MUSLIHAT, DAN YANG TERJERAT


Taufiq Wr. Hidayat *

Tatkala Sherlock Holmes ditanya berapa bayaran yang ia inginkan untuk menangkap Blackwood—sosok penjahat yang berkedok agama untuk mengelabuhi korban dalam menjalankan aksinya mengambil alih kekuasaan di parlemen. Ia menjawab tidak mau dibayar. Bagi Holmes, menangkap Blackwood bukan soal bayaran. Karena rasa ingin tahu terhadap misteri kebangkitan Blackwood dari kuburan yang membuatnya terpancing terus melakukan penyelidikan. Dengan penyelidikannya itu, ia akan menemukan pengalaman dan pengetahuan baru. Maka ia tak perlu keuntungan uang dari profesinya. Ia yakin mendapat keuntungan pengalaman, yakni pencerahan. Sikap itu dibangun dari keyakinan Holmes, bahwa manusia tak berarti apa-apa, pekerjaanlah yang membuatnya berharga.

Detektif jenius dalam novel Arthur Conan Doyle itu difilmkan dalam serial televisi Granada British pada 1984-1994, digarap oleh Michael Cox. Sosok Holmes pertama kali diperankan Jerremy Brett. Dan David Burke sebagai dr. Watson, dokter cerdik yang menemani Holmes dalam setiap penyelidikan kasus-kasus rumit yang seakan mustahil dipecahkan. Pada film “Sherlock Holmes” tahun 2009, garapan sutradara Inggris, Guy Ritchie, tampaklah figur Holmes yang jenius, nyentrik, sangat humoris, tenang, dan perokok cangklong itu—diperankan secara gemilang oleh Robert Downey Jr. Ia didampingi kawannya yang setia, yakni dr. Watson, dimainkan begitu meyakinkan oleh Jude Law. Dan Blackwood yang licik, culas, dan jahat—dikerjakan Mark Strong, berhasil membuat Holmes dan dr. Watson sang kawan setia, kembali terjebak suatu kasus kejahatan yang memang sengaja disusun begitu rapi dan sedemikian terencana, amat detil dan teliti, yang dirancang berpuluh tahun, melibatkan alat-alat negara. Kejahatan yang tampak sempurna, tak terduga, dan serasa mustahil dibongkar.

Dalam film garapan Guy Ritchie yang bernuansa klasik dan puitis itu, dalam sebuah sel tahanan, Holmes mengelabuhi para penjahat kelas berat dengan humor. Humor-humornya sanggup menyedot perhatian dan menghipnotis orang-orang jahat tersebut dalam tawa, dan berhasil melepaskan sejenak persoalan hingga membuat mereka berbahagia. Holmes pun aman. Tampak gambaran seorang detektif ulung yang membasmi kejahatan dan penegak keadilan yang kokoh pendirian, memiliki dan mendalami kejiwaan orang-orang jahat. Pada suatu keadaan, ia punya pikiran lebih jahat dari penjahat paling keji. Atau punya pikiran yang melampaui pikiran licik penjahat terkejam dan licin. Untuk mengungkap kejahatan, ia harus mencari. Di saat itu pula, ia mesti melampaui baik dan jahat, licik dan cerdik. Ia seolah tak terjelaskan untuk membongkar persoalan-persoalan yang juga tak mudah dijelaskan.

Holmes mengembangkan metode deduksi dalam penyelidikannya. Menarik suatu kesimpulan dari situasi umum atau penemuan khusus dari yang umum. Proses penalaran data umum (premis) guna mencapai kesimpulan logis. Metode ini yang dipakai Leo Tolstoy dalam novelnya “The Death of Ivan Ilyich” pada 1886. Di tangan Holmes—yang tak lain adalah imajinasi agung Doyle, metode ini menjadi unik. Holmes tak pernah meramalkan masa depan. Ia dapat menerka dengan tepat karakter tiap orang yang dia amati berdasar petunjuk yang amat sedikit. Ini mirip seorang dokter yang dapat dengan tepat menerka penyakit dan keluhan si pasien bahkan hanya dari langkah kakinya. Dokter sejati yang ulung, mungkin bagi Doyle, begitu itu. Tak melebih-lebihkan suatu kondisi atau mengurang-nguranginya, juga tidak menakut-nakuti pasiennya cuma agar obat dan jasanya laku, menggawat-gawatkan suatu penyakit yang sebenarnya tidak gawat. Lebih spesifik, sebenarnya ia memperhatikan hal-hal yang tampak tak ada kaitannya. Ia menaruh keyakinan dan perhatian pada hal-hal kecil sebagai hal yang vital.

Ia memang tak meramalkan masa depan. Lebih dari itu, ia justru merancang masa depan dengan segala kemungkinan yang ia gali dari data dan kontraksinya terhadap masa lalu. Masa lalu dari sebuah peristiwa atau suatu peristiwa yang tak disaksikan siapa-siapa, jejaknya dirangkai pada kenyataan hari ini sebagai akibat dengan daya imajinasi yang mengagumkan. Ia bergulat dan mendalami setiap kemungkinan. Menghampiri masa depan dengan segala ketakterdugaannya, yang teka-teki, dan yang sepenuhnya misteri. Alat utama untuk membedah kemudian merancang masa depan adalah kemungkinan. Sebab baginya, saat kemungkinan yang mustahil telah disingkirkan, maka apa pun yang tertinggal, betapa pun ganjilnya, adalah kebenaran yang tak terelakkan. Apa yang pelik dan muskil, sebenarnya bergantung pada yang sederhana. Atau sebaliknya.

Holmes memiliki daya—dengan metode deduktifnya itu, merangkai masa lalu guna memahami apa yang sesungguhnya telah terjadi dan membedah apa yang akan terjadi dalam kemungkinan-kemungkinan rumit yang terus menerus digali. Ia sangat mumpuni di dalam menyusun dan melihat masa lalu, atau melihat peristiwa yang telah lama atau baru terjadi dengan merangkai keadaan kekinian sebagai premis umum atau khusus, guna mencapai kesimpulan logis suatu keadaan yang tengah terjadi. Ia membutuhkan detil data untuk mengonstruksi realitas secara obyektif dalam pikirannya. Agaknya ia memang menggambarkan suatu keniscayaan, bahwa masa lalu tak lain kontruksi ingatan dalam pikiran. Ingatan tersebut dirangsang oleh bukti, situasi, dan peristiwa hari ini. Dan ia sanggup bertahan pada obyektivitas pandangannya, tak bersikap secara subyektif terhadap keadaan dan peristiwa. Kerendahan hati, katanya. Kerendahan hati itu—bagi Holmes, adalah kekuatan utama di dalam mengalahkan kutukan sebagai seorang yang mumpuni. Sehingga ia tak merasa telah selesai atau telah berada di atas apa pun dan siapa pun sebagai yang ahli dan yang mumpuni itu. Maka tak ada peristiwa yang membuatnya sebenar cemas, pertanyaannya bukan apakah ia percaya pada suatu peristiwa yang telah atau tengah terjadi, lantaran baginya semua peristiwa adalah “kepastian yang harus terjadi”, siapa pun pelakunya. Melainkan yang berada dalam pikirannya adalah bagaimana suatu peristiwa terjadi dan kenapa itu terjadi.

Berbekal pengetahuan masa lalu yang ia kontruksi itulah, kejeniusan Holmes sanggup memecahkan keadaan atau jejak dari peristiwa kejahatan yang mustahil dipahami siapa pun, bahkan oleh si pelaku kejahatan sekalipun. Ia menghampiri masa depan dengan dugaan akurat dan argumentatif yang dipastikan sejumlah data-data sebagai bangunan batu bata analisanya. Namun ia tak pernah menyimpulkan dugaannya secara permanen.

Apa yang sesungguhnya dipikirkan Sherlock Holmes, detektif ulung dan mashur dalam sejarah itu, sejatinya hendak membuktikan bahwa dunia dan segala peristiwa di dalamnya, tak lain tipuan kekinian. Tipuan kekinian itu hanya mungkin dipecahkan dengan merangkai masa lalu dengan bukti dan penyusunan detil keadaan atau jejak dalam kekinian itu sendiri, yang terhampar sebagai realitas. Agaknya Doyle memang menemukan kenyataan dunia yang menipu itu dalam pikiran-pikiran Sherlock Holmes. Itu membutuhkan ketelitian, pendalaman, kesabaran, dan mengembangkan kemungkinan-kemungkinan dalam memperkaya pandangan.

Sejak dulu, dunia memang menipu. Tipuan itu terutama datang dari kekuasaan. Atau sahwat berkuasa. Tentu saja tipuan harus tampak bukan tipuan, agar orang benar-benar tertipu, kena tipu, atau tak sadar tertipu. Tipuan harus tampak sebagai kebenaran, agar yang tertipu tak memperkarakannya. Ada penipuan dari perhatian, dari wabah penyakit, dan entah dari apa lagi. Tapi bagaimanapun, tipuan itu—setidaknya bagi Holmes, selalu ingin melampaui kewajaran dan kebenaran. Meski ia selalu tampak seolah-olah wajar dan benar.

Tembokrejo, 2020

_____________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *