Martin Suryajaya
Berakhirnya Era Polemik Besar Sastra Indonesia
Dalam perkembangan sastra Indonesia kontemporer, orang sering mempertanyakan di mana sumbangan para kritikus. Sebagian berpendapat bahwa kritik sastra kita tidak lagi melahirkan polemik besar di tataran paradigmatik. Setelah polemik seputar “sastra wangi” dan “sastra digital” pada awal tahun 2000-an, kita tak menjumpai lagi polemik sastra dengan permasalahan yang cukup segar (kecuali permasalahan musiman seperti pembabakan angkatan dan kanon sastra). Kita pernah punya sederet polemik sastra yang cukup mendasar, yang memaksa kita mempertanyakan kembali hakikat dan fungsi sastra serta memperlihatkan peran kritik sastra yang demikian penting. Sebut saja, polemik metode ganzheit di tahun 1968, pengadilan puisi tahun 1974, debat sastra kontekstual tahun 1984, polemik Hadiah Magsaysay untuk Pramoedya Ananta Toer tahun 1995 dan lain sebagainya. Kita sepertinya kekurangan polemik sastra yang cukup berarti dewasa ini.
Sebagian orang menafsirkan fenomena ini sebagai mengendurnya fungsi kritik. Anggapan ini dapat dipahami apabila kita tempatkan polemik sebagai gejala dari perbedaan pandangan yang fundamental tentang hakikat dan fungsi sastra—wilayah wacana yang secara tradisional merupakan gelanggang kerja para kritikus. Perbedaan pandangan yang mendasar ini hanya bisa muncul kalau ada penggalian atas khazanah sastra Indonesia secara kreatif. Artinya, polemik sastra dapat dipandang sebagai barometer kekuatan kritik sastra kita sehingga langkanya polemik mengindikasikan lemahnya kekuatan kritik sastra dalam medan sastra Indonesia kontemporer.
Polemik-polemik besar sastra itu pada umumnya punya daur hidup yang spesifik. Polemik semacam itu hampir selalu muncul dari (1) rangkaian artikel kupasan sastra di suratkabar atau majalah, (2) dilanjutkan dalam semacam saresehan sastra, lalu (3) seluruh tulisan polemik itu dibukukan, kemudian (4) dikomentari dan ditafsirkan ad nauseam dalam jurnal-jurnal kritik sastra akademik dan di ruang-ruang kuliah sastra Indonesia. Daur hidup semacam ini, dengan kata lain, dikondisikan oleh situasi budaya analog.
Kedatangan era digital dan media sosial mengubah lanskap kritik sastra kita. Perdebatan sastra di suratkabar mulai digantikan oleh ribuan perdebatan (dan pertengkaran) sastra di media sosial. Intelektual koran terasa kurang relevan dibandingkan intelektual twitter. Kritik sastra di jurnal-jurnal akademik semakin kehilangan apinya dibandingkan kritik sastra di facebook dan celometan sastra di kolom komentarnya. Dapat dinyatakan dengan agak pasti bahwa kritik sastra kita dewasa ini telah menjalani migrasi ke habitat digital, seperti webzine, v-log dan linimasa berbagai media sosial.
Yang menjadi pokok di sini bukan sekadar peralihan wahana (dari analog ke digital), tetapi juga peralihan bentuk dan sifat-sifat kritik sastra itu sendiri. Kekhasan wahana digital mendorong timbulnya praktik kritik sastra yang juga khas. Satu ciri yang paling mengemuka adalah keragaman bentuk kritik. Sementara suratkabar cenderung menyeragamkan bentuk kritik (sesuai kaidah bahasa tulis yang sopan dan sederhana), media sosial cenderung memungkinkan keragaman bentuk kritik tanpa kaidah umum sama sekali di mana bahasa lisan tanpa tanda baca, lengkap dengan variasi bahasa kebun binatang dan bahasa laboratorium, berpadu dalam satu diskusi. Sifat kritik sastra pun bergeser, dari yang tadinya cenderung terfokus pada satu duduk perkara menjadi menyebar dan terfragmentasi dalam berbagai aspek tanpa sistematika. Saking riuh dan ruwetnya, kritik sastra dalam wahana digital (khususnya debat sastra di facebook) mungkin dapat kita bandingkan dengan automatic writing para penyair surealis dan gaya tulis “arus kesadaran” para pengarang modernis.
Perubahan “mentalitet” ini tidak hanya berhenti di ranah digital saja, tetapi meresap dalam dunia keseharian kritik sastra kita. Yang jelas era digital mempersulit pemusatan tunggal dalam kancah sastra Indonesia. Kita tahu bahwa sejak tahun 1994, sejumlah sastrawan daerah mengkritik kecenderungan pemusatan dalam sastra kita, yakni pemusatan pada ukuran-ukuran sastra Ibu Kota untuk menilai mutu karya sastra. Ketika kita sudah setengah badan dalam era digital seperti sekarang ini, kecenderungan pemusatan itu telah digantikan oleh kecenderungan penyebaran pusat-pusat kecil sastra Indonesia. Pusat-pusat kecil ini bergravitasi di sekitar tokoh sastra idola. Kecenderungan sastrawan untuk menghadirkan diri sebagai pusat perhatian pun dimungkinkan lewat media sosial. Seorang sastrawan idola bisa saja menyapa “Selamat pagiii” di beranda facebook nya dan dalam tempo satu jam sudah terkumpul sekurang-kurangnya 500 jempol. Dalam suasana seperti ini, kritikus digital pun cenderung bergerombol di sekitar sastrawan idola. Polemik terjadi manakala kritikus dari satu minipusat bersilang-pendapat dengan kritikus dari minipusat yang lain. Terjadilah polemik kecil-kecilan di antara kritikus yang gemanya hanya terdengar di kedua minipusat itu. Polemik sastra kita dewasa ini, karenanya, mewujud dalam ratusan minipolemik di kalangan fanboys (misalnya tawuran sastra di media sosial antara fanboys Tere Liye dan fanboys Eka Kurniawan tahun lalu).
Semua gejala ini memperlihatkan tidak berlakunya ukuran-ukuran zaman analog (seperti ada/tidaknya polemik besar) untuk menyimpulkan sehat/tidaknya kritik sastra kontemporer. Kita perlu memeriksa keseluruhan ekosistem sastra dan kritik sastra Indonesia kontemporer untuk menakar permasalahan kita sebenarnya, kemudian mencari jalan keluar yang mungkin diusahakan bersama.
Ekosistem Sastra dan Kritik Sastra Kita
Perkembangan teknologi digital, tentu saja, bukan satu-satunya unsur pembentuk lanskap kesusastraan Indonesia kontemporer. Kita mesti melengkapi lukisan kita dengan mempertimbangkan dikotomi klasik “desa – kota” atau “pinggiran – pusat”. Sekalipun dikotomi ini dalam banyak hal telah dijembatani oleh media sosial dan teknologi digital lainnya, kita tak bisa mengabaikan efek yang diberikan oleh cuaca kultural sebuah daerah (kota/desa) pada warna kesusastraan dan kritik sastranya. Suhu udara, suara, rutinitas hidup dan hubungan sosial yang membentuk sebuah daerah ikut membentuk temperamen sastra dan memberi corak pada kritik sastra yang berkembang di sana.
Berangkat dengan kesadaran itu, kita dapat menganalisis ekosistem sastra dan kritik sastra di beberapa daerah. Yang dimaksud “ekosistem” di sini ialah totalitas hubungan yang membentuk posisi sastrawan, kritikus sastra dan publik sastra di suatu daerah tertentu. Sudah pasti analisis yang saya ajukan ini tidak menyeluruh, apalagi lengkap. Dengan ini, saya bermaksud untuk memperlihatkan jurang perbedaan yang sangat lebar dalam semesta imajinasi sastra dan kritik sastra di antara berbagai daerah sebagai ilustrasi dari keragaman ekosistem sastra dan kritik sastra Indonesia.
Kita bisa ambil contoh ekosistem sastra kelas menengah urban di Jakarta. Di sebagian kalangan muda Jakarta, kita jumpai acuan pada para pengarang dan penyair kontemporer luar negeri yang menjadi sumber inspirasi dalam berkarya maupun melancarkan telaah sastra. Sebagian publik muda sastra kita fasih bicara soal pengarang-pengarang yang baru dikenal di dunia (dalam satu dekade terakhir) seperti Roberto Bolaño, Enrique Vila-Matas, Etgar Keret dan sastrawan Eropa yang kurang dikenal di Indonesia seperti Comte de Lautréamont. Imajinasinya terbangun oleh subkultur hipster, musikalisasi puisi band indie dan kafe-kafe di selatan Jakarta. Kritik sastra yang dilontarkan pun dipenuhi acuan dan alusi ke unsur-unsur “budaya pop tinggi” semacam itu. Ukuran-ukuran kritiknya pun didasarkan pada selera kelas menengah urban yang memprioritaskan literary motives seperti kesunyian dan keterasingan. Mereka menulis di webzine dan menggelar forum diskusi sastra di situs-situs hipster Ibu kota. Para sastrawan dan kritikusnya hidup sebagai desainer grafis, copy writer perusahaan iklan, wirausahawan kafe, pegawai perusahaan startup, kadang juga pegawai LSM. Mereka praktis tidak bergaul ekosistem sastra lain yang hidup di Jakarta, seperti kelompok sastrawan dan kritikus yang berkumpul di Wapres Bulungan, demikian pula sebaliknya.
Sebagai pembanding kita bisa sebut pula ekosistem sastra di daerah seperti Semarang. Perbedaannya nyaris hitam-putih dengan ekosistem sastra kelas menengah urban di Jakarta. Dibandingkan skena kesusastraan kontemporer Jakarta, Semarang boleh dibilang seperti “kawasan konservasi” atau “hutan lindung” sastra Indonesia era 1990-an. Ke acara pembacaan puisi manapun di Semarang kita hampir selalu bertemu dengan semacam “Rendra”. Para sastrawan dan kritikusnya menggeluti isu-isu abadi sastra Indonesia. Mereka tidak mengakses sumber-sumber sastra kontemporer dari luar negeri. Pembacaan puisi dan forum kupasan sastra diadakan di angkringan ataupun warung-warung sekitar Taman Budaya Raden Saleh. Kalau modalnya cukup banyak, bisa juga diselenggarakan di dalam gedung TBRS. Para sastrawannya hidup dari melatih ekstrakurikuler teater di sekolah-sekolah, sebagian tergabung dalam jajaran SKPD, sebagian lain berprofesi sebagai dukun. Kritikusnya hidup dari juri lomba puisi antar SMA, membuka warung nasi, mengadakan kegiatan-kegiatan sastra dari anggaran Disbudpar dan menjadi stringer di media massa lokal. Ekosistem sastra semacam ini membentuk semesta imajinasi sastra yang sepenuhnya berbeda dari ekosistem sastra kelas menengah urban Jakarta.
Para sastrawan dan kritikus dalam kedua ekosistem itu sama-sama memainkan media sosial. Akan tetapi, betapa asingnya mereka satu sama lain. Mereka seperti hidup dalam “Sastra Indonesia” yang berbeda. Bagi para sastrawan dan kritikus urban Jakarta, “Sastra Indonesia” terbuat dari kesunyian kota besar, kepelikan konsep-konsep filsafat dan obsesi untuk “menjadi kontemporer sendirian”. Mereka adalah perlambang dari “gentrifikasi sastra Indonesia” (pengelas-menengahan selera #aesthetic bangsa Indonesia). Bagi para sastrawan dan kritikus daerah seperti Semarang, “Sastra Indonesia” terbuat dari proyek-proyek Pemda, silsilah hutang-piutang di warung makan dan obsesi untuk menjadi “sastrawan atau kritikus nasional”. Mereka bicara tentang “darah-daging sastra Indonesia” dan menjual motornya untuk menerbitkan buku puisi. Keduanya hidup dalam sensibilitas estetiknya sendiri. Yang jenaka bagi yang satu, menyedihkan bagi yang lain. Yang sublim bagi yang satu, membosankan bagi yang lain. Yang mengharukan bagi yang satu, konyol bagi yang lain. Yang indah bagi yang satu, menyebalkan bagi yang lain. Kita sungguh-sungguh hidup dalam “Sastra Indonesia” yang berbeda.
Sayembara Kritik Sastra sebagai Acuan Bersama
Masalah kritik sastra kita dewasa ini bukanlah pada kelangkaan polemik besar, melainkan pada tiadanya landasan bersama untuk bicara. Kecenderungan pembentukan pusat-pusat kecil di sekitar sastrawan idola di media sosial dan keterasingan resiprokal di antara ekosistem-ekosistem sastra adalah gejala tiadanya landasan bersama itu. Kita seperti tak punya wahana untuk menaruh ukuran-ukuran sastra kita, membandingkannya secara cermat dan membahasnya bersama-sama. Kita, singkatnya, tak punya acuan bersama tentang “Sastra Indonesia”.
Di sini peran sayembara kritik sastra tingkat nasional sangat penting. Sayembara kritik sastra tingkat nasional punya sekurang-kurangnya tiga fungsi pokok: (1) memotret state of the art kritik sastra Indonesia, (2) sebagai ajang showcase keragaman ekosistem kritik sastra Indonesia dan (3) menetapkan tolok ukur (benchmarking) sementara atas perjalanan kritik sastra Indonesia terkini. Untuk memperlihatkan bekerjanya tiga fungsi itu, kita dapat mengambil contoh Sayembara Kritik Sastra yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta.
Kita mulai dari fungsi pertama, yaitu memotret state of the art kritik sastra Indonesia. Dalam Sayembara Kritik Sastra DKJ, kita akan menjumpai naskah-naskah kritik yang mengupas isu-isu terkini sastra Indonesia kontemporer dan tak terpublikasikan sebelumnya. Dalam naskah-naskah itu kita akan menemukan kecenderungan terbaru kritik sastra kita. Kecenderungan terbaru itu muncul dari beragam ekosistem sastra di tanah air; di sini kita masuk ke fungsi kedua, yaitu sayembara kritik sastra sebagai dokumentasi keragaman ekosistem kritik sastra Indonesia. Naskah yang masuk berasal dari latar belakang komunitas sastra yang demikian beragam, mulai dari kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, sampai kota kabupaten seperti Sragen, Trenggalek, Muara Enim, Enrekang, Martapura dan berbagai tempat lain di Indonesia. Di sini, kita saksikan pertandingan di antara berbagai jenis kritikus, mulai dari kritikus koran nasional, kritikus akademis, kritikus media sosial dan kritikus koran lokal. Pada akhirnya, Sayembara Kritik Sastra DKJ juga berfungsi sebagai wahana penetapan tolok ukur bersama tentang pencapaian terbaik kritik sastra Indonesia. Dengan menetapkan sejumlah pemenang, DKJ memberikan acuan bersama tentang kritik sastra yang baik (betapapun sementara sifatnya) pada publik sastra tingkat nasional.
Selain ketiga fungsi di muka, Sayembara Kritik Sastra DKJ dapat dikatakan menjalankan pula fungsi pengkaderan kritikus sastra. Fungsi ini tercermin dalam penetapan empat kriteria pokok penjurian yang berlaku sejak pertama hingga terakhir kali Sayembara Kritik Sastra diselenggarakan oleh DKJ, yakni 2005, 2007, 2009, 2013 dan 2017. Keempat kriteria pokok itu dapat saya jabarkan lebih lanjut seperti ini:
1. Ketajaman dalam menelaah karya
Kritik seyogianya masuk ke rincian teks, tidak berhenti pada pengamatan global dan penilaian yang menggeneralisasi tanpa bukti yang cukup.
Kritik seyogianya mampu melihat keterkaitan antar unsur dalam teks (misalnya kesaling-hubungan antara pilihan isi dan pilihan bentuk), tidak fiksasi di satu unsur saja (misalnya praktik rajin tapi absurd seperti menghitung berapa jumlah kata “dan” dalam karya).
2. Kritik yang inspiratif dan orisinal
Kritik seyogianya mampu menempatkan teks dalam peta sastra Indonesia kontemporer dan dalam bingkai sejarah sastra Indonesia, sehingga tidak tuna acuan.
Kritik seyogianya mampu membuka agenda riset baru tentang teks yang dibahasnya, membuka sudut-sudut penelusuran dan pertanyaan baru.
3. Argumentasi yang meyakinkan
Kritik seyogianya memuat pikiran kritikus, bukan hanya deksripsi, tentang karya (sebab kritik bukan resensi buku).
Kritik seyogianya menghadirkan pikiran kritikus yang berlandaskan pada teks, bukan pada spekulasi teoretis yang jauh dari teks.
Kritik seyogianya menempatkan teori sebagai alat bantu untuk memahami teks, bukan sebagai hipotesis yang diuji kebenarannya lewat teks (yang mengakibatkan teks menjadi alat bantu untuk menerangkan teori).
4. Keberanian menafsir dan kesegaran perspektif
Kritik seyogianya menghadirkan sudut pembacaan yang berbeda dari sudut pembacaan dominan atas teks yang sama, sehingga tidak membeo kritikus terdahulu.
Kritik seyogianya menggali sumber-sumber sastra yang belum atau masih jarang dikenali publik tetapi menyimpan potensi, sehingga kritik tidak hanya mengikuti arus dalam membahas karya-karya yang banyak dibicarakan orang.
Dengan menempatkan keempat kriteria di muka, Sayembara Kritik Sastra DKJ secara tidak langsung menetapkan arah bersama untuk mengusahakan kritik sastra yang baik. Dengan adanya keempat kriteria sebagai standar, para peserta dikondisikan untuk mengasah kritiknya untuk memenuhi standar tersebut. Artinya, lewat penyelenggaraan Sayembara Kritik Sastra, DKJ menjalankan fungsi pengkaderan atas para pelaku dalam ekosistem kritik sastra Indonesia. Lewat keempat fungsi itulah sayembara kritik sastra tingkat nasional yang diselenggarakan secara reguler dapat memberikan acuan bersama, landasan bersama untuk bicara, sehingga meretas fragmentasi dalam ekosistem sastra dan kritik sastra Indonesia. Sayembara kritik sastra tingkat nasional, singkatnya, akan meneguhkan bahwa kita semua hidup dalam “Sastra Indonesia” yang sama.
Menuju Kritik Sastra yang Berkepribadian
Berdasarkan pengamatan saya sebagai salah satu juri dalam Sayembara Kritik Sastra DKJ 2017, saya menjumpai sekurang-kurangnya tiga persoalan mendasar dari naskah-naskah kritik sastra yang lulus seleksi administratif:
1. Kritik cenderung melepaskan karya sastra yang dibahas dari ekosistem sastra Indonesia. Sebagian menghubungkan karya itu secara langsung dengan karya-karya besar kesusastraan Eropa. Sebagian lain asyik sendiri mengupas karya tanpa melihat keterkaitannya dengan karya-karya lain dalam ekosistem sastra Indonesia.
2. Kritik kerap kali berhenti di tataran deskriptif, belum sampai ke tataran argumentatif. Dalam hal ini, yang sering mengemuka ialah praktik menginventarisasi teknik dan/atau meringkas isi karya sastra, tidak melangkah lebih jauh dengan mengajukan argumen tentang teknik ataupun isi karya tersebut.
3. Kritik sering kali menggunakan teori dan acuan teoretis yang hubungannya jauh dengan unsur-unsur dalam karya yang dibahas. Akibatnya, teori dan pendekatan teoretis tampak lebih sebagai hiasan ketimbang sebagai peranti untuk membedah karya.
Masalah kedua dan ketiga berkaitan dengan kemampuan menulis; suatu soal yang akan terpecahkan dengan sekadar mengikuti lokakarya academic writing. Akan tetapi, masalah yang lebih berat dan ingin saya angkat terutama ialah yang pertama, yakni kecenderungan untuk membahas karya dengan mengabaikan ekosistem sastra dan kritik sastra Indonesia.
Penilaian atas mutu estetik sebuah karya sastra hanya akan punya bobot yang berarti apabila karya tersebut ditempatkan dalam konteksnya, yakni sistem karya sastra Indonesia lain dengan genre yang sama, atau yang punya keserupaan motif, tema, alur, serta sistem kritik sastra yang telah memproduksi pengetahuan tentang sistem karya sastra tersebut. Ini adalah syarat minimal yang mesti dipenuhi untuk menakar nilai sebuah karya sastra. Terhadap pendekatan itu, kita bisa juga menambahkan sistem sosial sastra yang lebih luas: hubungan antar pengarang, institusi sastra, publik sastra dan seterusnya. Selain itu, kita mestinya juga menempatkan karya dalam bingkai sejarah perkembangan sastra Indonesia. Dengan cara itu, kita tahu posisi sebuah karya sastra dalam ekosistem sastra Indonesia dan membangun argumen berdasarkan pemahaman tersebut.
Inilah yang absen dalam kritik sastra kita belakangan ini. Sementara kritik sastra yang berkembang di dunia akademik cenderung yang abai pada sejarah sastra Indonesia karena lebih berfokus pada telaah linguistik, kritik sastra populer yang berkembang di dunia maya juga mengidap masalah yang sama dengan alasan yang berbeda. Kritik sastra populer kita cenderung berangkat dari ukuran-ukuran yang sifatnya pribadi, tanpa mengaitkannya dengan pembacaan atas sejarah sastra Indonesia dan posisi karya yang dibahas dalam medan sastra Indonesia. Akibatnya, kritik yang muncul cenderung “impresionistik” atau bergantung pada kesan subjektif kritikus dan selera estetiknya.
Sebagian dari kritik itu memang memperlihatkan ciri kepribadian yang khas, misalnya dengan gaya mengejek, memasukkan unsur-unsur otobiografis, membuat penilaian-penilaian pribadi, dan seterusnya. Akan tetapi kepribadian itu abstrak karena tidak dilandaskan pada pembacaan yang memadai tentang sejarah dan konteks sastra Indonesia. Kita memerlukan kritik sastra yang berkepribadian dan kritik sastra kita hanya akan punya kepribadian kalau mengusahakan pandangan tentang sastra Indonesia sebagai sistem, yaitu dengan menimbang letak sebuah karya dalam ekosistem sastra Indonesia. Hanya dengan pemahaman tentang sistem sastra Indonesia, kita bisa bersikap dan berargumen tentang nilai dari tiap-tiap karya yang disodorkan ke muka kita. Untuk mencapai taraf itu, kita harus keluar dari tempurung estetik kita atau kelompok kita sendiri. Kita mesti kembali pada sejarah sastra Indonesia dan membacanya dengan rinci.
Oleh karena itu, sayembara kritik sastra mesti didukung pula lewat sejumlah program yang bertujuan menghadirkan “Sastra Indonesia” pada semua publik sastra kita. Kita perlu menjalankan stock opname atas perjalanan sejarah kritik sastra kita, menginventarisasi tulisan-tulisan kritik sastra yang penting bagi perjalanan sastra Indonesia dan menyebarluaskannya kepada publik. Usaha semacam ini jarang dilakukan untuk bidang kritik sastra. Kita bisa jumpai banyak sekali bunga rampai karya sastra Indonesia, tapi sedikit sekali bunga rampai kritik sastra yang relatif lengkap. Kita terbantu dengan Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX yang dihimpun oleh Ulrich Kratz pada tahun 2000. Usaha semacam ini harus diperbarui dan diperdalam lagi agar kita punya landasan bersama untuk mengimajinasikan kritik sastra Indonesia. Kita Hanya dengan stock opname semacam itulah kita betul-betul hidup dalam “Sastra Indonesia” yang sama, tidak dalam sekat-sekat minipusat dan seribu satu ekosistem sastra yang saling terasing satu sama lain.
***
[Disampaikan dalam sebuah seminar kritik sastra yang diselenggarakan Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa pada Agustus 2017]
https://www.martinsuryajaya.com/post/tantangan-dan-masa-depan-kritik-sastra-indonesia