Deru Gunung, gelora cinta usia senja. Novel Kawabata ini diterjemahkan oleh Nurul Hanafi dari versi Bahasa Inggrisnya, The Sound of the Mountain yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1954. Seperti kata M Aan Mansyur dalam Kata Pengantar yang ia berikan untuk buku ini, bahwa membaca Deru Gunung adalah melakukan perjalanan yang membosankan dan menyenangkan, menyakitkan dan indah, menyedihkan dan berwarna-warni, sederhana dan penuh rahasia, singkat dan tak berujung. Secara keseluruhan saya agak setuju dengan apa yang dikatakan M. Aan Mansyur.
Deru Gunung adalah buku kedua Kawabata yang saya baca di tahun 2017. Di buku pertamanya yang saya baca, Cerita–cerita Telapak Tangan yang merupakan kumpulan cerpen-cerpennya, saya tidak menaruh banyak ketertarikan pada tulisan-tulisan Kawabata. Saya merasa ia sama saja dengan penulis-penulis lain yang tidak memiliki karakter kuat yang bukunya saya baca kemudian selesai, tidak mengusik dan meninggalkan bekas di kepala saya, dan seiring berjalannya waktu saya lupa begitu saja pada Kawabata dan tulisan-tulisannya. Atau sangat mungkin itu juga karena ketololan dan kekurangtajaman saya dalam memerhatikan karya sastra sehingga saya menganggap Kawabata biasa-biasa saja, saat membaca Cerita–cerita Telapak Tangan di buku tersebut saya merasa beberapa cerita tampak mengambang dan samar-samar. Sama sekali berbeda dengan pengalaman membaca Norwegian Wood, Haruki Murakami.
Apa yang Murakami ceritakan tampak jelas sebagaimana sebuah film, seolah tidak ada hal yang sublim di dalamnya. Meski Murakami dalam Norwegian Wood tampak menggunakan tokoh-tokoh yang saya rasa abnormal, sedang mengalami gangguan psikologis sehingga sangat menyimpang dari kebiasaan tokoh manusia pada umumnya. Keganjilan atau penyimpangan-penyimpangan semacam itu mungkin secara tidak sadar telah membuat saya memberi perhatian yang lebih pada Murakami dan membuat namanya seperti terpatri dalam ingatan saya. Sebagaimana kita tahu beberapa guru di sekolah kita pernah mengatakannya, untuk menjadi murid yang selalu diingat para guru jadilah yang paling pintar atau yang paling bengal, jangan pernah jadi yang setengah-setengah. Mungkin semacam itulah yang dilakukan Murakami.
Sangat berbeda dengan Kawabata di novel Deru Gunung kalian akan menemukan perjalanan yang membosankan sekaligus menyenangkan. Kita akan menemui kejadian sehari-hari yang tampak biasa-biasa saja. Menyaksikan seorang kakek berbicara dengan anggota keluarganya, mengamati pohon, percakapan di kereta api saat berangkat kerja, atau seorang kakek yang mampir belanja bahan masakan saat pulang kerja. Sebelumnya saya merasa hal itu merupakan kejadian biasa-biasa saja, sebelum saya sadar bahwa didalamnya seperti ada yang berbeda diantara kewajaran yang kerap kita jumpai dalam keseharian kita.
Sebagai otodidak saya tidak begitu banyak mengerti tentang perihal-perihal kecil di dalam novel, teknik menulis, gaya kepenulisan, atau unsur-unsur lain yang membuat sebuah cerita itu tampak bagus dan pantas dikatakan sebagai sebuah karya sastra. Saya hanya mencoba meniru apa yang dilakukan penulis-penulis itu didalam karyanya, kadang memodifikasinya menjadi sebuah cerita baru, memotong-motong adegan kedalam cerita baru, atau berusaha memerhatikan hal-hal kecil seperti jenis pohon, budaya lokal di mana cerita berlangsung. Di Deru Gunung, Kawabata seakan mengumbar psikologis tokohnya, menceritakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh tokohnya. Membuat narasi-narasi dari perasaan dan pikiran seorang tokoh mungkin adalah sebuah teknik tersendiri, yang saya rasa sangat tidak mudah untuk dilakukan jika tidak terbiasa. Dan Kawabata melakukannya dengan sempurna, dengan tempo dan irama yang seolah telah diperhitungkan secara matang. Pada saat-saat tertentu membaca Deru Gunung kita akan merasakan sedang membaca haiku atau semacam puisi dengan kalimat-kalimat yang indah dan terasa lembut.
Sekali lagi membaca karya sastra luar menurut saya adalah pengembaraan ke ranah asing, sekaligus mencoba mengenalinya meski dengan mengeja dan terbata-bata. Sebagaimana kata Eka Kurniawan, membaca karya sastra adalah meneropong suatu bangsa dari celah yang sangat kecil. Kita akan mencoba menafsir dari hal-hal yang berhasil kita tangkap melalui sebuah karya sastra. Sebagaimana pengalaman membaca Deru Gunung, kadang semua terasa samar, plot yang tidak jelas entah akan membawa kita kemana, bahkan kita harus siap menerima kemungkinan akan sampai pada hal-hal yang tak berujung. Kita tidak menemui klimaks dari sebuah cerita. Sama sekali berbeda dengan sebuah film yang kerap memiliki klimaks sebuah cerita. Dan rasanya kepuasan semacam itu seolah adalah imbalan yang harus kau dapat setelah membeli tiket untuk sebuah film.
Tapi entah kenapa beberapa karya sastra ditulis dengan ending yang tampak tak memiliki ujung. Seolah cerita belum selesai, namun sebagaimana kata M Aan Mansyur, hal semacam itu merupakan estetika dari sebuah cerita. Sebagaimana pernah saya lakukan juga, sebagai penulis saya mengalami kepuasan tersendiri ketika menyelesaikan sebuah cerita yang tampak mengambang dan seolah belum selesai. Dan ini seperti memberikan lubang pada pembaca untuk mengira-ngira seperti apa cerita selanjutnya atau pembaca lain akan tampak penasaran dengan kejadian selanjutnya dan merasa tidak terpuaskan. Mungkin ini yang dimaksud kita telah memberikan ruang berpikir bagi pembaca, memberikan kebebasan untuk menafsirkan apa yang akan terjadi selanjutnya dan semacamnya. Sehingga semua itu dilakukan bukan karena penulis egois atau apa tapi yakinlah, mungkin mereka hanya ingin melakukannya saja seperti yang pernah saya lakukan satu atau dua kali jika saya mau.
Terakhir saya mohon maaf saya tidak banyak mengulas tentang bagaimana keseluruhan cerita di novel Deru Gunung, tapi jika anda mau silakan baca sendiri dan rasakan perjalanannya.
Catatan:
Haiku: puisi Jepang yg biasanya menggunakan ilusi dan perbandingan, terdiri atas 17 suku kata yg terbagi menjadi 3 larik, larik pertama 5 suku, larik kedua 7 suku, dan larik ketiga 5 suku.
____________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com