WAJAH TASAWUF DALAM SASTRA (3)

Djoko Saryono *

Sastra sufistis atau bernafas tasawuf kental dengan tema-tema transendental atau spiritual. Tema-tema transendental atau spiritual dalam sastra bertautan dengan perkara-perkara transendental atau spiritual. Pertemuan dengan Tuhan, persatuan (kesatuan) wujud atau metaforis dengan Tuhan, kecintaan atau kemabukcintaan akan Tuhan, kerinduan akan Tuhan, ketauhidan, kesempurnaan, keselamatan, kerinduan akan Tuhan, dan kemakrifatan merupakan beberapa tema tasawuf yang spiritual yang sering digarap oleh para pernyair-sufi dan terkandung dalam sastra.

Tema-tema tersebut tentu saja tidak tampil polos, tetapi terselubung bungkus estetis-artistik yang indah mempesona. Bungkus estetis yang indah memesona makin menguatkan dan memperkaya gambaran tema transcendental. Sebaliknya, gambaran tema transendental yang kuat dan kaya makin menguatkan dan mencerahkan kualitas estetis-artistik sastra bernafaskan tasawuf.

Tema pertemuan dan atau persatuan wujud (transenden) atau metaforis dengan Tuhan [bukan persatuan esensi] sangat digemari oleh para penyair-sufi dan sangat kuat tersorot dalam sastra-sastra sufistis atau bernafaskan tasawuf. Pengusung tema ini yang paling terkemuka tentu saja al-Hallaj, Arabi, dan Adawiyah. Dapat dikatakan, hampir semua puisi dan aforisme yang mereka tulis terpusat dan atau bermuara pada tema pertemuan dan atau persatuan wujud/transenden/metaforis dengan Tuhan.

Biasanya tema tersebut dipadukan dengan tema kerinduan, kecintaan atau kemabukcintaan akan Tuhan yang tiada tepermanai. Diksi dan larik-larik puisi dan aforisme mereka begitu dahsyat menggambarkan hal tersebut. Perhatikan beberapa puisi Ibnu Arabi yang terdapat dalam kumpulan Turjuman al-Asywaq [Pemandu Rindu] dan Fushus al-Hikam berikut ini.

Gelegar di antara Rusuk

Mengilat pada kami dua kilatan
kilatan-kilatan yang bertubi-tubi
dan menggelegar di antara rusuk-rusuk
Awan-awan pun jadi gelisah
dengan segenap guyur hujan
yang melongok ke arahmu

Maka melelehlah titik-titik air matanya
dan merebaklah semerbaknya
dan berkemaslah sekelilingnya
dan bersemilah dahan-dahannya

Mereka memasang kubah-kubah merah
di antara kolam-kolam
seperti ular-ular yang menjalar
bersinar kemesraan, seperti mentari
yang meninggi dengan mata kemuliaan
dan akal penuh kelembutan dan kemesraan.

Jangan Dikau Terpesona

Aku terpesona
oleh curahan ketampanannya
melangkah angkuh antara bebungaan
dan pertamanan

Maka kukatakan kepada si Dia
janganlah Dikau terpesona
pada apa yang Kau lihat
Engkau telah melihat Dirimu
dalam cermin manusia.
*

Kemudian perhatikan beberapa petikan puisi al-Hallaj dari kumpulan Kitab Thawasin dan Diwan al-Hallaj berikut ini.

Kitab tentang Bentuk Cahaya

Thasin …
Inilah bentuk cahaya yang bersinar
dari Yang Tak Terlihat
ia tampak dan terpancar,
serta kembali kepada Yang Tak Terlihat,
dan kebenaran itu melampaui segala cahaya,
menjadi cahaya maha cahaya,
dan benderangnya memancar ke seluruh bulan

Titiknya yang paling terang membubung
angkasa diselimuti misteri
Kebenaran (Haqq) menyebutnya Ummi
tersebab aspirasinya yang mulia,
menyebutnya seseorang dari Rumah Suci
karena karunianya yang sangat melimpah;
dan menyebutnya Makki karena dia
tabah dalam kedekatan dengan-Nya
dan karena kedekatan itu ia bersama
dengan Kebenaran itu sendiri.

Nasihat kepada Yang Bertaubat

Ada dalam hatiku, hasrat-hasrat, tapi semuanya sirna sejak aku melihat-Mu
Ada yang iri, cemburu padaku, aku hanyalah makhluk, Engkaulah Rajaku.

Kekasih dan musuhku selalu mencelaku karena cintaku pada-Mu, karena mereka lalai terhadap besarnya ujian terhadap diriku,

Wahai dunia dan agamaku, aku tinggalkan bagi manusia agama dan dunia mereka, karena aku sibuk dengan cintaku pada-Mu,

Engkau nyalakan dua api di dalam hatiku, yang satu menyala di antara tulang igaku, dan yang lain di antara tenggorokanku,

Di setiap aku ingin minum karena haus, aku selalu melihat bayang-bayang-Mu tergambar di air itu,

Di hatiku kurasakan api lebih dingin daripada salju, dan tajamnya pedang lebih menyenangkanku daripada berpisah dengan kekasihku.
*

Selanjutnya, perhatikan beberapa kutipan puisi al-Adawiyah berikut ini.

Tuhanku,
Kalau aku mengabdi-Mu karena takut akan neraka-Mu
Maka bakarlah aku di negara Jahanam
Dan kalau aku mengabdi-Mu karena ingin surga- Mu
Maka tampiklah aku dari surga itu
Adapun kalau aku mengabdi-Mu karena cintaku pada-Mu
Maka jangan tampik aku, Tuhanku
dari melihat keindahan wajah-Mu.

Antara Pencinta dan Kekasihnya

Tak ada antara
Ia bicara dari rindu
Ia mandamba dari rasa

Dalam hadir-Nya engkau baur
Dalam ada-Nya engkau lebur
Dalam tatap-Nya engkau kabur.

Kutipan-kutipan puisi Arabi, Hallaj, dan Adawiyah tersebut pada dasarnya menampilkan dan menggambarkan pertemuan, perjumpaan, dan atau persatuan wujud atau metaforis antara manusia dan Tuhan sebagai konsekuensi kecintaan total atau kemabuk-cintaan kepada Allah semata. Pertemuan, perjumpaan, bahkan persatuan wujud secara metaforis dengan Tuhan digambarkan al-Hallaj sebagai /Engkau telah melihat Dirimu/dalam cermin manusia/. Perjumpaan sekaligus persatuan wujud secara metaforis dengan Tuhan digambarkan Arabi sebagai /dan menyebutnya Makki karena dia/tabah dalam kedekatan dengan-Nya/dan karena kedekatan itu ia bersama/dengan Kebenaran itu sendiri/ dan /Di setiap aku ingin minum karena haus, aku selalu melihat bayang-bayang-Mu tergambar di air itu/.

Adapun al-Adawiyah mencoba menggambarkan perjumpaan, bahkan persatuan wujud secara metaforis dengan Tuhan dengan larik-larik: /adapun kalau aku mengabdi-Mu karena cintaku pada-Mu/Maka jangan tampik aku, Tuhanku/dari melihat keindahan wajah-Mu/ dan juga larik /Antara pencita dan Kekasihnya/Tak ada antara/Ia bicara dari rindu/Ia mandamba dari rasa/Dalam hadir-Nya engkau baur/Dalam ada-Nya engkau lebur/Dalam tatap-Nya engkau kabur/. Ini semuanya menegaskan betapa kuat tema pertemuan, perjumpaan, dan atau persatuan wujud dengan Tuhan diusung oleh Hallaj, Arabi, dan Adawiyah dalam karya-karya mereka.

Di samping itu, tema kecintaan dan kerinduan mendalam terutama dengan Tuhan [mahabbah juga begitu menonjol dalam sastra bernafaskan tasawuf. Malah tema ini seimbang dengan tema perjumpaan dan persatuan wujud. Di samping al Adawiyah, Jalaluddin Rumi, Sana’i, dan penyair kita Amir Hamzah banyak mengeksplorasi dan menggarap tema kecintaan atau kemabukcintaan dengan Tuhan ini dalam karya-karyanya. Perhatikan puisi al-Adawiyah yang bergelimang dengan kecintaan atau kemabukcintaan mahaberat atau mahadahsyat dengan Tuhan berikut ini.

Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cinta-Mu
Hingga tak ada sesuatu pun menggangguku
dalam jumpa-Mu

Tuhanku, bintang gemintang berkelap-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istana pun telah rapat tertutup

Tuhanku, demikian malam pun berlalu

Inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah

Apakah persembahan malamku Kauterima
Hingga aku mereguk bahagia

Ataukah itu Kautolak, hingga aku dihimpit duka
Demi kemahakuasaan-Mu

Inilah yang akan selalu kulakukan
Selama Kauberi aku kehidupan

Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cinta-Mu
Hingga tak ada sesuatu pun menggangguku dalam jumpa-Mu

Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku
Adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta kerana diri-Mu
Adalah keadaan-Mu mengungkapkan tabir
hingga Engkau kulihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
pujian bukanlah bagiku
Bagi-Mu pujian untuk semua itu
*

Selain itu, perhatikan puisi kemabukcintaan dengan Tuhan yang digubah oleh Rumi di bawah ini.

Karena cinta pahit berubah menjadi manis, karena cinta tembaga berubah jadi emas.
Karena cinta ampas berubah jadi sari murni, karena cinta pedih menjadi obat.
Karena cinta kematian berubah menjadi kehidupan, karena cinta raja berubah jadi hamba.
*

Perhatikan puisi kecintaan intens kepada Tuhan yang diuntai oleh Sana’i berikut ini.

Kekasih, kulimpahkan hatiku kepadamu
Selamat malam! Aku pergi.
Kau tahu keharuan hatiku yang dalam
Selamat malam! Aku pergi
Apa aku tak bisa melihatmu lagi?
Sungguh? Sungguh?
Kudekap jam-jam Perpisahan erat-erat
Selamat malam! Aku pergi.
Rambutmu yang nanar dan wajah berseri
Menawan dan menjerat
Membuat hari-hariku kelam dan muram
Selamat malam! Aku pergi.
O, Wajahmu adalah Cahaya Iman, rambutmu
Seperti kebingungan yang sangsi:
Semua ini menyiksa hatiku
Selamat malam! Aku pergi.
*

Perhatikan pula betapa intens dan sublimnya puisi Doa karya Amir Hamzah di bawah ini dalam mengekspresikan atau mengungkai kemabukcintaan dengan Tuhan.

DOA

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalau-kan panas payah terik.
Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyirak kelopak.
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu.

Camkanlah, betapa mendalam dan tandasnya masing-masing puisi di atas dalam mendedah sekaligus mengekspresikan ceruk-ceruk kemabukcintaan dengan Tuhan, Sang Khalik. Dengan bahasa dan ucapan keindahan masing-masing, kemabukcintaan dengan Tuhan dieksplorasi atau digali sedalam-dalamnya oleh masing-masing penulis puisi di atas. Saking mabuk atau ekstasenya dengan Tuhan, tidak tanggung-tanggung al Adawiyah berseru: /Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cinta-Mu/Hingga tak ada sesuatu pun menggangguku dalam jumpa-Mu/ dan /Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cinta-Mu/Hingga tak ada sesuatu pun menggangguku dalam jumpa-Mu/ serta /Aku mencintai-Mu dengan dua cinta/Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu/.

Sementara itu, Rumi mengekspresikan kedahsyatan cinta dan betapa luar biasa kuasa cinta dengan Tuhan dalam larik-larik superlatif dan hiperbolik: /Karena cinta pahit berubah menjadi manis, karena cinta tembaga berubah jadi emas./Karena cinta ampas berubah jadi sari murni, karena cinta pedih menjadi obat/Karena cinta kematian berubah menjadi kehidupan, karena cinta raja berubah jadi hamba/ Alangkah dahsyat dan luar biasa kekuatan cinta bagi Rumi: bisa mengubah segala sesuatu, bahkan mengubah kematian menjadi kehidupan! Dalam pada itu, sembari menyapa Tuhan dengan sapaan Kekasih, sebuah sapaan mesra yang menggambarkan kedekatan sukmawi-batiniah, Sana’i merajuk-rajuk penuh kepasrahan secara tandas: /Kekasih, kulimpahkan hatiku kepadamu/. Mirip dengan Sana’i, sambil menyapa Kekasih kepada Tuhan, Amir Hamzah seolah kehabisan kata-kata atau kehilangan bahasa untuk meluapkan kecintaan dan kegirangan berjumpa dengan Tuhan:/Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?/ dan /Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu/.

Itu semua menunjukkan betapa dahsyat luar biasa kuasa cinta dengan Tuhan menguasai diri manusia. Berhadapan dengan cinta kepada Tuhan, manusia tenggelam, tidak berdaya, kehabisan kata-kata, dan kehilangan bahasa. Yang bisa dilakukan oleh manusia hanyalah merajuk-rajuk, memohon-mohon, memasrahkan diri, bahkan meniadakan diri agar selalu dekat dengan-Nya, berada di sisi-Nya, berjumpa dengan-Nya, bahkan bersatu secara transenden dan wujudiah dengan-Nya.

Uraian di atas mengisyaratkan betapa luas liputan tema-tema transendental, spiritual, atau religius sastra sufistis atau bernafaskan tasawuf. Sub-subtema transendental lainnya dapat diamati pada karya-karya sastra sufistik lainnya — baik karya sastra Indonesia, Melayu, Jawa, dan Sunda maupun karya-karya Asia Barat [Arab, Persia, atau Timur Tengah]. Hasilnya, niscaya makin meneguhkan keluasan dan kekayaan tema transendental tersebut.

Sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/05/wajah-tasawuf-dalam-sastra-2/

_______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.

One Reply to “WAJAH TASAWUF DALAM SASTRA (3)”

Leave a Reply

Bahasa »