Kita mafhum, tasawuf itu begitu banyak, majemuk, dan beraneka ragam. Ini karena sifat ajaran tasawuf yang sangat individual, subjektif, dan intuitif. Abstraknya ajaran tasawuf juga menjadi penyebabnya. Sebab itu, kebanyakan sufi tidak menyampaikan ajaran atau pemikiran mereka secara lugas dan deskriptif-ilmiah serta diskursif-ilmiah. Penyampaian seperti itu akan banyak menimbulkan pelbagai kesulitan yang selanjutnya membuat ajaran tasawuf tidak menarik. Meskipun demikian, harus dicatat juga bahwa ada juga yang menyampaikan ajaran tasawufnya secara deskriptif dan diskursif, misalnya Al-Ghazali dan Ibnu Arabi. Tetapi, jumlahnya tidak banyak.
Para sufi gemar menyampaikan ajaran tasawufnya melalui kesenian, misalnya tari, musik, dan sastra. Abdul Hadi WM pernah berkata bahwa “… dalam tradisi tasawuf sendiri, di samping tari dan musik, puisi memainkan peranan sentral, khususnya dalam menyampaikan ajaran-ajaran yang tidak bisa disampaikan secara deskriptif. Contohnya, Jalaluddin Rumi, sufi-penyair yang begitu kondang di dunia tasawuf dan dunia sastra, sangat gemar menyampaikan ajaran-ajarannya melalui tari, musik, dan puisi. Dengan diiringi oleh tabuhan-tabuhan rebana yang dimainkan oleh para darwis dan serentak dengan itu para darwis itu menari-nari dengan gerakan-gerakan tertentu yang indah, berpuisilah Jalaluddin Rumi meluncurkan syair-syair sufistisnya sambil ikut menari-nari, berputar ke sana ke mari dengan gemulai dan indah.
Begitu juga sufi-sufi lainnya. Setidak-tidaknya mereka menulis syair-syair yang berisi ajaran tasawufnya. Di sini sastra telah menjadi wahana gagasan tasawuf. Ini berarti, gagasan tasawuf dalam sastra merupakan transformasi atau manifestasi ajaran tasawuf. Di sini dicontohkan karya Jalaluddin Rumi. Karier kesufian dan ajaran tasawuf Rumi praktis semuanya dituangkan ke dalam puisi-puisi dan aforisme-aforisme puitisnya yang bernas. Misalnya, gagasannya sekaligus ajarannya tentang kesatuan atau persatuan wujud. Dalam mengemukakan gagasan ini, misalnya, Rumi membuat puisi berikut ini.
T’lah kusisihkan segala kegandaan: kulihat dua dunia satu adanya; Satu kucari, satu kukenal, Satu kulihat Satu kuseru;
Dia yang Awal, Dia yang akhir, Dia yang Lahir, Dia yang Batin;
Tiada kukenal lain, kecuali “Ya Huw” dan “Ya Man Huw”
Aku mabuk piala Cinta, dua dunia t’lah hilang dalam pandanganku.
Dalam puisi di atas Rumi mengekspresikan gagasan kesatuan atau persatuan wujud dalam Tuhan. Segala kegandaan dan keanekaragaman yang wadag dan tampak saling bertentangan lebur menyatu dalam haribaan kesatuan atau persatuan wujud itu. Dikatakan Rumi:/…kulihat dua dunia satu adanya … Aku mabuk piala Cinta, dua dunia t’lah hilang dalam pandanganku/. Gagasan seperti ini juga tertuang dalam Masnavi-i Ma’navi [Masnawi], Divan-i Syams-i Tabriz [Diwan Samsi Tabriz], dan Fihi ma Fihi – yang merupakan karya puisi dan aforisme Rumi yang paling cemerlang yang berisi gagasan dan ajaran utama tasawuf Rumi.
Al-Hallaj juga harus dijadikan contoh seorang sufi radikal yang selalu mengungkapkan gagasan dan ajaran persatuan wujud, persenyawaan wujud, atau manunggaling kawula lan Gusti, malah sirnaning kawula marang Gusti dalam bentuk puisi. Bisa dibilang, semua gagasan dan ajaran Hallaj tentang persatuan wujud dieskpresikan dalam puisi, antara lain dalam Kitab Thawasin dan Diwan Al-Hallaj. Pada waktu mengungkapkan ajaran radikalnya, yaitu Ana al Haqq, Hallaj berucap dalam puisinya:
Aku adalah Engkau, tanpa ragu
Mahasuci Dikau, mahasuci daku
Tauhid-Mu adalah tauhidku
Memaksiati-Mu adalah memaksiatiku
Membuat marah-Mu adalah membuat
marahku
Dan ampunan-Mu adalah ampunanku
Di samping itu, Hallaj juga berucap:
Kuleburkan ruh-Mu dengan ruhku
Seperti leburnya khamr dalam air murni
Apabila sesuatu menyentuh-Mu
Ia pun menyentuhku
Maka tiba-tiba Engkaulah daku
Dalam setiap kondisi dan situasi
Dua kutipan di atas begitu gamblang dan terang mengungkapkan ajaran persatuan wujud menurut Hallaj. Larik /Aku adalah Engkau, tanpa ragu/ dan /Kuleburkan ruh-Mu dengan ruhku/ menggambarkan betapa dahsyat tiada tara kerinduan dan kasmaran yang dialami oleh aku lirik dan betapa luar biasanya magnet cinta Tuhan kepada aku lirik. Kerinduan dan kasmaran itu kemudian membuat si aku lirik (Hallaj) merasa bersatu atau sirna dalam Tuhan meskipun dalam arti metaforis (tidak dalam arti sebenarnya) sebab mana mungkin Khaliq dan makhluk benar-benar bersatu. Persatuan yang disampaikan Hallaj dalam puisi di atas adalah persatuan transenden, bukan persatuan monistis.
Demikian juga Muhammad Iqbal dapat dijadikan contoh penting. Pembaru pemikiran Islam, filosof, penyair, dan sufi ini justru mewadahi sebagian besar pemikiran keagamaan, gagasan filsafat, dan ajaran tasawufnya dalam puisi. Boleh dibilang, puisi adalah wadah dan wahana utama ajaran tasawuf Iqbal. Kumpulan puisi Asrari Khudi (Rahasia Diri) dan Javid Nama serta Pesan dari Timur merupakan tiga karya utama-unggul Iqbal yang secara kuat dan terang mengeluarkan gagasan dan ajaran tasawuf Iqbal. Javid Nama atau Kitab Keabadian atau Ziarah Abadi, misalnya, mengisahkan secara gamblang stasiun-stasiun jiwa [yang dinamai berbeda-beda oleh Iqbal] yang harus dilalui setiap pribadi atau manusia agar mencapai tangga keabadian.
Dalam setiap stasiun selalu ada prasyarat yang harus dipenuhi dan kendala yang harus diatasi. Kemampuan melewati satu stasiun jiwa akan mengantarkan kepada stasiun berikutnya. Demikian seterusnya terjadi. Misalnya, kemampuan melewati stasiun Prolog di Surga akan mengantarkan setiap pribadi ke stasiun Prolog di Bumi dan setelah itu ke stasiun Cakrawala Bulan. Perjalanan dari satu stasiun jiwa ke stasiun jiwa berikutnya digambarkan oleh Iqbal seperti perjalanan Isra’ Mi’raj. Dengan wadah puisi ini diharapkan oleh Iqbal, gagasan dan ajaran sufismenya jauh lebih konkret, mudah dihayati, dan cepat dipahami oleh pembaca.
Tak heran, seperti banyak dikatakan pemerhati dan peneliti, di antara semua gerakan mistisisme di dunia, tasawuf merupakan gerakan dan ajaran mistik yang paling banyak melahirkan penyair mistik. Ratusan, bahkan tak mustahil ribuan penyair mistik atau penyair sufi telah dilahirkan oleh gerakan sufisme. Hal ini setidaknya karena empat hal. Pertama, sastra dan tasawuf bertolak dari titik yang sama, yakni penghayatan. Kedua, sastra khususnya puisi yang menawarkan pengalaman estetis dan literer dan tasawuf yang menawarkan pengalaman mistik dan ruhaniah sama-sama sangat personal dan unik. Ketiga, pengalaman mistik yang dibuahkan oleh tasawuf selalu memiliki kualitas puitis dan estetis yang dibuahkan oleh sastra khususnya puisi juga memiliki kualitas mistis. Keempat, sastra khususnya puisi memiliki kemungkinan tak terbatas dalam menciptakan hubungan baru antara gagasan keagamaan dan keduniawian, antara imaji fana dan kudus (profan dan sakral), antara dunia batin dan dunia lahir, dan antara yang ruhaniah dan lahiriah.
Di samping penyair sufi atau mistik, tentu tasawuf melahirkan banyak karya sastra bernafas tasawuf yang tersebar ke pelbagai penjuru bumi. Bukan hanya di wilayah-wilayah Timur Tengah atau Islam, tetapi juga wilayah Barat yang kita pandang non-Islam. Khazanah sastra bernafas tasawuf diakui oleh berbagai ahli demikian kaya luar biasa. Louis Massignon, seorang Prancis yang [bisa disebut] sangat ahli tentang Hallaj dan berpengetahuan mendalam soal tasawuf, mengakui kekayaan khazanah sastra sufi. Demikian juga Annimarie Schimmel, seorang Jerman yang sangat otoritatif di bidang tasawuf, telah menghasilkan pelbagai kajian tentang tasawuf dan sastra sufi yang terdapat di berbagai wilayah — dari Timur Tengah sampai dengan Cina.
Selain itu, berbagai antologi puisi bernafas tasawuf juga telah diterbitkan baik oleh ahli-ahli Barat maupun oleh beberapa kritikus, penyair, dan ahli sastra Indonesia. Belakangan ini puisi-puisi bernafas tasawuf banyak diterbitkan dan diminati di Indonesia. Misalnya, antologi Musyawarah Burung-burung (Attar) Pesan dari Timur, Javid Nama (Iqbal), Diwan Al-Hallaj, Akulah Kebenaran (Hallaj), Masnawi, Khasidah Cinta, Diwan Samsi Tabriz (Rumi), dan Sastra Sufi [kumpulan puisi pelbagai penyair sufi]. Ini semua merupakan bukti betapa luar biasa kayanya khazanah sastra sufistis atau bernafas tasawuf.
_____________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.
One Reply to “WAJAH TASAWUF DALAM SASTRA (1)”