalam” yang bersifat transedental dan cenderung menggugah keinsafan sufistik. Fudoli dengan sangat meyakinkan telah mematok tonggaknya sendiri yang tidak mudah tergantikan oleh nama cerpenis lain.

Pesan-pesan sufistik itu kian paripurna ketika menyelami 75 cerpen yang terangkum dalam buku antologi ini. Dari sekian cerpen tersebut dikelompokkan menjadi enam bagian berdasarkan tahun penerbitan; Lagu dari Jalanan (1982), Potret Manusia (1983), Arafah (1985), Kota Kelahiran (1985), Batu-Batu Setan (1994), dan Rindu Ladang Padang Ilalang (2002).

Pada kumpulan cerpen Batu-Batu Setan Fudoli tampak begitu matang menyelipkan sisi lain dari dunia sufisme. Imajinasi tentang dunia santri dan spirit kepesantrenan sangat kuat terasa. Kisah “Batu-Batu Setan”, menggambarkan seorang anak kecil yang memasuki dunia mistik saat kakek dan ayahnya melawan kezaliman sewaktu membangun pesantren (hlm.437). Sementra dalam cerpen “Burung Kembali ke Sarang” bercerita ihwal seorang kiai bernama Sabri yang dibantai oleh sekelompok orang yang berbeda afiliasi dengan dirinya. Kiai Sabri akhirnya terbunuh dan istrinya pun sekarat (hlm.455).

Tafsir idiom sufisme dalam cerpen-cerpen Fudoli tampak mengarah pada nilai-nilai profetik sebagaimana tersirat dalam antolologi ini. Pada kisah berjudul “Surat” pengarang mengungkap seorang anak kiai dari Madura yang mendapat surat misterius dari teman semasa kecilnya. Setelah ditelusuri, ternyata si teman itu sudah lama mati. Jadi selama tiga kali menerima surat balasan dari temannya, itu berasal dari alam arwah (hlm.492). Melalui cerpen “Surat” dan beberapa judul lainnya meneguhkan posisi Fudoli sebagai cerpenis yang begitu akrab dengan tema kematian.

Sebagai anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, tentu Fudoli sangat dipengaruhi oleh kehidupan tradisi pesantren. Cerpenis yang lahir di Sumenep, Madura, 8 Juli 1942, tersebut adalah satu dari sedikit pengarang yang mengetengahkan kehidupan santri di dalam cerpen-cerpennya. Ia tentu tidak sekadar mengalihkan nuansa kehidupan pesantren, namun secara intens mengolah problematikanya, terutama dari spirit religiositasnya.

Kecerdikan Fudoli melucuti paradoks kemanusiaan dengan mengubahnya menjadi nilai-nilai keagamaan-sufistik itu tak lepas dari sub-kultur Madura yang sangat lekat dengan budaya kepesantrenan. Harapan, cinta, maut yang mengerikan, ketakberdayaan insan di hadapan takdir, perjuangan melawan hawa nafsu, kerinduan kepada kota kelahiran adalah tema-tema pokok dalam kumpulan cerpen setebal 643 ini.

Itu sebabnya, sebagian besar cerpen dalam buku ini menghadirkan kisah-kisah yang hidup dan berkembang di kalangan santri. Dengan gaya tutur yang lancar mengalir, cerpen-cerpen Fudoli berhasil mengangkat persoalan yang tampak begitu sederhana, sangat realis dengan tema kehidupan keseharian di pesantren yang tak jarang memunculkan kisah-kisah para wali di Madura dengan fenomena mistisnya.

Sementara pada kumpulan cerpen Kota Kelahiran Fudoli memperlihatkan sisi-sisi eksotisme masyarakat Madura lengkap dengan sejarah masa lalunya. Kisah yang berbasis alam pedesaan melarutkan pembaca dalam ragam kenangan yang tak terlupakan. Maka tokoh “Aku” dalam cerpen “Kota Kenangan”, meski secara fisik telah melanglang jauh ke negeri orang, hatinya selalu tertinggal di kota kelahirannya (hlm.373). Wajar saja jika Fudoli juga banyak mengangkat tema kesepian di negeri rantau dan menariknya jauh dari hal-hal yang beraroma percintaan.

Di tengah derasnya cerpen-cerpen Indonesia mutakhir yang mengusung tema kritik sosial atau percintaan secara profan, Fudoli justru mengangkat sisi-sisi lain dari bilik terdalam kemanusiaan. Pengetahuannya yang luas tentang filsafat, tasawuf, dan sufisme sangat membantu menyelipkan metafora dan simbol-simbol sufistik di dalam cerpen-cerpennya. Fudoli, dalam banyak hal, bisa disebut sebagai inspirator dari kehadiran para pengarang santri yang bermazhab sufisme belakangan ini.

*) Pengajar PBA Universitas Muhammadiyah Malang, Penulis buku Madura Perantauan.

Leave a Reply

Bahasa »