APA FUNGSI SPASI?

Imam Nawawi *

Fungsi Spasi (1)

Jika anda menjawab : fungsi spasi adalah untuk memisah satu kata dari kata lain dalam sebuah kalimat, maka Anda benar.

Misal ada dua kata “aku” “kamu”. Jika tanpa spasi maka akan tertulis : akukamu. Selain tidak enak dipandang mata juga tidak lazim digunakan. Fungsi spasi berguna untuk memudahkan mata memilah satu kata dari kata lain, lalu anda cari makna masing-masing kata dalam kamus.

Tapi, apa cuma itu saja? Tidak! Ketika anda membuat spasi, atau memisah “akukamu” menjadi “aku [spasi] kamu,” maka akan tercipta ruang (space). Jadi, spasi berarti menciptakan ruang di antara kata aku dan kata kamu.

Apa fungsi ruang (spasi/space) di antara dua kata? Fungsinya sangat banyak; minimal filosofis, politis, sosiologis, dan kultural. Anda bisa menambahkan fungsi-fungsi lain sesuka hati anda.

Contoh: aku kamu.

Fungsi filosofis membuat Anda berkebebasan untuk menafsir dengan sesuka hati. Misalnya menjadi : aku [pada Pemilu 2024 nanti, sudah pasti tidak akan mencoblos] kamu.

Fungsi sosiologis membuat Anda belajar tentang perilaku diri maupun orang lain. Misalnya menjadi : aku [memang berwatak keras tapi jujur apa adanya. Aku tidak suka watak munafik bermuka dua seperti] kamu.

Fungsi kultural membuat Anda mengerti nilai-nilai kearifan pada orang lain. Misalnya menjadi : aku [pergi tahlilan hanya karena persahabatan yang sudah dibangun sejak lama antara aku dan] kamu.

Jadi, semua penjelasan naratif pada kolom [… … ] merupakan fungsi spasi. Jika Anda mampu memaksimalkan fungsi spasi melalu kecerdasan akal maupun kepekaan hati, maka Anda akan berkuasa di hadapan “kata”. Anda akan selamat dari manipulasi kata yang kadang membingungkan.

Misalnya Anda menemukan sekumpulan kata acak berikut ini, maka Anda dapat memanfaatkan fungsi spasi untuk memahaminya.
***

Arsitektur Hotel
Afrizal Malna

Hotel sepi. Hotel mati. Seekor burung dari kamar ke
kamar, menyileti cermin. Dan batu-batu membuat
bangku, dan batu-batu membuat pintu, dan batu-batu
membuat tamu. Dada. Telur-telur mati mengisi hotel. Beri
aku orang.

(1984)

Maka akan menjadi begini:

Arsitektur [adalah sebuah disiplin ilmu yang pernah aku pelajari di kampus. Kali ini aku melihat sebuah arsitektur] Hotel. [Namun] hotel [ini tidak seperti biasanya, mungkin karena ada PSBB atau lockdown maka ia tampak] sepi. [Tampak sekali] hotel [yang aku kunjungi itu mirip kuburan, tempat orang-orang] mati. [Kulihat juga] seekor burung [terbang] dari [satu] kamar ke kamar [lain. Kebetulan di samping aku berdiri ada sebuah cermin. Kelebat burung itu kulihat dari cermin di sampingku itu. Bayangan burung seperti] menyileti cermin.

Dan [aku juga melihat] batu-batu [berserakan di pelataran halaman hotel yang tampak mati itu. Aku yang lelah berdiri merasa ingin duduk di atas batu-batu itu. Sebagian aku buat sebagai tempat duduk dan sebagian lagi aku] membuat [nya sebagai] bangku [karena kebetulan aku bawa tas berisi cemilan dan satu botol kopi juga sebungkus rokok]. Dan [aku berpikir] batu-batu [yang berserakan itu adalah sisa pembangunan yang belum selesai. Mungkin saja arsitek bangunan hotel ini berniat] membuat [batu-batu ini sebagai bahan membuat] pintu.

Dan [aku juga berpikir] batu-batu [yang kelihatannya berjenis marmer ini berkualitas bagus. Jika dipakai membuat pintu, tentu akan] membuat tamu [senang melihatnya. Tampaknya ini barang mahal].

[sembari terus berpikir, aku merasa] dada [ku semakin sesak. Tak terasa satu bungkus rokok habis dalam hitungan menit. Tambah lagi perutku mulai keroncongan, sedangkan bekal dalam tas hanya tersisa] telur-telur [rebus buatan istri tadi pagi. Aku datang ke sini memang tidak ada maksud berlama-lama di sini. Tujuanku hanya satu, berpikir bagaiamana investasiku tidak rugi dan hotel ini tidak] mati. [Aku ingin menghidupkannya lagi sekalipun covid-19 belum pasti kapan berakhir. Aku harus] mengisi hotel [ini dengan program-program kreatif, misalnya kegiatan seni dan budaya. Wahai kawan-kawan] beri aku orang [orang kalian, pasukan kalian, komunitas kalian. Mari adakan kegiatan di hotelku yang mati ini!].
***

Yang ingin saya sampaikan adalah : ilmu spasi adalah ilmu dari tradisi pesantren, terutama pondok pesantren Nahdlatul Ulama. Jadi, bagi kaum santri, yang identik mengenakan sandal jepit, kopiah, sarung, tidak akan pernah menghadapi kumpulan kata yang sulit diurai.

Jika kaum santri bangkit dan menunjukkan keilmuannya maka semua problem dunia ini akan tuntas. Silahkan hadirkan jutaan masalah, kata-kata yang acak, hancur, bahkan sampah sekalipun, maka kaum santri pasti mampu mengubahnya menjadi mutiara yang sangat berharga dan mudah dimiliki semua orang. Bahkan gratis tanpa diperjualbelikan.

Inilah ilmu spasi. Kaum pesantren menyebutnya tradisi syarah ala matni.

Fungsi Spasi (2)

Setelah membaca tulisan pertama tentang fungsi spasi, Anda tidak boleh berhenti belajar, karena belajar adalah perintah agama. Wajib belajar walau harus merantau ke negeri China.

Anda tidak boleh berhenti pada kesimpulan bahwa ternyata spasi di antara dua kata bagaikan rahim seorang perempuan. Jika rahim itu subur maka akan ada banyak bayi lahir. Jika rahim itu mandul maka tidak akan lahir seorang bayi pun.

Berpikir spasi bagaikan rahim wanita yang subur adalah pikiran yang kurang sempurna. Mengapa? Nah, sebelum menjawab pertanyaan ini, kita bayangkan sejenak rahim perempuan.

Rahim seorang perempuan tidak bisa dinilai sebagai rahim yang subur atau mandul sebelum dilakukan penelitian ilmiah. Salah satu bentuk penelitian ilmiah kesuburan rahim perempuan (tentu biayanya terjangkau semua orang dan sederhana metodenya) adalah pernikahan.

Seorang perempuan harus dinikahi lebih dulu, barulah saat itu akan tampak kualitasnya sebagai rahim yang subur atau mandul. Apa arti pernikahan? Pernikahan adalah tindakan menelan habis-habisan sampai ke ujung pangkal, yang dilakukan oleh rahim.

Ya, tepat! Itu arti pernikahan. Ulama Fiqih klasik mendefinisikan pernikahan sebagai ilajul hasyafati ilal farji (perbuatan laki-laki memasukkan sesuatu ke dalam lubang spasi perempuan).

Kesimpulannya: rahim baru bisa melahirkan bayi-bayi ketika sebelumnya telah menelan benda-benda dari luar. Inilah fungsi spasi (ruang) yang dimiliki perempuan. Begini juga fungsi spasi yang terdapat di dalam sebaris kalimat.

Contoh: “aku pagi ini pergi ke pasar membeli sayur-mayur dan beberapa jenis ikan laut, seperti cumi-cumi, kerang, dan kepiting. Itu kesukaanku. Karena kata orang, penjual daging saping tempat aku berlangganan sedang tidak buka tokonya, ia sedang menikahkan putrinya. Bagiku, selain makan daging, seafood sebagai gantinya.”

Contoh kalimat di atas dapat anda kembangkan sendiri. Sesuka hati anda. Tapi, hal yang ingin saya sampaikan adalah contoh kalimat di atas sangat panjang dan sudah berupa paragraf.

Tapi, apakah anda tahu bahwa rahim perempuan itu memiliki daya telan yang luar biasa? Sepanjang dan sebesar apapun kalimat dan paragraf dari laki-laki pasti akan tertelan oleh rahim perempuan. Nah, fungsi spasi pada kalimat juga serupa dengan fungsi spasi pada perempuan: memiliki daya telan!

Jika daya telan spasi ini dimaksimalkan, dioptimalkan, dengan kecerdasan akal dan kepekaan hati, maka paragraf panjang akan tertelan dan yang tersisa hanya berupa pangkal-pangkalnya saja.

Contoh kalimat di atas akan menjadi : “aku pergi ke pasar membeli sayuran dan seafood, karena toko penjual daging tidak buka.”

Okey, ini contoh lain yang saya ambil dari koran Kompas edisi hari ini: Presiden Joko Widodo mengajukan 31 nama calon duta besar kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Uji Kepatutan dan Kelayakan terhadap para dubes dilakukan Komisi I DPR pada Selasa (16/6/2020) hari ini.

Paragraf panjang dari Kompas itu dapat ditelan oleh fungsi spasi, misal menjadi seperti ini: “presiden mengajukan 31 nama calon duta besar. Uji kepatuan dilakukan Komisi I DPR hari ini.” Bahkan, jika pun mau ditelan dalam jumlah lebih besar lagi juga bisa. Hasilnya misal akan begini:

Presiden
31 nama
Diuji
Wakil Rakyat

Selesai. Singkat. Padat. Semua kata yang berhamburan masuk tertelan ke dalam spasi.

Di dalam tradisi pondok-pondok pesantren, khususnya pesantren Nahdlatul Ulama (NU), teknik memaksimalkan daya telan spasi ini disebut teori Ithnab-Ijaz. Tradisi ini sudah lazim dikenal publik pesantren. Beberapa produk yang dihasilkan adalah adanya tradisi mukhtashoran. Karya-karya berjudul mukhtashor sangat banyak.
***

Fungsi Spasi (3)

Setelah membahas daya melahirkan (reproduksi) dan daya telan (reduksi) SPASI dalam dua tulisan sebelumnya, penting kiranya membahas skala ukuran, seperti soal : 1) panjang dan lebar, 2) ketinggian/kedalaman, 3) diameter dan sudut, yang kesemua itu merupakan fungsi spasi. Mari kita imajinasikan tiga hal di atas satu persatu.

1) Skala Panjang dan Lebar Spasi
Skala panjang spasi terbatas oleh apa yang disebut margin. Kata margin itu berasal dari bahasa Ingris, yang artinya: tepi atau pinggir.

Jika anda termasuk manusia yang menulis dengan tradisi menulis dari arah kanan ke kiri, seperti bahasa Arab, atau mengikuti tradisi tulis dari kiri ke kanan, seperti bahasa Ingris, maka Anda akan terbatasi secara otomatis oleh medium yang dipakai.

Jika anda menulis di atas buku tulis maka margin pembatas kanan kiri Anda berbeda dibanding bila anda memakai medium papan tulis; berbeda lagi bila memakai medium komputer; tentu semua itu berbeda jika anda menulis di atas medium berupa tepian pantai, dinding-dinding gua, atau anda menulis di atas hati dan jiwa anak Anda. Skala kanan kiri berbeda satu sama lain.

Itu semua bukti bahwa skala panjang spasi tidaklah terbatas. Ini contoh orang yang memanfaatkan skala spasi, tampaknya ditulis dengan medium komputer:

Tahun 1974 atau sekitar 5 tahun sebelum Sutardji menulis puisi berjudul Tradegi Winka dan Sihka di atas, ada Jacques Derrida dengan bukunya berjudul Glas atau Gelas. Derrida menulis Glas juga memainkan fungsi spasi. Seniman desainer dan layouter sangat paham soal layout buku Derrida berjudul Glas itu.

Terkait penggunaan atau pemanfaatan spasi oleh Ulama Nusantara, saya sudah mengulas cukup panjang tentang Derrida ini dalam tulisan berjudul “Pemikiran Postmo dalam Literasi Pegon Ulama Nusantara”. Ketik aja judul tulisan itu di google.

Selain skala panjang, spasi juga punya skala lebar. Jika anda menulis pada medium yang dua dimensi, panjang-lebar tidak bisa dipisahkan. Setiap ada ukuran panjang, pasti ukuran lebar juga ada. Dalam tulisan saya di atas, “Pemikiran Postmo dalam Literasi Pegon Ulama Nusantara”, saya mengurai kelebaran sebuah medium, yang kemudian dimanfaatkan oleh kreatifitas ulama Nusantara, untuk mengoptimalisasi fungsi-fungsi spasi. Silahkan anda baca, supaya saya tidak perlu mengulangi.

2) Skala Ketinggian dan Kedalaman Spasi
Dunia desain grafis, salah satu contoh, adalah dunia kreatifitas. Di sana para mahasiswa maupun pelaku kesenian bergelut dengan jenis dan ukuran font. Ada banyak jenis font, di antaranya : times new roman, arial, calibri, garamond, dan lainnya. Ukurannya juga variatif, mulai dari kecil ke besar.

Konsekuensi dari pemilihan jenis font dan ukuran tertentu adalah terciptanya skala tinggi dan dalam spasi. Jika ada dua kata ditulis dengan ukuran font berbeda maka ukuran spasi di antara keduanya juga akan berbeda. Katakanlah satu kata pertama ditulis dengan ukuran 20 poin dan kata kedua ditulis dengan ukuran 10 poin maka tercipta selisih ketinggian 10 poin. Ini jika kita bicara spasi antar dua kata dalam satu baris yang sama; kanan ke kiri atau kiri ke kanan.

Jika kita bicara spasi antar baris; baris atas dan baris bawa, maka pilihan ukuran juga variatif, misal : 0.5, 1.0, 1.5, 2.0 dan sebagainya. Belum lagi jika kita memanfaatkan fungsi Enter pada keyboard komputer. Ruang spasi akan melebar sesuai kebutuhan selera. Hal ini mudah anda temukan dari desain baliho, surat resmi, sertifikat, cover buku, dan karya desain grafis lainnya.

3) Skala Diameter dan Sudut Spasi
Sebelum mengenal komputer, seni grafis ini juga sudah dikenal dengan baik. Di nusantara kita menyebutnya dengan kesenian “rajah” atau kesenian membuat “jimat”. Di dalam karya seni jimat atau rajah ini, spasi betul-betul optimal dan maksimal, tampak sangat hidup, dan variatif tentunya.

Spasi di dalam kesenian grafis klasik sangat beragam : lingkaran, persegi, kerucut, dan lainnya. Spasi diatur sedemikian rupa untuk menghasilkan satu kombinasi tertentu sehingga kemudian menghasilkan gambar-gambar yang menyerupai bentuk manusia atau binatang atau gabungan manusia binatang.
***

Fungsi Spasi (4)

Kali ini kita akan melihat fungsi spasi dari sudut dimensi spiritual dan religius.

1) Fungsi Spiritual Spasi
Spiritual berarti segala hal yang berhubungan dengan ruh atau spirit. Setiap benda memiliki spirit atau ruh. Itulah alasan kenapa manusia, binatang, dan tumbuhan menjalani jalan hidup masing-masing, itu karena ruh mereka berbeda satu sama lain. Fungsi spiritual dari spasi itu setidaknya ada empat bagian sebagai berikut:

a) Ruang bagi Kenangan
Ini persoalan sejarah dan masa lalu. Jika Anda mendatangi ruang-ruang keramat seperti tempat-tempat ibadah, makam dan kuburan, atau bangunan kosong yang lama tidak ditempati, maka Anda akan temukan ruang-ruang itu dihuni oleh ruh-ruh, entah ruh suci atau ruh jahat.

Atau, anda comot sepotong ayat suci dari Al-Quran, pisahkan dari kumpulannya, lalu baca berulang-ulang, sampai muncul khoddam atau ruh pada potongan ayat itu.

Atau, anda ambil Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bolah balik halamannya, baca lema per lema, kata perkata, lalu rasakan dan hayati makna masing-masing, maka akan muncul ruh yang mengalir dari halaman KBBI itu ke dalam perasaan dan pikiran Anda. Anda akan paham dan tahu sesuatu yang baharu, bahkan anda bisa belajar menulis sendiri.

Itu semua adalah ruh yang menghuni ruang kosong (spasi). Jika Anda kebelet, mau ke toilet, carilah kamar mandi yang sunyi tanpa mendengar suara orang lain, maka Anda akan mendapatkan banyak inspirasi dan ide pemikiran baru. Hal itu karena spasi (ruang kosong) toilet dihuni oleh ruh yang siap masuk ke dalam hati atau otak anda.

Inspirasi atau ide itu adalah ruh. Ruh itu hidup di alam berbeda tetapi berdampingan dengan alam kita. Ruh ini abadi dan sering datang dari masa lalu. Kita sering salah menyebutnya sebagai kenangan atau memori.

Ilmu pengetahuan juga ruh. Begini cara membuktikannya: pertama, hadirkan dua anak berbeda, dan beri mereka buku bacaan yang sama. Kedua, suruh mereka bergantian menjelaskan isi bacaan dalam buku. Hasilnya: pasti beda! Kenapa? Ruh yang sama tidak bisa ditampung oleh ruang spasi yang berbeda. Hasilnya pasti beda.

Ruh itu universal. Tapi, spasi itu parsial atau terbatas. Kalau anda semua ingin tahu bagaimana saya belajar, saya akan jawab begini: saya belajar itu dengan cara mengamati detail diri saya sendiri. Jika ada sedikit ruh yang menyelinap masuk ke dalam diri saya, maka saya akan kejar itu.

Ruh itu kadang mengajak saya kejar-kejaran ke berbagai sumber informasi, perpustakaan, situs websites, dan nama-nama orang yang ahli pakar. Padahal, sebelum menulis, saya tidak pernah membayangkan mau apa dan mencari apa dan dimana tempatnya.

b) Ruang bagi Keyakinan
Coba anda hadirkan di atas meja belajar Anda beberapa kitab suci dari enam agama resmi Indonesia; Hindu-Buddha, Kristen-Katolik, Islam dan Kong Hucu. Atau, anda hadirkan buku-buku pelajaran seperti matematika, fisika, sejarah, ekonomi, agama, seni dan budaya. Kemudian anda temukan ruang-ruang spasinya.

Semua buku itu ibarat Rumah Susun (rusun). Ada banyak lantai dan ruangan. Masing-masing berada dalam ruang spasi masing-masing. Ada jarak panjang antara Hindu ke Buddha, ke Kristen, ke Katolik, ke Islam, ke Konghucu. Begitu sebaliknya.

Spasi itu adalah ruang bagi keyakinan. Jika anda berada di ruangan yang tidak sama dengan saya maka kita hanya saling menatap dari jauh, lalu kita bersepakat: ternyata kita ini sama. Sama-sama berbeda. Kita sama-sama dalam ruangan (spasi). Ruangan kita berbeda. Karena itulah mari kita tempati ruangan kita masing-masing, tidak ada paksaan bagimu untuk pindah ke dalam ruanganku.

Sekali pun nantinya ada orang yang membangun ruang alternatif, seperti agama Bahai’, yang melebur semua agama menjadi satu, sejatinya itu hanya ruangan baru, sebuah spasi baru lagi, dan dia tetap eksklufis. Selain agama, ada sekte baru, aliran baru, yang coba melebur keragaman ke dalam persatuan spasial. Itu gagal, dan ia akan eksklusif. Hanya saja, ia lebih besar. Tapi, ia tetap perkara baru yang lain yang berbeda yang turut meramaikan ruang spasial di bidang kerohanian.

c) Ruang bagi Harapan
Jika kenangan dan keyakinan berpijak pada kemampuan diri yang kokoh dan mantap, maka harapan lebih mengandalkan orang lain atau benda lain di luar dirinya agar seturut dengan segala mimpi-mimpinya. Harapan itu bentuk dependensi atau kebergantungan.

Jika anda mengandalkan ilmu, sains, dan teknologi untuk mewujudkan semua keinginan anda, namun tanpa disengaja semua itu tidak bisa diandalkan lagi, maka anda butuh harapan.

Contoh: sebelum Pemilu 2019, anda yakin bahwa pasangan calon yang anda usung mampu mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang makmur sejahtera. Namun, tahun 2020, Presiden dan Wakilnya mengecewakan. Tidak bisa diandalkan. Maka Anda butuh harapan kesekian kalinya di Pemilu 2024 nanti.

Contoh lain: anda hanya puang uang 10 ribu rupiah, tapi ingin membeli kuota internet 100 giga bite untuk 1 bulan. Anda butuh harapan agar kelak operator bekerja sama dengan saitis juga kapitalis-politis agar memungkinkan harapan anda terwujud.

Di antara uang anda yang 10k itu dan kuota 100GB itu ada spasi (ruang) bagi harapan anda. Sama persis: antara kawan-kawan saya yang masih jomblo dan pelaminan, terdapat jarak spasi yang begitu membentang. Spasi harapan namanya.

d) Ruang bagi Cinta dan Kebencian
Cinta dan kebencian adalah dua jenis kekuatan manusia yang bertujuan untuk memiliki dan menghabisi. Bila gagal memiliki maka tinggal menghabisi.

Cinta dan benci ini tinggal di ruang-ruang berbeda di dalam diri manusia. Sebenarnya, kedirian manusia itu memang mirip Rumah Susun, seperti saya bilang di awal. Seseorang yang mampu melihat dirinya sendiri maka dia akan melihat bahwasanya cinta, benci, harapan, keyakinan, dan kenangan adalah ruh-ruh yang tinggal di dalam kamar-kamar berbeda; di dalam ruang-ruang spasial berbeda.

Contoh: perut anda lapar sekali, setelah masuk ke dapur, ternyata istri belum masak dan di dapur tidak ada apapun yang bisa dimakan. Sedangkan mau beli di luar, uang tidak cukup. Pilihan anda cuma dua: bersabar atau marah. Jadi, jika harapan telah keluar dari ruangannya, ia selesai mengerjakan tugas. Tugas berikutnya diambil alih oleh sifat sabar atau marah.

Perilaku ini alamiah menimpa semua orang. Misalnya, jika ada politisi yang berkampanye mau membela rakyat dan mewujudkan semua harapan rakyat, namun setelah jabat DPR bertindak korupsi, maka itu sudah wajar. Sebab, tugas sifat jujur ketika masa kampanye sudah selesai menjalankan tugasnya. Tinggal sifat khianat yang menggodanya.

Alhasil, jika pada masa kampanye, sifat cinta yang muncul dari hati rakyat, sehingga Pemilu berjalan lancar, maka paska KPU menetapkan calon pemenang dan ada kisruh, itu juga hal lumrah. Jokowi mengkhianati pendukungnya, misal jabatan Kemenag jatuh ke tangan orang lain, atau Prabowo mengkhianati pendukungnya, dengan menerima jabatan Menteri Pertahanan. Itu juga lazim.

Ruang cinta dan benci itu ada dimana-mana, baik dalam diri manusia (lubuk sanubari) maupun dalam sistem politik pemerintahan.

2) Fungsi Religius Spasi
Saya tidak perlu bahas panjang lebar bagian ini. Sudah jelas terang benderang perbedaan hukum-hukum formal setiap agama di Indonesia. Cara ibadah setiap agama juga beda. Nama-nama kitab suci dan gelar orang-orang sucinya juga beda.

Dan, sebagaimana telah saya singgung di atas, sekali pun ada ruang spasial baru yang mau menggabung semua perbedaan, tetap saja itu beda. Sebut saja Pancasila. Pasal 1 Ketuhanan Yang Maha Esa adalah ruang spasial baru, walau dianggap bisa merangkul keragaman tetap dalam ranah pemaknaan teoritis dan praktis oleh masing-masing pemeluk agama, hasilnya tetap beda.
***

Fungsi Spasi (5)

Ini mungkin adalah fungsi terakhir dari spasi yang mau saya tulis. Kita telah melalui banyak tahapan dari yang paling dasar sampai yang paling puncak, yakni fungsi spiritual-religius. Fungsi ke-5 ini adalah fungsi imajinatif dari sebuah spasi.

Fungsi imajinatif ini memiliki bangunan struktural yang bersifat hirarki. Mulai dari yang paling kasar sampai yang paling halus. Tingkat kehalusan imajinasi diukur dari tingkat kemelekatankannya pada perkara konkrit, sekalipun yang konkrit ini berupa abstraksi atau penarikan gagasan dari benda kasar.

Setiap manusia memiliki potensi imajinasi. Tetapi tidak semua potensi lahir menjadi konkrit. Di meja di dalam dapur ada sayur-mayur, daging, ikan laut, tepung, minyak goreng dan rempat-rempah. Lalu kita masuk ke dalam dapur. Saat itu setiap orang dapat dibedakan kelas imajinasinya.

Orang awam, mereka hanya mengandalkan panca inderanya. Melihat barang-barang beragam jenis tadi apa adanya. Tidak punya pikiran untuk masak apa, bumbu apa, kuah apa. Betul-betul tidak punya ide mau ngapain dengan sayur-mayur dan rempah-rempah yang tersedia lengkap itu.

Orang khas, mereka punya akal pikiran, kecerdasan dan kepintaran. Mereka jauh lebih kreatif dibanding orang awam. Dengan mengandalkan akalnya, dia berpikir tentang ide masakan, tentang komposisi dan takaran bumbu-bumbu. Akal membuat manusia lebih cerdas dari orang awam yang hanya mengandalkan panca inderanya.

Orang khawasul khawas, mereka yang tidak cukup dengan akal, tetapi lebih mengandalkan daya imajinasinya. Orang yang mampu berimajinasi akan menghasilkan jenis masakan yang lebih kreatif dibanding karya orang yang pintar dan cerdas. Jika ada dua atau lebih tukang masak, jangan heran bila karya mereka berbeda-beda. Walaupun ilmu memasaknya sama, tapi daya imajinasinya berbeda. Sehingga walaupun disuruh memasak satu jenis makanan yang sama, hasilnya akan berbeda.

Panca indera, akal, dan imajinasi adalah perangkat bawaan manusia sejak lahir. Namun, ada juga yang cacat bawaan. Ada cacat panca inderanya, ada yang cacat akalnya, ada pula yang cacat imajinasinya. Orang cacat indera, misalnya mengalami kebutaan. Orang cacat akal, misalnya mengalami kegilaan. Orang cacat imajinasi, misalnya mengalami kejumudan.

Contoh: orang yang cacat indera pendengaran dan penglihatan misalnya, dia tidak akan tahu bahwa 1+1+1 = 3. Orang yang cacat akal misalnya, dia hanya tahu dan berpegang teguh bahwa 1+1+1 = 3. Tidak lebih, tidak kurang dari 3. Tapi, orang yang sehat imajinasinya, dia tahu bahwa 1+1+1 (=/=) 3. Simbol (=/=) dibaca : tidak selalu sama dengan.

Orang yang cacat imajinasinya akan jatuh pada golongan orang yang sebatas mengandalkan akal. Orang yang cacat akalnya, dia akan jatuh pada golongan orang yang sebatas mengandalkan indera.

Tentang pengetahuan : orang-orang yang mengandalkan indera, mereka bergantung pada gerak perubahan alam atau benda-benda di luar maupun di dalam dirinya sendiri. Jika dia menemukan perubahan maka ilmunya akan bertambah. Jika belum menemukan perubahan maka ilmunya berhenti.

Orang-orang yang mengandalkan akal, mereka tidak saja merasa perlu memanfaatkan fungsi inderanya. Tetapi juga memprediksi secara presisi, akurat, bahkan matematis untuk menebak arah perubahan tadi itu, baik perubahan itu akan segera terjadi dalam waktu singkat maupun waktu lama sekali. Selama masih mungkin maka itu akan cukup memuaskan bagi akalnya.

Orang-orang yang memanfaatkan imajinasi, mereka selangkah lebih jauh dari kemungkinan. Imajinasi tidak mau tunduk pada kemungkinan. Sebab kemungkinan adalah properti milik atau hak milik akal. Sebagaimana akal menghargai prestasi panca indera, imajinasi juga menghargai prestasi panca inderan dan sekaligus prestasi akal. Kemudian, imajinasi mengembangkan properti atau hak milik dirinya sendiri, yakni keimanan atau kepercayaan.

Karena itulah, tiga jenis properti ini akan selalu ada selamanya seiring sejalan: pengetahuan, kemungkinan, dan kepercayaan. Pengetahuan adalah properti khas panca indera. Kemungkinan adalah properti khas milik akal. Kepercayaan adalah properti khas milik imajinasi.

Kemudian, dengan bahasa agak ilmiah, manusia memberi nama sebagai berikut: pengetahuan adalah awal sains. Kemungkinan adalah awal filsafat. Keyakinan adalah awal agama.

Spasi dalam memerankan fungsinya sebagai imajinasi membuat seorang manusia menjadi insan kamil. Manusia sempurna. Disebut sempurna, karena dia begitu menghargai panca indera tanpa mengejek prestasinya sedikitpun. Juga mengharga prestasi akal, tanpa mengejaknya sedikitpun. Karena ruang imajinasi mampu menampung luas ruang prestasi panca indera, mampu menerima kebenaran saintifiknya. Karena ruang imajinasi mampu menampung luas ruang prestasi akal, mampu menerima kebenaran filosofisnya.

Di hadapan imajinasi, akal dan panca indera adalah anak-anaknya. Akal adalah anak sulung, indera adalah anak bungsu. Imajinasi sebagi orangtua mengerti betul cara meladeni anak-anaknya. Jelas anak bungsu paling nakal. Banyak menuntut. Kadang terlalu egois. Karena belum berpengalaman. Lumrah. Dapat dimaklumi.

Sebagaimana filsafat tidak bisa sepenuhnya dimengerti oleh sains, keimanan atau kepercayaan juga tidak bisa sepenuhnya dimengerti oleh filsafat. Ssbagaimana filsafat mau sedikit menghargai sains, keimanan juga mau sedikit menghargai filsafat. Tapi begitulah. Lidah filsafat sering kali kelu jika harus bicara di hadapan sains. Sebagaimana lidah keimanan juga kerap kelu untuk bicara di hadapan filsafat.

Akhir kata dari saya, semoga ruang-ruang spasial di dalam diri kita semua menjadi aktif dan berfungsi. Terutama bagi kaum santri. Sehingga di masa depan, akan lahir generasi-generasi saintis dari pesantren, juga generasi-generasi filsufnya. Dan akhlak, spiritualitas, serta religiusitas semakin kokoh dan sabar membimbing dan mengayomi filsafat dan sains. Amiien ya Allah ya Rohman ya Rohim.
***

INDONESIA DALAM SPASI

Sebagaimana saya sudah menutup untuk tidak membahas fungsi spasi, kali ini bukan untuk menjelaskan apa saja fungsinya, tetapi bagaimana spasi itu bekerja dan beroperasi. Bukan apa tujuannya melainkan bagaimana mencapai tujuan itu.

Indonesia hanya kasus. Indonesia adalah contoh sesuatu yang berada di dalam spasi. Kita dapat menyebut pulau-pulau seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan lainnya. Penghubung semua itu adalah Indonesia.

Kita dapat menyebut satu persatu nama-nama suku dan bahasa dari Sabang sampai Merauke, kemudian kita sebut penghubung mereka semua adalah Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia hidup dalam ruang spasial kita semua.

Anda dapat mengulang kembali jenis-jenis fungsi spasi yang sudah saya bahas sebelumnya. Itu pula yang terjadi di Indonesia. Suatu ruang yang penuh kebebasan, kontestasi, perang, dan konsensus. Mencita-citakan spasi sebagai ruang yang stabil adalah perkara yang sulit terwujud.

Misal ada dua kata seperti : “aku kamu”, maka mencita-citakan ruang spasial antara “aku” dan “kamu” sebagai perkara stabil sangatlah sulit. Ada kemungkinan-kemungkinan tidak terbatas yang selalu coba menginterupsi ruang spasi tersebut.

Sangat mungkin menjadi begini : 1. Aku [adalah], 2. [cinta] kamu, 3. Aku [benci], 4. Aku [bersepakat dengan] kamu, 5. Aku [menantang] kamu. Anda bebas mengembangkan spasi-spasi lain untuk menjadikannya penghubung-penghubung yang kuat.

Dulu sekali saat saya belum lahir dan hanya mendapat cerita atau dongen, pulau-pulau di Indonesia itu terhubung oleh sistem kerajaan. Setelah sistem kerajaan runtuh, datanglah sistem penjajahan. Ketika sistem penjajahan runtuh, datanglah sistem kemerdekaan.

Di masa kemerdekaan, sistem-sistem silih berganti. Ada kalanya berupa Negara Kesatuan. Ada kalanya Negara Perserikatan. Ada kalanya Demokrasi Terpimpin. Ada kalanya Demokrasi Liberal. Ada kalanya Parlementer. Ada kalanya Presidensil.

Hingga hari ini, tawar-menawar dalam ruang spasi masih ada. Mati-matian Pancasila. Diam-diam Khilafah. Juga komunis. Tapi, dua yang terakhir telah dan sedang dibubarkan dan dimatikan.

Poin utama yang ingin saya katakan: memimpikan stabilitas spasi keindonesiaan adalah perkara berat. Banyak tantangan, yang bila terus diselesaikan, pasti melahirkan kematangan. Untuk meraih kematangan, tentu ada korban. Ini sudah hukum alam.

Ketika Pancasila mengisi spasi, maka Khilafah dan Komunisme minggir dulu. Ketika Perserikatan-Persemakmuran mengisi spasi, maka Kesatuan minggir dulu. Ini yang disebut kontestasi, perang, dan konsensus.

Begitu pun, ketika konsensus mengantarkan pada penerimaan demokrasi seperti sekarang, lalu lahir banyak partai politik di era reformasi yang betul-betul berbeda nuansanya dengan orde baru, maka makna demokrasi pun diperebutkan, diperjuangkan, dan harus dimenangkan.

Silahkan saja lihat semua partai politik yang ada, bacalah visi-misi masing-masing, tentu anda akan dapati betapa indah semua mimpi-mimpi mereka. Mengapa indah? Ibarat gula yang tujuannya untuk menarik semut. Begitu pun partai politik, bermanis-manis untuk mendapat simpati.

Itu jika kita melihat hubungan antar parpol dan ideologi mereka secara garis horizontal. Berbeda lagi jika kita melihat semua parpol dan ideologi mereka secara garis vertikal. Kita akan segera dengan mudah melihat mereka sebagai petarung-petarung merebutkan kekayaan sumber daya Indonesia.

Intinya begini, karena spasi itu bisa menyamping dan turun ke bawah, maka demikianlah pula terkait partai politik dan ideologi mereka. Di tataran garis horizontal atau menyamping atau spasi horizontal, maka kontestasinya adalah soal ide, soal baik-buruk, benar-salah, pro rakyat atau korupsi. Di tataran garis vertikal atau menurun atau spasi vertikal, kontestasi mereka adalah soal sumber daya.

Cara mengeceknya begini: pertama, buka website pemerintah, lihat jenis-jenis jabatan strukturalnya, ingat satu persatu nama mereka, periksa jumlah kekayaannya, jenis usaha dan pekerjaannya di luar pemerintahan, baca pergerakan kebijakan masing-masih, cari relasi antara jabatan struktural mereka dengan jejaring usahanya.

Kedua, setelah anda selesai memetakan semua informasi tersebut, bacalah kontestasi setiap elite politisi atau perdebatan di tataran horizontal, kemudian cari manfaat dan kontribusi dari perdebatan itu pada keuntungan-keuntungan di tataran vertikal. Perdebatan di level horizontal tidak kunjung usai sering kali disebabkan kesepakatan pembagian kuasa atas sumber daya belum tercapai.

Nah, dari semua kerumitan itu lahir sebuah makna yang cukup stabil untuk mengisi ruang spasi, yakni terpilihnya oleh suara mayoritas seorang presiden dan wakilnya. Jadi, presiden dan wakilnya adalah spasi-spasi yang di dalam mereka tersimpan banyak konsensus, baik konsensus di level horizontal maupun vertikal. Baik konsensus pemikiran maupun konsensus pembagian sumber daya.

Presiden dan wakil presiden sebagai wujud konkrit apa yang saya sebut sebagai spasi, tentu menjadi sasaran “tembak”. Tapi, jangan khawatir. Para pengkritik presiden itu jumlahnya segelintir. Jumlah kecil ini pun juga tidak stabil. Sekali lagi, jangan mencari stabilitas dalam ruang spasi. Anda jangan pernah heran, hari ini menjilat dan hari esok menyembah. Dalam spasi, apalagi politik, itu lumrah.

Sekarang saya mau bicara tentang diri Anda. Terlebih ketika sedang membuka handphone untuk mencari informasi perkembangan mutakhir perilaku negarawan kita, atau duduk menonton televisi. Antara diri anda dan tokoh-tokoh politik itu, atau parpol dan ideologi mereka itu, juga terdapat spasi.

Jika anda termasuk penonton amatiran, anda hanya akan ikut menggerutu, setuju ini menolak itu, pro ini kontra itu. Anda masuk ke dalam ruang spasi horizontal yang bicara baik-buruk, benar-salah, amanah-korupsi. Tapi jika anda termasuk penonton profesional, anda akan bergerak, melangkahkan kaki, turun tangan dan ikut campur untuk masuk ke dalam ruang spasi vertikal : mencari posisi di pembagian kuasa atas sumber daya.

Mohon maaf. Saya tidak bermaksud mengkritik para politisi dan partai politik. Ini hanya sekedar contoh saja. Contoh lain juga ada. Di luar politisi, ada apa yang disebut sebagai ilmuan. Kelompok orang yang memiliki gelar-gelar sarjana, yang tinggi-tinggi itu, mulai lulusan S1, S2, S3, sampai profesor.

Kelompok ilmuan dan politisi ini sama saja, tidak berbeda sedikit pun. Jika pun berbeda, perbedaannya tipis, yakni soal nama saja. Para ilmuan ini juga bersaing antar ilmuan, sebagaimana politisi bersaing sesama politisi, sesema saudagar bersaing sesama saudagar.

Para ilmuan juga bersaing memproduksi kebenaran-kebaikan, untuk menyingkirkan kebenaran-kebaikan milik orang lain. Kemudian, produk mereka dapat dijualperjualbelikan, entah dijual kepada politisi, entah dijual kepada saudagar, entah dijual kepada pencari ilmu. Sebagaimana tidak ada kue kekuasaan yang gratis, maka tidak ada kue ilmu pengetahuan yang gratis.

Kebaikan dan kebenaran yang diproduksi oleh ilmuan sangat dibutuhkan oleh politisi yang tidak punya ilmu sama sekali itu. Jadi, jangan membayangkan, politisi itu punya banyak ilmunya. Tetapi, dia terlihat tampak hebat karena dukungan para ilmuan kepadanya sangat besar, berbeda dengan orang biasa pada umumnya.

Begitu pula sebaliknya. Orang jadi ilmuan pasti miskin, apalagi produksi ilmunya tidak laku dijual, baik kepada politisi maupun saudagar. Sebagaimana politisi, saudagar juga butuh membeli ilmu-ilmu yang diproduksi oleh ilmuan. Kalau kelompok saudagar memang tidak perlu kita bahas. Karena tidak ada tujuan bagi mereka selain laba dan untung. Saudagar membeli ilmu dari ilmuan, karena menganggap ilmu yang dibeli itu bisa dijual lagi untuk mendatangkan untung lebih besar.

Karena ruang spasi adalah ruang kontestasi, persaingan, dan konsensus, maka banyak dijumpai ada konsensus-konsensus antara ilmuan, politisi, dan saudagar. Jika anda bertanya: apa bukti konkritnya? Coba anda cari informasi nama-nama kampus besar di Indonesia, cari nama para ilmuan yang bekerja di sana, temukan hubungan mereka dengan para politisi dan saudagar, pelajari pola-pola kerjasama dan jenis-jenis konsensus mereka. Semakin besar sebuah kampus berarti kesepakatan ilmuan dengan politisi dan saudagar semakin besar dan beragam.

Intinya, saya tidak dalam rangka mengkritik politisi dan partai politik atau ilmuan dan “partai-partai” ilmu pengetahuan mereka. Kenapa saya ssbut partai ilmu pengetahuan? Karena banyak ilmuannya adalah politisi. Apakah ada ilmuan yang tidak politisi? Tentu saja banyak. Sebagaimana dalam partai politik, tidak semua mereka politisi. Sebagian ada yang jadi pekerja cleaning service partai saja, atau ada yang jadi tukang kebun partai. Artinya, ilmuan banyak yang tidak tahu politik di kampus mereka sendiri, apalagi politik di negara.
***

19 Juni 2020, Yogyakarta.

*) Imam Nawawi, lahir di Sumenep 1989. Sempat belajar di beberapa pondok pesantren seperti PP. Assubki Mandala Sumenep, PP. Nasyatul Muta’allimin Gapura Timur Sumenep, PP. Annuqayah Guluk-guluk Sumenep, PP. Hasyim Asy’ari Bantul Yogyakarta, PK. Baitul Kilmah Bantul Yogyakarta, PP. Kaliopak Bantul Yogyakarta, dan PP. Al-Qodir Sleman Yogyakarta. Kini sedang menempuh pendidikan jenjang S2 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *