Kesibukan milik pengisah asal Solo bernama Rendra. Kesibukan mengurusi kucing-kucing. Ia sedang jeda dari memandang manusia-manusia bikin ramai di kota-kota. Rendra ingin mengerti binatang, setelah tekun menulis manusia dan alam. Kita membaca puisi berjudul Serenade Merah Padam, puisi geregetan: Sekawanan kutjing/ berpasang-pasangan/ mengejong dikegelapan/ Sekawanan kutjing/ mengejong dengan bising/ mengejong dengan panas/ dikegelapan/ Manisku!/ Manisku!/ Sekawan kutjing/ berpasang-pasang/ saling menggosoki tubuhnja/ dikegelapan. Pada hari tak biasa, Rendra menekuni kucing. Puisi dimuat di majalah Indonesia edisi Juli-Agustus-September 1960. Dulu, majalah terbitan Jakarta itu mentereng. Kehadiran puisi Rendra menjadikan majalah terangsang. Puisi ditaruh di halaman awal, menghentikan “ingin” pembaca membuka halaman-halaman secara cepat atau acak.
Pembaca ingin berpikir? Bacalah artikel bermutu dari Wattimena berjudul “Peranan Desas-Desus dalam Masjarakan Pergaulan”. Pada masa 1950-an dan 1960-an, Indonesia terlanda desas-desus politik, mendapat tambahan desas-desus sastra, pendidikan, hiburan, dan lain-lain. Wattimena mengingatkan: “Disamping itu pengetahuan kita sangat dipengaruhi oleh kabar-kabar angin dan desas-desus jang kita dengar tiap-tiap hari. Desas-desus ini adalah sesuatu gedjala lazim tampak dalam pergaulan kita sehari-hari. …” Desas-desus menjadikan hari-hari berdebar. Sehari tanpa desas-desus orang bakal lelap dan rajin makan. Indonesia masa lalu sulit sepi desas-desus, meski orang-orang sudah membaca koran atau majalah. Konon, desas-desus malah hiburan-teatrikal dan berbobot “sastra”. Esai itu terbaca lagi di abad XXI saat desas-desus terlalu cepat dihasilkan dan diedarkan, detik demi detik.
Bosen dan capek dengan desas-desus, kita menikmati artikel Sartono Kartodirjo. Para pembaca buku biografi Sartono Kartodirdjo garapan Nursam bakal melu berpikiran serius mengenai tulisan-tulisan bertema sejarah. Nah, Sartono Kartodirdjo menolak sebagai manusia desas-desus. Ia melakukan riset, membaca buku-buku atau dokumen-dokumen, dan bertemu pula ke narasumber. Sartono Kartodirdjo suguhkan sejarah pergerakan nasional pada awal abad XX. Serius tanpa desas-desus ditaruh di belakang. Pembaca agak selamat dari pusing, setelah menempuhi puisi-puisi dulu. Di majalah Indonesia, ada pula serius setelah orang-orang berhenti sejenak di sastra. Pada suatu masa, Sartono Kartodirdjo membaca dan menggunakan sastra Jawa lawas dalam mengerjakan esai-esai tanpa ngotot menjadi manusia-sastra. Begitu.
***