PERIHAL MENULIS


Sunlie Thomas Alexander *

MENULIS tidaklah gampang. Apalagi bagi penulis yang bernaung di bawah zodiak Gemini. Banyak kawan penulis mungkin tak percaya adanya writer’s block; mereka lebih percaya pada disiplin dan ketatnya ruang studi, sebagian yang lain barangkali boleh percaya (dan tak lelah berharap) pada “momen-momen” yang bakal tetap rutin menyambangi mereka sebaik ibu peri.

Aku tidak punya disiplin yang baik sejak remaja, tak pula kelewat tahan tenggelam dalam ruang studi yang sedingin Eropa tatkala cuaca membeku. Dan aku sudah lama sadar tak bisa mengandalkan momen-momen, yang puitik maupun tak puitik. Tetapi aku tahu bahwa aku masih selalu punya harapan. Atau paling tidak, berpikir bahwa aku masih selalu punya harapan.

Aku tak bisa menulis cerpen atau esai untuk media seproduktif pada masa-masa kuliah lagi. Itu jelas bagiku. Setiap penulis saya kira pernah mengalami periode itu, ketika kata-katamu mengalir deras seperti cucuran air dari dispenser begitu kau berada di muka laptop atau CPU. Jika air di galonnya habis, ya tinggal diisi ulang dengan banyak pilihan cara.

Raudal Tanjung Banua mencoba menggunakan “tema” untuk memancing proses kreatifnya, sekaligus menjadikan tema itu semacam fondasi juga benang merah pengikat cerpen-cerpennya. Maka kita tahu, lahirlah seri “cerita-cerita kecil” di Koran Tempo dan seri “kota-kota kecil” di Jawa Pos. Yang terakhir, kemudian dibukukan sebagai “Kota-kota Kecil yang Diangan dan Kujumpai”; sebuah jembatan fakta dan fiksi yang menawan itu. Dan sekarang, katanya, ia ingin menghidupkan “tokoh-tokoh kecil” yang pernah dikenalnya di kampung halaman sebagai tema baru. Kendati ia juga tampak cukup rindu untuk kembali pada gaya yang lama, pada buku cerpen terbaiknya yang terbit pada 2005: “Parang Tak Berulu”. Kita bisa menemukan itu–suara narator yang layaknya Tukang Kaba dalam tradisi Minang–pada cerpennya “Aroma Doa Bilal Jawad” yang memenangkan Cerpen Pilihan Kompas 2018.

Tidak. Aku sesungguhnya tak pernah kekurangan gagasan juga gairah. Sekarang saja, ide-ide cerita, uneg-uneg dan kegelisahan, ataupun samar-samar baris puisi terus bercokol di kepalaku. Ada bayang-bayang cerita pendek baru yang datang menghampiri seperti tamu tak diundang; dengan tawaran teknik dan muatan yang juga tampak baru. Ada pula kisah-kisah lama tak terselesaikan yang tiba-tiba kembali menyapa dan mengingatkan jika mereka juga ada harganya, jangan dibiarkan saja mengendap sebagai sampah hardisk. Lalu embrio puisi-puisi yang masih berupa separuh racauan itu, yang dulu dicatat dengan rada tergesa di Taiwan, Bangka, Belanda. Juga esai-esai yang mestinya ringan.

Belum lama ini akhirnya aku memang menulis dua esai setelah mangkir bertahun-tahun. Kau tahu, hidup di era hiperrealitas dengan smartphone di tangan kerapkali membuatku merasa kelimpungan. Lantaran selalu saja muncul kecemasan untuk merespon beragam peristiwa yang sedang berlangsung, dan itu lumayan mengesalkan. Misalnya mendadak aku ingin menulis tentang Rizieq, antihero sekaligus superhero yang mengingatkanku pada sang Imam Kensington yang rakus dalam The Satanic Verses juga Klan Teratai Putih dalam sejarah Cina itu. Lalu ada perang era baru yang dipicu oleh Huawei dan fenomena Google Camera Modifikasi. Dan lain-lain, dan lain-lain lagi. Ini belum lagi ditambah dengan kegelisahan untuk mengkaji sekian buku dan karya lepas baca.

Tetapi sekali lagi, menulis–seperti pula halnya membaca–tidaklah segampang makan atau berak. Kita tak bisa mengharapkannya dengan sekali duduk lalu selesailah pada waktunya. Sehingga alhasil, bagiku keduanya pun serasa beban-beban yang mesti dipikul.

Ya, seyogianya ada begitu banyak gagasan yang bisa dituliskan. Dan seharusnya pula aku bisa menyediakan waktu yang jauh lebih lapang untuk menuliskannya, juga waktu yang lebih luwes untuk membaca di antara godaan-godaan lain yang cukup mengusik sekaligus menggairahkan seperti jalan-jalan, menonton film, dan berburu foto. Apalagi untuk urusan foto-memfoto, belakangan ini aku memang cukup antusias pada mobile photography.

Sungguh, aku tak ingin menyalahkan zodiak Gemini. Ia, kukira telah memberikan padaku banyak kelebihan dan keberuntungan selain kelemahan, kesusahan dan kesialan.
***

NAMUN aku sudah menulis ulang Bab Pertama novelku “Kampung Halaman di Negeri Asing” lebih dari sepuluh kali dan itu betul-betul melelahkan sekaligus menyakitkan hati. Sehingga sejumlah kawan yang tahu tentang hal ini pun telah menjadikannya sebagai bahan guyonan, alih-alih berharap aku mampu menyelesaikannya dengan baik. Bahkan seseorang menyarankan padaku untuk membukukan saja kumpulan bab pertama itu. Ini lucu sekaligus menyedihkan. Kawan yang lain mengatakan bahwa aku terlalu perfeksionis lantaran dihantui oleh “novel-novel besar” yang pernah kubaca dan kuanggap ideal. Katanya, aku harus melakukan exorcism, mengusir hantu-hantu itu agar bisa menulis dengan lebih lancar.

Masalahnya, aku juga suka digentanyangi oleh hantu-hantu bacaan. Meski tahu aku selalu kesulitan membaca dengan cepat, aku terus saja menumpuk buku-buku baru. Hari ini saja, aku baru memesan dua novel karya Yu Hua pada Gunawan Tri Atmodjo, pedagang budiman juga cerpenis yang sukses menjadikan Narudin Pituin nyaris sepenuhnya tokoh fiksi itu. Aku memang tak mungkin mengharapkan diriku menuntaskannya dengan cepat, tapi aku yakin aku harus membacanya sebagai pembanding. Aku bahkan berhasrat membeli versi asli Mandarinnya jika ke HK dan Cina nanti demi sekadar membandingkan hasil terjemahan Agustinus Wibowo.

Ya, barangkali salah satu kendalaku dalam upaya menulis novel ini adalah kegemaranku melakukan pembandingan. Untuk perkara mengkaji karya ini adalah hal yang sangat baik dan perlu, namun dalam urusan menulis, percayalah ia seringkali akan membuatmu kesulitan ejakulasi.

Membaca genre apapun, karya siapapun dan dari belahan dunia manapun, aku tak pernah berhenti diusik untuk terus-menerus membandingkannya. Kendati pembandingan itu nantinya hanya aku peruntukkan untuk diriku sendiri, tanpa merasa ingin menuliskannya atau sekadar menceritakannya kepada orang. Hal ini terutama dalam soal kepengrajinan; dalam hal bagaimana seorang penulis mengasah teknik kepenulisannya. Dan kurasa bagi setiap penulis yang serius, urusan teknik ini memang demikian menggairahkan. Sehingga tatkala kita menemukan sebuah karya dengan teknik pengisahan yang bagus, kita pun seolah-olah sange.

Tentu ada begitu banyak teknik yang bisa kita eksplorasi, kita cari, temukan, maupun kita curi secara kreatif.

Dalam satu-dua esai pendeknya di blog yang belum lama ini dibukukan sebagai “Senyap yang Lebih Nyaring”, Eka Kurniawan sempat membeberkan pengalaman kreatifnya mencuri kisah dari penulis-penulis lain yang ia baca untuk ia kembangkan sebagai karyanya sendiri, juga tentang bagaimana para penulis dunia saling mencuri muatan isi dan teknik. Ini bukanlah hal yang keliru untuk dilakukan. Jagat seni dan kesusastraan mengenal intertektualitas yang dimashurkan oleh Julia kristeva. Di sini, aku tidak ingin menceritakan kembali apa yang ditulis Eka perihal itu, atau ceritanya yang mana saja yang merupakan pengembangan dari hasil pencurian kreatifnya.

Toh, kita telah banyak tahu bahwa Eka bukan saja dengan luwes dan piawai mencuri dan mengolah kembali kisah dari penulis lain, tetapi juga dengan sadar memanfaatkan kembali teknik-teknik para penulis sebelumnya itu. Dengan gampang kita bisa menunjuk “Cantik Itu Luka” dan “Lelaki Harimau” sebagai pencurian kreatif sekaligus upaya peluasannya atas teknik Gabriel Garcia Marquez dalam “Seratus Tahun Kesunyian”. Hal mana yang mana juga dengan kentara dilakukan oleh Isabel Allende untuk novelnya “The House of The Spirits”. Bahkan lebih jauh, pencurian kreatif ini tak cuma sekadar menyangkut teknik penceritaan namun juga meliputi gaya bertutur/bahasa ungkap.

Dan kita pun belakangan ini kembali menemukan teknik pengisahan dan gaya bertutur yang serupa dengan Eka itu dalam novel “Samaran” karya Dadang Ari Murtono dan “Orang-orang Oetimu” karya Felix Nesi, lengkap dengan “pembocoran cerita” di bab pertama. Bahkan tanpa harus melakukan pembacaan detail, sejak halaman pertama kita dengan mudah sudah bisa menemukan kembali rasa “Lelaki Harimau” dan “Cantik Itu Luka”.

Sekali lagi, pencurian kreatif atas teknik pengisahan dan gaya tutur bukanlah sesuatu yang keliru, bahkan sudah lumrah dilakukan dalam sastra dunia. Tetapi saya berpikir jika hal ini dilakukan secara terus-menerus oleh banyak penulis, boleh jadi ia bakal cenderung menjelma jadi semacam “wabah epigon”. Ya katakanlah kayak sejenis “selera Nirwan Dewanto” di Koran Tempo bagi cerpenis dan penyair muda Indonesia; ketika nama-nama penulis ditutup, kita pun kerap kelabakan menebak siapa pengarangnya.

“Di kita, gaya Amerika Selatan ini untuk novel sudah seperti kecenderungan prosa liris dalam perpuisian kita. Emang agak sulit dihindari,” kata Raudal dalam diskusi pribadi kami.

Meski demikian, saya setuju dengan Eka bahwa kita memang mesti belajar dari Amerika Latin dalam soal teknik. Dari Marquez misalnya, tanpa harus ada orang-orang yang kembali dari mati. Juga dari para penulis hebat di belahan dunia lainnya: Pamuk, Rushdie, Mo Yan, Kawabata, Lessing, Hemingway, Jelloun, Okri… Dan seterusnya. Ya, ada begitu banyak teknik yang mingkin bisa kita gali kembali.

Baca saja bagaimana Cak Mahfud Ikhwan contohnya, memulai Dawuk, metafiksi dari Rumbuk Randu itu, dari gunjingan (di warung kopi) sebagaimana halnya gosip yang dimanfaatkan oleh Jorge Amado sebagai teknik tutur dan kerangka dalam novel-novelnya, misalnya dalam “Dona Flor and Her Two Husbands”. Meskipun novel pemenang Kusala Khatulistiwa itu tidaklah sekompleks dan seluwes kisah Amado, dan juga menggunakan gaya bahasa penceritaan yang jauh berbeda.

Aku juga terkagum-kagum pada teknik pembukaan yang digunakan Ida Fitri dalam “Tukang Intip”, bab pertama dari calon novelnya yang ia kirimkan padaku secara privat untuk meminta komentarku. Terutama dalam soal ia membuka kisah dan menghadirkan detail peristiwa orang-orang desa yang sedang terjebak dalam baku tembak antara GAM dan TNI. “Tukang Intip” ini bukan saja mampu mengisahkan suasana mencekam yang mengingatkanku pada bab awal novel Mo Yan “Sorgum Merah”, tetapi juga menunjukkan kematangan teknik penulisnya dalam hal berganti fokus cerita tanpa memerlukan jeda.

Lantas bagaimana aku harus kembali memulai novelku “Kampung Halaman di Negeri Asing” yang sudah kurancang sejak 2009 itu? Beberapa waktu lalu, aku sempat berpikir untuk memendamnya lagi dan mencoba belajar menulis novel pendek dulu sebagai latihan. Dan ini sudah aku mulai, meski baru beberapa paragraf. Cukup menggairahkan??? Entahlah. Tetapi jika dibandingkan dengan gagasan besar mengenai sejarah orang Tionghoa di Pulau Bangka dari sudut pandang sebuah keluarga morat-marit pada “Kampung Halaman di Negeri Asing” yang aku idealkan sebagai roman tentang puak dan tanah kelahiran sekaligus olok-olok bagi diri sendiri itu, menulis kisah seorang preman berbibir sumbing yang mati ditembak polisi dan seorang ibu muda yang selalu minder pada teteknya yang kekecilan, jelas jauh lebih mudah.

“Bajingan emang novel, tipis aja nyiksa apalagi tebal,” kata Dea Anugrah suatu ketika.[]

Yogyakarta, Juli 2019

Link PERIHAL MENULIS (2)

____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Leave a Reply

Bahasa ยป