Ini adalah kisah tentang seekor monyet betina bernama O yang ingin menikah dengan seekor monyet jantan bernama Entang Kosasih, mereka berdua saling mencintai sebagai dua ekor monyet yang tinggal di hutan Rawa Kalong. Rencana menikah dan bulan baik telah di tetapkan, namun masalahnya Entang Kosasih, sang pejantan adalah seekor monyet pemimpi. Ia memiliki obsesi untuk menjadi seorang manusia.
Obsesi atau boleh jadi keinginginan luhurnya itu berasal dari cerita tentang Armo Gundul. Monyet-monyet di hutan Rawa Kalong kerap membicarakan seekor monyet bernama Armo Gundul yang berhasil menjadi manusia. Konon Armo Gundul adalah satu-satunya monyet yang berhasil menjadi manusia. Kisah itu kerap diceritakan secara lisan oleh monyet-monyet yang lebih tua ke monyet-monyet muda, barangkali itu semacam kisah turun-temurun yang telah diyakini sebagai legenda.
Meski itu diyakini monyet-monyet lain sebagai legenda, yang belum tentu kebenarannya namun berbeda dengan Entang Kosasih ia berkeras untuk menjadi serupa dengan Armo Gundul, ia ingin menjadi manusia. Seluruh monyet tidak tahu bagaimana cara menjadi manusia, begitupun dengan Entang Kosasih. Namun ia adalah monyet yang keras kepala. Sebagaiamana diketahui O, kekasihnya bukan jenis monyet yang memiliki rencana-rencana detail untuk masa depannya, jika ia menginginkan sesuatau di masa depan, ia akan tetap menginginkannya. Bagaiamana ia akan memperoleh itu, ia hanya akan berkata, kita lihat saja nanti.
Selanjutnya cerita berjalan karena ide tersebut, seekor monyet yang ingin menjadi manusia. Namun keseluruhan cerita tidak hanya didominasi oleh cerita-cerita hewan atau yang biasa kita sebut dengan cerita fabel. Bernard Batubara, mengatakan novel O merupakan novel semi-fabel karena dalam novel ini muncul juga tokoh-tokoh manusia yang tidak hanya sebagai tokoh pelengkap. Mereka muncul sebagai sparring partner, juga memiliki masa lalu dan keinginan-keinginan yang unik. Kisah cinta para hewan sekaligus manusia.
Yang berbeda dari novel-novel sebelumnya disini Eka Kurniawan seolah muncul dengan teknik bercerita yang kaya. Namun tetap seperti novel-novel sebelumnya (Cantik Itu Luka dan Lelaki Harimau) novel O ini di tuturkan oleh narator omniscient. Ini dapat dilihat dari cara Eka menceritakan apa-apa yang sedang dipikirkan tokoh-tokohnya, masa lalu, dan keinginan-keinginannya. Tokoh yang dipilih Eka pun tampak tidak lazim, tidak hanya hewan dan manusia, ada juga Revolver, ia adalah senjata kesayangan Sobar, si polisi. Di satu adegan kita akan menjumpai Revolver tidak hanya benda mati saja, ia juga mempunyai perasaan layaknya manusia. Selanjutnya kita akan menjumpai Kaleng Sarden, ia adalah sebuah kaleng yang digunakan Betalumur majikan O yang merupakan pawang topeng monyet sebagai wadah keping-keping rupiah. Barangkali bagian itu boleh disebut sebagai cerita surealis. Dimana kita bisa menjumpai hal-hal yang tidak lazim.
Seperti biasanya saya suka cara Eka Kurniawan membuat plot, entah bagaimana caranya. Plot yang Eka buat tampak seperti benang kusut, rumit, namun tetap saling sambung-menyambung antar fragmen-nya. Di salah satu tulisan tentang Eka Kurniawan saya pernah menjumpai, namun saya lupa sudah judul tulisan tersebut. Eka mengatakan, ia menulis novel tanpa draft, ia hanya menulis saja, ketika merasa ada bagian dari novelnya yang tampak bolong, ia menulis ulang, mengganti bagian-bagian yang tampak lemah tadi. Untuk novel setebal 470 halaman, mungkin itu butuh waktu yang lama. Sebagaimana di akhir novel Eka mencamtumkan tahun 2008-2016. Entah itu kurun waktu penulisan novel atau ada maksud lain, barangkali hanya penulis yang tahu.
Di novel O ini kita seperti sedamg diperlihatkan Indonesia dalam potret kontemporer. Tentu saja dengan budaya-budanyanya. Topeng monyet, mitologi, dan sejarah tentunya. Di akhir cerita Eka Kurniawan memunculkan mitologi tentang manusia yang menjadi hewan. Mungkin ini sebagai kritik terhadap moralitas, kita kerap menjumpai di berbagai media yang disiarkan di televisi atau di Koran-koran sekarang ini. Banyak sekali kasus-kasus yang tidak manusiawi, korupsi, asusila, dan semacamnya. Bukankah itu terlalu hewani.
Namun pada akhirnya Eka Kurniawan benar-benar membuat saya iri, entah seberapa besar usaha yang harus dilakukan agar bisa menjadi penulis sekelas Eka Kurniawan atau lebih. Hal itu masih menjadi pertanyaan yang kerap membuat tidur saya tidak nyenyak.
_______________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya terpublikasi di Website Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com