STASIUN HUJAN MALAM LEBARAN

Taufiq Wr. Hidayat *

Kesucian dan kebahagiaan lebaran merupakan kelezatan iman, melihat anak-anak berlarian di halaman. Tertawa, berbaju baru, riang, dapat “uang saku” banyak, menikmati makan enak. Lebaran kecil yang sederhana.

Seseorang mengingat jalan setapak di masa kecilnya. Jalan setapak itu panjang, mengiris sebentang kebun jeruk, berakhir pada sehelai sungai yang jernih. Di sungai itu batu-batu besar dan hitam, di tepiannya rimbunan bambu.

Ada halaman rumah yang kecil, pohon jambu dan mangga. Keluarga berkumpul. Lengkap. Sehat berbahagia. Duduk tenang sambil sesekali melirik lengan baju kanan-kiri, mengamati kancing baju baru yang dipakai. Merasa begitu bangga memakai baju baru yang bagus berwarna cerah, yang dibelikan ibu dengan harga murah meriah di pasar. Pasar yang menggantung baju-baju dengan harga obral. Setahun sekali. Tapi itu alangkah menakjubkan. Ajaib. Seperti mukjizat.

Di malam lebaran, ingatan masa kecil itu tiba dalam diri seseorang entah siapa. Sekarang, di malam lebaran, keluarga yang berkumpul sudah tak utuh lagi seperti dulu. Anggota keluarga yang lain ada yang sudah mendahului, atau tak bisa mudik kena corona. Kefanaan mengalirkan peristiwa, dengan waktu yang tak disadari perlahan memisahkan semua yang utuh. Lalu menciptakan telaga rindu.

Ia mengenang jalan setapak mengiris sebentang kebun jeruk yang lebat. Ujung jalan itu sampai pada sehelai sungai, batu-batu besar, rimbun bambu. Halaman pohon jambu dan mangga, surau kecil, wajah-wajah orang tercinta. Semua datang dalam ingatan bersama takbiran. Dan rindu. Dingin dan kelu. Katanya.

Sesungguhnya lebaran tak mudah di dalam dirinya. Berapa banyak kekeliruan yang diinsafi. Betapa banyak kenangan yang tiba, menciptakan rasa kehilangan yang tak pernah tergantikan. Dan secepat kilat, orang pun harus kembali pada kenyataan sehari-hari yang penuh tuntutan, kesenjangan yang mengancam, dan hidup yang terjebak rutinitas. Rutinitas yang membuat orang pongah, tertutup, dan tak pandai mengarifi keadaan.

Segala kepastian memerlukan penawar pada kebimbangan dan keraguan. Kata seseorang entah siapa. Hanya dengan demikian, keyakinan dapat ditegakkan.

Kemudian apa kabar lebaran di tengah para pengungsi yang kehilangan harta-benda dan jiwa? Apa kabarnya lebaran di tengah perang dan kemelaratan, di tengah kekacauan politik, lumpuhnya ekonomi, frustrasi dan depresi? Kata orang, virus bisa menyerang orang kaya. Sehingga dunia ribut. Tapi kelaparan tidak akan meributkan dunia dan orang-orang cerdik-pandai juga para agamawan, karena kelaparan mustahil menyerang perut orang kaya.
***

Dalam kerinduan pada masa-masa kecil, kebersamaan yang mesra, pada jejak peristiwa yang indah dikenangkan: kemurnian. Semoga dari titik itu, kemanusiaan dibangunkan. Kata seseorang. Kerinduan pada kenangan semanis dan sepahit apa pun, mengantarkan jiwa kembali kepada Tuhan, pemilik segala kebajikan.

Seorang penyair berkata. “Mana baju barumu buat berlebaran? Tanya seseorang. Aku jawab; bajuku sangat indah, pemberian kekasihku. Dua helai baju, yakni kefakiran dan kesederhanaan. Adakah yang lebih indah dari dua helai bajuku itu? Dua helai baju yang kupakai di hadapan kekasihku dengan perasaan syukur dan tersipu-sipu malu. Tak ada lebaran bagiku, jika tak ada wajahnya di sana,” katanya. Baginya, tiap saat dalam hidup ialah puasa. Dan tiap saat itu pula, ia berhari raya. Hari raya tanpa suara-suara bising, letusan kembang api yang memeriahkan langit. Lebaran bersama derita. Derita jiwa yang fakir dan nestapa. Tak banyak orang berlebaran seperti sang penyair itu.

Kemudian penyair itu menulis puisi.

Di bawah jembatan itu, sungai masih mengalir seperti dulu. Para penambang pasir berbahu legam. Suara aliran air masuk ke dalam telingaku, mengisahkan perjalanan kembara yang panjang dan melelahkan.

Dan seperti di dalam kedua lubuk matamu, kolam ikan yang bening. Pada halaman doa-doa, kuziarahi penyesalan. Kembang dan kupu, lagu dan rindu. Tapi sepi.

Maha derita yang baka.

Di atas jembatan itu, sisa pertemuan masih biru. Dari balik jendela, bayangan memanjang. Lalu hilang. Sebelum akhirnya kembali datang. Bergantian. Di antara kabut dan pertanyaan, entah keisengan demi keisengan. Di dalam hujan. Di dalam banjir yang menghanyutkan kulkas dan almari pakaian. Kucari namamu di antara ragu dan keluh.

Stasiun hujan.
Di rimbun diam.
Di lebat malam

Di tempat lain, seseorang bercerita perihal percintaan di antara pohon-pohon yang mengering pada musim kemarau, jalan panjang yang bersih. Umur berabad-abad, harapnya. Ah hati manusia, katanya. Melawan usia. Namun selalu dikalahkan kehilangan. Dan pergantian.

Dalam hutan waktu, sungai-sungai mengalir pelan, menghanyutkan pertanyaan-pertanyaan musim yang datang bersama semangka dan derita. Tebing gelisah dan duka lara. Hujan menjelma kenangan. Segala air mata tak lagi bisa disamarkan. Seseorang tiba pada suatu hari yang entah. Di bawah rindang sebatang pohon mangga, mengingat sebab tanpa alamat. Hingga tiba senja hari. Kemudian petang membawanya pergi.

Malam pun lebaran.

Tembokrejo, 2020

___________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *