Ini adalah buku ketiga Kawabata yang saya baca. Dan sekaligus menjadi yang pertama saya selesaikan di tahun 2018 beberapa hari yang lalu. Perjalanan membaca Kawabata, boleh dikatakan secara kebetulan dan tidak menurut peta baca yang biasa ditulis oleh penulis-penulis besar. Namun sesuai niatan awal, mempelajari kesusastraan luar dengan ‘niatan,’ bagaimana harus bisa menikmatinya sekaligus mencuri teknik-teknik menulisnya sebanyak mungkin.
Saya mengatakan kenapa harus menikmatinya, tentu saja dengan suatu alasan. Menikmati kesusastraan luar bagi saya ialah berkunjung ke suatu tempat yang asing, memasuki lorong-lorong gelap, terperosok ke tempat-tempat surealis, sebab dalam lingkup keseharian, tidak pernah mendapat gambaran tentang hal-hal yang kita temui di dalam kesusastraan tersebut. Sangat berbeda dengan kesusastraan kita, paling tidak pernah mendengar setting yang digunakan, kearifan lokal, termasuk beberapa mitologi yang diangkat kembali. Kita kerap melihat penjajahan bangsa lain, cerita tentang kerajaan-kerajaan Jawa, atau budaya-budaya yang masih melekat di daerah-daerah. Kepercayaan terhadap pohon, konflik agama, atau yang paling memuakkan kisah cinta anak SMA yang dibalut dengan sangat membosankan, dan tampak tidak kreatif sama sekali.
Pertama kali membaca kesusastraan luar, saya berkenalan dengan Carlos Fuentes. Dengan novel atau lebih tepat disebut noveletnya “Aurora,” terasa ia berhasil membuat saya masuk ke dunia yang amat sangat asing, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan muncul dan tidak bisa saya jawab. Seperti memasuki rumah yang gelap di tengah malam buta, melihat kamar atau ruang-ruangnya secara meraba-raba, dan hanya mendengar suara-suara yang juga tak jelas. Kurang lebih begitulah saya dituntut untuk menggambarkannya.
Demikian juga dengan Yasunari Kawabata, di buku pertamanya yang saya baca, sama sekali tidak menemukan apapun, barangkali tak bisa menikmatinya. Namun semuanya berubah, setelah buku ketiganya “Perawan Cantik yang Terlelap” saya baca. Menyenangkan sekali, seolah baru saja melihat keindahan kupu-kupu dengan amat detail dan menikmati keindahannya saat mengepakkan sayap. Telur di kepala saya seolah pecah dan ikhlas mengakui, Yasunari Kawabata memang pantas meraih Nobel Sastra pada tahun 1968.
Di Novelnya, “Perawan Cantik yang Terlelap” menurut saya, tema yang diangkat Kawabata hampir sama dengan “Deru Gunung,” masihlah seputar percintaan lelaki tua dan perempuan muda. Namun yang membedakan keduanya barangkali teknik menulisnya, di Deru Gunung, Kawabata lebih bereksperimen dengan plot atau alur cerita yang lebih kompleks, ia membuat alur kekisah yang berkelindan ke luar, tak hanya seputar kehidupan rumah tangga dimana Shingo tinggal.
Sementara di Perawan Cantik yang Terlelap, Kawabata seolah hanya bermain dalam sedikit tempat, Rumah yang menyediakan perawan-perawan cantik, dan kenangan. Namun sebagaimana seoarang master, Kawabata menunjukkan cerita yang tidak membosankan, dan tetap enak dibaca hingga akhir. Kawabata lebih banyak menggunakan teknik show dari pada tell, sehingga dengan amat jelas kita bisa membayangkan bagaimana lekuk tubuh perempuan cantik yang ingin ditunjukkan, terasa terang setiap perempuan yang ditiduri si tua Eguchi.
Namun dibalik novel yang tarpapar vulgar, Kawabata seperti ingin mengajak kita untuk kembali menyelami apa itu esensi cinta bagi seorang kakek-kakek. Terakhir seperti biasanya, saya tidak mungkin menceritakan secara gamblang kisahnya dari awal hingga akhir. Lebih baik anda baca sendiri bukunya, biar berkesan dan tampak keren, karena membaca pada dasarnya pangkalnya keren, percayalah.
____________________
*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com