Halim HD *
Kompas, 12 Juli 2015
Apakah ungkapan sastra dan martabat ini masih berlaku, ketika orang mengenang dan merenungi bentangan ruang sejarah dan peradaban yang telah membentuk kehidupan manusia zaman kini? Lalu memetik jalinan kalimat yang telah dijadikan pijakan dan pegangan kehidupan selama ini: melalui dan dengan sastra suatu negara, bangsa dan manusia yang mengisi ruang sosialnya telah menciptakan suatu jembatan kehidupan yang membawanya ke dalam percaturan yang bukan hanya diukur oleh kecukupan sandang dan pangan. Tapi juga nilai-nilainya sebagai manusia beserta sistem kemanusiaannya yang diwujudkan ke dalam berbagai impian, atau lebih tepatnya harapan tentang keadilan sosial, pergaulan yang santun, tata krama yang bukan hanya di ujung lidah, namun menciptakan suatu ruang dalam tubuh yang membuat seseorang atau suatu masyarakat bisa menerima perbedaan dengan rasa legawa.
Salah satu hal yang paling mendasar di dalam sastra adalah sistem nilai tentang pandangan dunia, sejenis perspektif filosofis yang mengungkapkan sistem nilai kehidupan. Melalui berbagai khazanah sastra, I La Galigo, karya-karya Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, untuk mengambil contoh adalah suatu kerangka nilai yang kita jadikan sebagai acuan di dalam memandang perjalanan sejarah beserta makna manusia dan nilai kehidupannya. Di dalam khazanah sastra itu pula kita bisa melongok dan melacak sistem nilai bersifat personal dan sosial, dan sekaligus suatu rangkuman harapan tentang makna yang baik dan buruk, yang indah dan yang jelek, yang benar dan yang salah. Rangkuman antara kebaikan, keindahan, dan kebenaran merupakan tolok ukur untuk menilai, sejauh manakah kita sudah melangkah, dan adakah setiap langkah di titian kehidupan kita sudah memenuhi persyaratan kebaikan, keindahan, dan kebenaran?
Karena ketiga kandungan itu pulalah sastra sebagai suatu bentuk selalu menjadi ruang bagi pengucapan dan pengungkapan sistem ketatanegaraan, sistem hukum, harapan untuk meraih keadilan sosial. Dan dari sanalah kita memeluk kepada masa lampau, yang tak jarang pula kita terninabobo oleh cara kita menghadapi ruang masa lalu. Kita tak menolak jika ada sebagian orang yang memeluk masa lampau dan senantiasa terninabobo dan memimpikan kenikmatan dari impian atas nama revitalisasi yang bersifat archaic, kepurbaan.
Ruang tafsir
Namun, seperti juga watak sastra yang senantiasa menelusuri ruang-ruang di dalam kehidupan dan selalu pula bersifat situasional dan kontekstual, maka sastra tak membiarkan dirinya hanya menjadi bantal pelukan dan kasur kaum pemimpi. Dia akan mengubah situasi-kondisi melalui ruang tafsir yang menjadi watak dari sastra: sejarah dan otokritik di dalam kandungan sastra senantiasa inheren. Sejarah senantiasa berada di bumi dengan gapaian akan dan tentang ruang langit, keilahian, yang diidamkan yang selalu menciptakan tegangan dan sekaligus sejenis gugatan antara takdir, nasib dan usaha manusia yang fana. Itulah makanya sastra memiliki dimensi vertikal dan horizontal, yang mengandung makna gapaian keilahian dan juga rentang jalan lurus ke ufuk pertemuan.
Sastra dan pertemuan merupakan suatu fenomena yang terus-menerus menjadi persoalan bagi kalangan sastrawan. Secara teknikal, betapa pentingnya seorang penulis sastra melakukan riset, memahami sejarah sosial, dan melacak tatanan nilai lingkungannya, dan memahami kondisi manusia. Semuanya itu, pada dasarnya adalah upaya untuk mempertemukan kembali berbagai tatanan nilai dalam konteks ruang pertemuan yang baru: dialog menjadi nilai utama, yang selalu dipertaruhkan di dalam kerangka karya sastra sebagai upaya manusia dalam sastra menggapai relung-relung batin. Melalui ruang inilah gapaian kepada keilahian selalu menggetarkan, dan bahkan menciptakan gegar, oleng-kemoleng keyakinan karena pertemuan dengan persilangan horizontal, realitas sosial dan sejarah lingkungan masyarakat yang kerap menjadi bahan olahan dan dinamit bagi karya sastra. Itulah makanya karya-karya Pasternak, Solzchenietzin, Kafka, Iqbal, Chairil Anwar, Hamzah Fansuri, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Amir Hamzah, Sophocles, Shakespeare, dan sejumlah pengarang sastra lainnya, yang senantiasa membuat kita gegar di dalam keyakinan namun sekaligus pula kita memasukinya dalam gapaian rindu dendam.
Rindu dendam teologis atau keilahian tak senantiasa bicara tentang Gusti Allah dengan kerangka syariah. Sastra memang bukan kitab suci agama. Chairil Anwar yang menderu bersama debu jalanan, dan dengan sepak terjang ”binatang jalang”-nya terasa hadir dalam pencarian sebagai individu modernis Indonesia dalam masa transisi yang penuh keguncangan dan kegegaran sosial-politik dengan kegelisahan sebagai makhluk keilahiah. Sebagai individu yang bebas Chairil Anwar melepaskan beban teologis yang bersifat syariah, makanya dia begitu akrab dengan Isa al-Masih, tanpa beban seperti kebanyakan sastrawan bentukan rezim Orba yang menganggap dirinya religius namun menista keyakinan orang lain. Pada Iqbal, di belahan India—lalu menjadi Pakistan—ketika mengenal Nietszche, dia mengalami keguncangan, namun dengan keguncangan itu pula keyakinannya kian mengakar, tumbuh berkembang, dan sebagai sosok dengan individualitasnya yang kian kokoh menjulang yang mampu dan bisa melakukan dialog dengan berbagai keyakinan.
Pergaulan dialogis
Pada suatu periode sejarah, negeri ini pernah mengalami suatu pertemuan dan pergaulan dialogis yang bukan hanya akrab secara personal-sosial, tapi juga memberikan inspirasi kepada kehidupan kebudayaan dan berbangsa, yang lepas dari segala prasangka. Coba kita baca dan resapkan karya-karya sastra pada periode 1940-1950-an, suatu masa yang gemilang dengan berbagai ideologi dan berbagai arus pemikiran dan di sanalah kita menyaksikan momentum penting di dalam penanaman benih kehidupan sastra dan pemikiran dalam pertemuan dan pergaulan dialogis.
Secara praktis, banyak elite partai di pusat dan daerah bersastra dan berkesenian, dan seniman tak alergi dengan dunia partai. Dan kritik adalah upaya untuk menjembatani bukan saja antara karya sastra dan publik, tapi juga menjadi kewajiban bagi sastrawan untuk menerimanya sebagai bagian karyanya. Sayang, kondisi itu hanya berlangsung dua dekade, dan lalu kita memasuki zaman ketika arus pemikiran faksionalisme begitu kuat dan banyak memerangkap kaum seniman, sadar atau tidak, menjadi onderbouw kekuasaan, politik ataupun ekonomi, dua sisi yang saling berdampingan.
Suatu kekuasaan yang menafikan dunia kebudayaan, dan menganggap sastra hanya menjadi pengganggu, membuat dirinya kian memasuki kondisi paranoia. Dalam konteks inilah, sesungguhnya justru sastra sangat perlu untuk menciptakan ruang dialog. Namun, suatu rezim bukan hanya dengan cerdik tapi juga strategis, bagaimana menciptakan ruang dialog yang dianggap prestisius dan sekaligus penyaring dan sebagai alat kontrol: pusat kesenian.
Maka, dialog tak lagi lahir dari kedalaman yang otentik, tapi dibentuk oleh kerangka dan prasangka. Konon zaman itu sudah berlalu, rezim tumbang secara politis. Namun, kenapa pula dialog kini tak lagi tumbuh berkembang, dan kenapa pula kian gencar prasangka membanjiri ruang media sosial, dan virus paranoia berbiak ke mana-mana, dengan seiring kata-kata yang terus menderas, ujung lidah setajam ujung telunjuk menuding, dengan lengking kemarahan. Di manakah sastra, dan di manakah martabat, ruang bagi siapa saja untuk mengukur diri dalam pencarian, dalam kesadaran kenisbian?
____________
*) Networker Kebudayaan; Kritikus Sastra dan Kebudayaan.
https://budisansblog.blogspot.com/2015/07/sastra-dan-martabat.html