TERTIPU


Taufiq Wr. Hidayat *

Niat baik itu buat siapa? Tanya Rendra dalam “Sajak Pertemuan Mahasiswa” (1977). Pertanyaan yang hingga kini tak usai diajukan.

Dan kita di sini bertanya:
“Maksud baik saudara untuk siapa?”
“Saudara berdiri di pihak yang mana?”

Kenapa maksud baik dilakukan
Tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota
Perkebunan yang luas
Hanya menguntungkan segolongan kecil saja
Alat-alat kemajuan yang diimpor
Tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya

Tentu kita bertanya:
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa?”

Sekarang matahari semakin tinggi
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya:
Kita ini dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
Akan menjadi alat pembebasan
Ataukah alat penindasan?

Begitu bunyi pertanyaan dalam sajak itu. Agaknya Rendra pun cemas. Kecemasan yang juga merupa pertanyaan, bahwa apakah masyarakat harus menyerah saja pada nasib, pada keniscayaan dari suatu pertarungan? Rendra kembali mengungkai kecemasannya.

Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina
Ada yang bersenjata, ada yang terluka
Ada yang duduk, ada yang diduduki
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras

Pasti ada yang jaya, lantaran yang jaya itu berdiri di atas yang dihinakannya. Tetapi hidup tak hanya pertarungan yang selalu meniscayakan kalah dan menang, bukan?

Niat baik itu utama. Bagi Immanuel Kant, ide deontologis menolak etika konsekuensualis yang mempernyatakan segala perbuatan seseorang harus memperoleh imbalan dan daya guna bagi dirinya sendiri. Orang melakukan kebaikan karena ingin memperoleh balasan kebaikan. Atau demi akibat baik dari kebaikan yang dilakukannya tersebut. Etika konsekuensialis itu mengandaikan, orang membantu orang lain demi semata-mata balas budi, atau akan (telah) mendapatkan manfaat dari orang bersangkutan. Perbuatan baik sejati ialah perbuatan baik yang “tanpa syarat”. Perbuatan baik demi kebaikan itu sendiri, dan karena memang baik. Bukan demi keuntungan praktis, bahkan tidak demi belaka kebenaran. Dalam sebuah film detektif, kebenaran bukanlah yang paling penting. Sebab setiap hal dalam peristiwa adalah kebenaran. Lantaran ada manusia yang menggerakkan peristiwa atau yang berada dalam peristiwa, maka yang terpenting adalah buat apa dan digunakan untuk apa kebenaran itu.

Dalam etika teologi ajaran Islam, disebut kata “al-ikhlas”. Etika teologi tersebut, seyogianya menjadi ikhtiar manusia menghindari “azab sejarah” yang disebabkan banalitas: kerusakan, saling menghancurkan, dan perbuatan yang tampak suci, tapi dusta, bejat, jahanam. Dalam kitab “Mukaddimah”nya yang mashur, Ibnu Khaldun mengemukakan teori siklus peradaban sejarah (ashabiyyah). Tatkala kekuasaan dan sikap hidup telah “merasa beres”, segalanya dikerjakan cuma “demi aku”. Kepuasan dalam ketidakperdulian. “Kepentingan aku” berkuasa atas akal sehat, memandang “yang lain” hanyalah obyek “si aku” tersebut.
***

Di balik yang tampak tak selalu sebagaimana yang tampak tersebut. Tipuan mata dan tipuan kekuasaan. René François Ghislain Magritte (1898-1967), seorang pelukis surealis Belgia, menggambar pipa rokok. Ia memberi judul lukisannya “Ini Bukan Pipa”. Obyek lazim pada kondisi tak lazim. Pipa, tapi yang bukan pipa! Melalui karyanya yang provokatif, Magritte menyindir klaim, anggapan, pengandaian, dan kepastian modern. Sejatinya realitas—barangkali juga perbuatan-perbuatan, yang diandaikan kehendak dan keinginan praktis belaka pada sebidang alat atau media adalah realitas yang bukan realitas: ketakpastian. Kegelisahan terhadap fakta tak berbanding lurus dengan fakta itu sendiri. Kegelisahan subyektif dapat menipu ketika diandaikan pada fakta yang obyektif. Andai kata pipa rokok yang dilukis Magritte pada sebidang media itu secara ajaib dapat berkomunikasi, tak pasti pipa rokok tersebut mau disebut pipa rokok. Siapakah si pemberi sebutan terhadapnya? Manusia! Bagi Magritte, itulah kemapanan yang harus dilawan dengan daya dan gerak yang berbanding terbalik. Perlawanan ditekankan pada bahasa dan wacana. Kira-kira pandangan ini cukup menarik melawan jejalan informasi yang menguasai dan memengaruhi khalayak sampai ke tingkatan bawah sadar dan ruang-ruang privatnya. Tiap saat orang dicekoki perihal betapa gawatnya wabah penyakit, hingga melakukan kewaspadaan yang tak masuk akal. Agaknya pandangan Magritte itu perlu dipertimbangkan, bukan?

Siapa yang gila?

Pada era digital ini, gila bukan sakit jiwa. Melainkan praktik kuasa pada wacana. Bagi Michel Foucault, sebutan “gila” tidak belaka persoalan pengalaman atau perkara medis. Melainkan gila pun terkait norma beserta bentuk diskursus atau olah-wacana tertentu. Maka gila (kegilaan) adalah diciptakan. Sebab pada setiap periode waktu dan perbedaan ruang, pengertian gila tidak sama.
***

Sejumlah kaum beragama gelisah, agama akan hancur atau dihancurkan musuh. Sehingga diperlukan kewaspadaan yang gawat. Dikemukakan fakta-fakta. Tapi fakta jadi tak orisinil dan tak obyektif, lantaran fakta-fakta itu disusun oleh kecurigaan, ketakpahaman, kegelisahan dan kekhawatiran subyektif akan narasi kehancuran agama. Jika fakta-fakta dilihat obyektif, ia malah justru sangat mungkin terbukti terbalik dari apa yang ditakutkan. Sepertinya ini mirip pandangan kita terhadap wabah yang didapatkan dari informasi dan data-data statistik.

Bagi Jorge Luis Borges, dunia hanya ada karena ia dipersepsikan ada. Sastrawan agung Argentina itu mengagumi postulat George Berkeley, bahwa obyek ada sebab dipersepsi pikiran. Dunia materi sejatinya ide-ide manusia, ia tak benar-benar nyata. Idelah yang nyata. Dunia materi tak akan pernah ada di luar kesadaran, ia mewujud tatkala ditangkap oleh persepsi-persepsi. “Esse est percipi,” ujar Borges, yang dalam postulat George Berkeley disebut “being is being perceived”.

Dalam cerita Borges, seorang presiden bola Abasto Junior mengatakan pada seorang komentator bola, Ron Ferrabas, bahwa Abasto akan dikalahkan dengan skor 2-1. “Jangan gunakan lagi umpan Musante ke Renovales. Ingat! Imajinasi! Sekali lagi, imajinasi!” ujarnya. Perhelatan sepakbola yang menghebohkan seluruh negeri ternyata cuma tipuan. Tak ada kesebelasan, tak ada skor, tak ada pertandingan. Stadion sudah dimusnahkan. Pertandingan bola hanya dibuat oleh tivi dan radio seperti membuat drama. Semua hanyalah kehebohan palsu dan omong kosong para komentator. Di Buenos Aires sejak 24 Juni 1937, sepakbola hanya drama, dimainkan satu orang di balik bilik, aktor berkostum yang seolah-olah pemain bola yang direkam tivi. Begitu penjelasan presiden Abasto Junior dalam Borges.

Mengikuti cerita pendek Borges tersebut, saya bayangkan betapa kehebohan penggemar bola ternyata cuma diciptakan dengan kebohongan komentator bola radio atau drama omong kosong layar visual. Khalayak tak sadar, dalam kenyataan tak pernah terjadi apa-apa! Tentu ini hanya fiksi Borges yang unik karena komposisi “bersejarah”nya yang mashur itu. Namun hari ini, kita tak sadar sebenarnya beriman pada berita, informasi, ujaran, iklan, atau apa pun yang ditampilkan layar audio-visual. Tapi omong kosong! Sesuatu yang diada-adakan, diolah sedemikian rupa oleh seseorang atau sejumlah orang dengan kepentingan-kepentingan yang bermuara pada pembentukan persepsi publik atas suatu peristiwa atau kondisi tertentu; penggiringan opini, atau kebohongan yang nyaris serupa kenyataan. Di dalam dunia nirkabel, konfirmasi dan penelusuran kebenaran suara dan layar tentu saja vital. Namun tak banyak yang mau mendeteksinya macam detektif.

Kekuasaan dan pragmatisme menjaya lantaran memproduksi kebohongan yang berhasil menipu persepsi orang terhadap realitas obyektif, menyusun realitas yang diandaikan, lalu dikemukakan sebagai bahan bagi pikiran. Celakanya, hukum sering terpengaruh persepsi pada realitas yang dusta. Sesungguhnya tepat di sini, saya pun sudah tertipu!

Tembokrejo, 2020

_____________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab IBlis” (PSBB, 2018), “Agama Para bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *