: PERLAMBANGAN
Djoko Saryono *
Gagasan-gagasan tasawuf dalam sastra – yang merupakan transformasi dan manifestasi ajaran tasawuf – biasanya tak dituangkan secara lugas dan langsung, tetapi sering dituangkan dengan memanfaatkan lambang-lambang (simbol-simbol). Itu sebabnya, sastra bernafaskan tasawuf atau sastra sufistis demikian kaya dan pekat akan perlambangan (simbolisme) dan metafora.
Seperti halnya sastra pada umumnya, perlambangan dalam sastra bernapaskan tasawuf dimanfaatkan untuk mengungkapkan perasaan, gagasan dan ajaran tasawuf yang sifatnya abstrak – yang bisa jadi sulit dipahami atau dicerna oleh pembaca. Dengan demikian, perlambangan difungsikan untuk manifestasi, materialisasi, dan konkretisasi gagasan-gagasan tasawuf yang mutatis mutandis ajaran-ajaran tasawuf. Lambang sendiri merupakan wujud materialisasi dan konkretisasi itu.
Pada dasarnya lambang merupakan sesuatu yang adanya mewakili sesuatu yang lain. Misalnya, lambang pohon beringin dalam konteks politik Indonesia mewakili keberadaan suatu partai politik bernama Golkar; lambang ka’bah mewakili keberadaan PPP; lambang matahari biru mewakili keberadaan partai PAN; dan lambang kepala banteng bermulut putih mewakili keberadaan partai PDI Perjuangan.
Hidup dan kehidupan sehari-hari – juga lirik lagu-lagu Indonesia – sering menggunakan warna hitam sebagai lambang duka lara, putih sebagai lambang (ke)suci(an), dan merah sebagai lambang cinta. Dalam konteks sastra, misalnya, burung sering diartikan melambangkan kebebasan dan kelepasan (simak puisi Rendra berjudul Rajawali) dan angin sering diartikan melambangkan kehidupan yang terus bergerak-mengalir tiada henti (simak puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang sering menggunakan lambang sebagai wujud konkretisasi dari suatu perasaan dan/atau gagasan yang abstrak).
Lambang dapat diklasifikasikan menjadi bermacam-macam. Ada orang yang mengatakan bahwa lambang dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (i) lambang universal, (ii) lambang kultural, dan (iii) lambang individual. Lambang universal bersangkutan dengan arketipos, misalnya tidur sebagai lambang kematian. Lambang kultural dilatarbelakangi oleh suatu kebudayaan tertentu, misalnya lambang keris dalam kebudayaan Jawa; lambang clurit dalam kebudayaan Madura; dan rencong dalam kebudayaan Aceh.
Selanjutnya, lambang individual merupakan lambang yang diciptakan oleh pribadi-pribadi yang maknanya bergantung pada pribadi yang bersangkutan. lazimnya ditafsirkan dalam konteks keseluruhan karya pengarang. Ketiga jenis lambang ini terdapat dalam sastra walaupun frekuensinya dan kualitas pemakaiannya tidak sama. Misalnya, dalam novel Burung-burung Manyar (karya Y.B. Mangunwijaya) ditemukan lambang-lambang berkenaan dengan burung manyar, yaitu sarang manyar, burung manyar, dan manyar-manyar baru yang individual sifatnya.
Dalam sastra bernafaskan tasawuf dapat ditemukan bermacam-macam atau beraneka ragam lambang. Schimmel mengemukakan bahwa lambang huruf demikian penting dalam sastra sufi atau sastra bercorak sufistis. Lambang-lambang huruf banyak digunakan untuk mewadahi gagasan-gagasan tasawuf. Dicontohkannya antara lain puisi Rumi berikut.
Kusaksikan Yunus duduk di pantai samudra cinta Kukatakan padanya,”Apa kabar?”
Ia menjawab dengan caranya sendiri.
katanya,”Di samudra aku menjadi mangsa ikan”
Kemudian aku menjadi lengkung huruf nun, sehingga
aku menjelma Dhu’n Nun sejati.
Menurut penafsiran Schimmel , kata atau huruf nun dalam puisi di atas melambangkan pengalaman berada di dalam ikan yang disebutkan dalam larik sebelumnya. Huruf nun dalam puisi tersebut sekadar contoh. Huruf lain banyak dimanfaatkan para penyair mistik untuk lambang-lambang.
Dalam tradisi sastra khususnya persajakan atau perpuisian Parsi bernafaskan tasawuf, perlambangan anggur dan perlambangan erotis demikian penting. Lambang-lambang anggur, bibir molek, kekasih, dan kecantikan sangat dominan, bukan lambang individual lagi, melainkan sudah kultural. Abdul Hadi W.M. menjelaskan sebagai berikut.
Seperti umumnya ghazal yang ditulis oleh penyair sufi itu, sajak mistis Khoemeini yang ditujukan kepada Tuhan yang disebut olehnya kekasih (mahbub) dengan memakai pencitraan profan membuat pembaca non-Parsi yang tidak paham seluk-beluk persajakan Parsi kerap salah mengerti. Sajak Khoemeni yang diberi judul Keterjagaan itu sarat sekali dengan pencitraan seperti bibir molek, anggur, pelayan kedai anggur yang cantik dan lain-lain. Pencitraan-pencitraan ini digunakan untuk mengungkapkan rasa persatuan mistisnya dengan Tuhan serta kecintaan kepada Yang Maha Indah yang mengatasi segalanya. Jadi, pencitraan-pencitraan yang berhubungan dengan erotisme dan kemolekan kekasih digunakan oleh para penyair sufi untuk menyatakan keterpesonaan mereka kepada keindahan yang memancar dari sifat-sifat Tuhan. Sifat rahman dan rahim adalah sifat yang bertalian dengan kelembutan dan kasih sayang, dan sifat ini merupakan kelompok sifat-sifat indah yang menerbitkan perasaan rindu dan cinta.
Dalam bagian lain tulisannya, Hadi menegaskan bahwa untuk memahami sajak-sajak para penyair sufi, kita dituntut untuk memahami sajak-sajak sufi sebelumnya atau yang sudah ada yang banyak menggunakan pencitraan anggur serta pencitraan dari dunia erotis dan sensual, misalnya sajak-sajak Rumi, Hafiz, Nikmatullah, Umar Khayyam, dan Sa’adi. Hal ini menunjukkan bahwa perlambangan anggur dan erotis telah menjadi lambang-lambang kultural di dalam sastra bernapaskan tasawuf dan di kalangan penyair sufi.
Burung juga sudah menjadi lambang kultural dalam sastra bernafaskan tasawuf. Fariduddin Attar dalam Musyarawarah Burung-burung menggunakan lambang burung di seluruh karya sastranya. Sesuai dengan namanya, seluruh tokoh menggunakan lambang burung, bermacam-macam burung.
Cerpenis penting kita, yaitu Fudholi Zaini juga sangat gemar menggunakan lambang burung. Kumpulan cerpennya Batu-batu Setan banyak memanfaatkan perlambangan burung. Beberapa cerpennya menggunakan judul burung, antara lain Burung Kembali ke Sarang. Selanjutnya, Kuntowijoyo juga gemar menggunakan perlambangan burung. Dalam novel Pasar, dia menggunakan burung sebagai bagian lambang novel, bahkan dia menjuduli salah satu cerpennya dengan burung, yaitu Burung Kecil Bersarang di Pohon. Ini semua menunjukkan betapa kuatnya keberadaan perlambangan burung dalam sastra bernafaskan tasawuf.
Dari uraian di atas dapat kita ketahui bahwa perlambangan merupakan bagian hakiki sastra bernafaskan tasawuf. Dalam sastra modern atau kontemporer lambang-lambang itu tetap ada dan penting karena perlambangan merupakan salah satu penanda pokok keberadaan sastra. Dalam sastra tasawuf kontemporer seperti yang ditulis oleh Khomeini lambang-lambang kultural mungkin masih dominan.
Dalam sastra kontemporer bernafaskan tasawuf lambang-lambang kultural mungkin tidak sedominan lambang-lambang individual. Meskipun demikian, terlepas dari jenis lambangnya, perlambangan tetap berperanan penting dalam sastra bernafaskan tasawuf. Ini karena perlambangan merupakan wahana efektif dan efisien untuk menyampaikan gagasan-gagasan abstrak ke dalam wujud konkret.
Sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/05/wajah-tasawuf-dalam-sastra-4/
_______________
*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd adalah Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional.