DI PELABUHAN MUNCAR, ADA PENYAIR MELARUNGKAN KENANGAN


Taufiq Wr. Hidayat *

Tatkala dini hari. Dingin sudah hujan. Namun pasar tradisional Muncar, perempuan-perempuan dan lelaki-lelaki baya menaklukkan kantuk dan angin. Di antara sampah menyengat yang belum sempat diangkut truk sampah. Hidup harus terus dijalankan. Roda-roda nasib harus terus diputar. Mereka tak khawatir pada wabah virus yang katanya menguasai dunia. Mereka pun tidak membuka sosial-media untuk mengikuti perdebatan antara sains, filsafat, agama. Barangkali bagi mereka, filsafat, sains, dan agama memang tak lebih penting dari sebuntal terasi pagi hari, yang digerus bersama tomat dan lombok. Toh siapa saja yang berani memutar roda-roda nasib dengan kerja keras akan menemui dua hal: kalah atau menang. Peduli virus pada kekalahan dan ribut amat pada kemenangan! Kalah-menang bukan mimpi. Tak ada nasib yang berpihak, ia harus direbut entah dari apa entah dari siapa. Ini hidup! Ladeni saja!

Dengan keberanian untuk hidup dan mengolah hidup meski berhadapan dengan wabah dan cuaca. Semangat hidup yang norak dan kampungan itu memang milik orang-orang kampung, bukan milik orang kota. Semangat hidup yang norak dan kampungan tersebut—yang barangkali bertentangan dan melanggar sains, filsafat, bahkan mungkin agama—terdengar menarik di antara ramai pasar, nasi pecel, kopi, ikan-ikan segar dan aroma yang diasinkan. Toko baju, alat salat, peci, kitab suci, minyak wangi, kain. Buah dan penjual arloji. Orang-orang berbicara dengan bahasa Madura dan Jawa. Kemudian tertawa dengan renyah. Pak Mad memutar lagu dangdut dari becaknya keras sekali. Pagi pecah. Suara ayat suci dari pengeras masjid bagai memantul kembali kepada dirinya sendiri.

Mereka yang di pinggiran pun melayani hidup, melawan angin, kantuk, dan dingin yang menusuk sampai tulang-belulang bersama sayur-mayur yang dibawa dari jauh. Tak perlu dan tak butuh dicatat sejarah. Buat apa “jika hidup harus merasai”, kata Chairil Anwar.

Dari sebuah masjid besar, ke arah selatan. Di situ warung kopi dan nasi, harganya murah. Oh daya jangkau. Oh hidup yang pukau. Alangkah agungnya harapan. Toko jam dan apotek milik orang Tionghoa. Toko bangunan. Toko-toko perhiasan dan baju berdesakan, seperti berebut tempat dengan lapak sayur dan parkiran. Orang-orang menabungkan uangnya pada perhiasan, memakainya dengan bangga. Mereka pun gemar menumpuk perabot-perabot rumah tangga. Tapi ketika laut tak mengeluarkan ikan, musim “laep” (paceklik), kata orang Madura, mereka menjual perabot-perabot, baju, dan perhiasan. Bertahan hidup. Atau sadar, bahwa sedang dalam menghadapi hidup yang memang tak pernah menjanjikan kepastian. Seperti lautan. Pelabuhan yang pasang. Pelabuhan yang surut. Hamparan sampah plastik dan apa saja, menumpuk, menebar, dan begitu kotor di tepian pantai. Kucing—kadang anjing, lewat di atasnya. Dan penyakit TBC yang jauh lebih gawat dan jauh lebih menular daripada cuma corona yang—konon menurut sains, orang kesehatan, dan pemerintah—tak jauh beda dari flu. Negara memang sering terlambat, bahkan tak kunjung hadir. Limbah. Dan “pipa siluman” yang konon menembus ke perut lautan, lalu memuntahkan racun dari lambung pabrik ikan. Ikan-ikan mati atau ketakutan. Terumbu karang yang tak jelas nasibnya. Musim-musim pun tak selalu memastikan ikan-ikan datang. Sedang pabrik besar, mendatangkan ikan dari luar. Memang tak ada perdebatan filsafat dan sains yang pelik, yang menandakan kepintaran, yang begitu sibuk di sana. Karena memang bukan tempatnya.

Gedung tua yang berlumut ketika hujan, berdiri sendiri. Orang Tionghoa hidup di toko, berkeluarga di toko, merayakan ulang tahun di toko bersama anak dan cucunya, tua di toko, dan meninggal di toko sebagai pedagang toko sejati. Mereka karib dengan orang Jawa dan Madura, lantaran mereka bukan pendatang. Mereka adalah penduduk setempat, lahir, hidup, dan mati di sana. Tumpah darahnya. Ada pohon waru yang tua. Daun-daunnya kehitaman menerima udara yang asam, aroma ikan, dan keringat para pengayuh becak. Di bawah pohon waru yang entah berapa puluh tahun usianya itu, sebuah warung yang menyediakan kopi murah, mie goreng, nasi pecel, dan rawon. Penjual tembakau. Dan penjajah buah yang memakai sepeda. Pohon waru yang tua itu, dengan batangnya yang hitam, kulitnya mengelupas dan pecah-pecah, bagai mengisahkan perihal bahu-bahu karang nelayan. Dan menjadi saksi, entah siapa yang pernah berjanji di bawahnya ketika hujan datang. Entah tahun berapa, hari apa, dan tanggal berapa. Pasar Muncar tetap ramai. Ketika bulan memancar, yang disebut musim “padhangan”, nelayan pulang karena tak melaut. Aroma anggur. Asap tembakau. Dan pintu-pintu pasar yang gaduh. Kegaduhan yang mengasikkan.

Dan ketika petang, sate orang Madura membuka dirinya. Menebarkan wangi daging kambing yang terpanggang. Apa sebelum sate? Apa sebelum pasar? Bagi Quentin Meillassoux, itulah “argumen ansestral”. Sebentuk pra-kesadaran. Eksistensi sebelum kesadaran. Sebelum manusia memakai nama-nama dengan bahasa. Mustahil ada tanpa bahasa. Mustahil pasar dan sate tanpa bahasa. Pra-kesadaran itu berpijak pada tanpa-bahasa, tanpa upaya bahasa, tanpa makna. Apa yang paling dasar dan melandasi manusia dan pikirannya ialah bahasa. Sebagaimana sate Madura dan pasar Muncar. Tuhan pun mengajarkan nama-nama kepada Adam, kepada anak-cucunya yang kelak setelah berabad-abad lamanya—anak-cucunya tersebut, menamai daging kambing yang dipanggang dengan bumbu tertentu bernama “sate”, yang dibuat orang Madura. Karena orang Madura termasuk anak-cucu Adam yang sah! Manusia hidup di ruang interpretasi beserta jaringan-jaringan tanda yang tiada batasnya. Ada aroma lautan. Udara dari pabrik. Amis ikan. Dan orang-orang yang membawa keranjang. Pohon waru. Dan makam Siti Inggil yang mashur dalam ingatan, dikeramatkan sebagian orang. Ada Perapatan Yuk Enggun. Entah siapa pertama kali menamai jalan itu dengan nama tersebut. Ia menjadi tanda. Jejaring tanda. Ada orang bernama Yuk Enggun pernah hidup di sekitar perapatan yang ramai itu, perapatan yang selalu luput dari kecelakaan meski tanpa lampu merah. Dan negara selalu saja terlambat untuk memahami keadaan warganya.

Yang terasing. Dan yang tak tercatat. Buruh pabrik. Dan buruk kapal ikan. Para pengeruk ikan berhasil kaya raya. Sedang nasib buruh, tetap saja. “Bekerja terus bekerja, mencoba membalik nasib, ternyata susah,” ujar Iwan Fals dalam SWAMI II. Di pasar itu, orang-orang datang dan pergi. Pelabuhan Kampung Ujung yang ramai. Musik dangdut dan remix mengotori udara senja. Negara membangunnya. Entah berapa hektar laut ditimbun. Sedang ikan-ikan masih enggan datang. Di pelabuhan itu, seorang penyair minum kopi, hendak melarungkan kenangan pedih perihal percintaan, katanya. Kopinya ngebon. Sunyi diam-diam menyelinap setelah melewati sampah dan kotoran di tepian pantai, memasuki ruang pedih kepenyairannya.

Pasar Muncar terus mendetak. Para pedagang dan buruh datang sebagai perantauan. Tidur malam di antara sampah pasar yang selalu menggunung pada dini hari. Betapa hidup pasar itu, ia bagai makhluk yang bernafas, makan, minum, memakai listrik, dan menyalakan android. Ada penanda hidup yang tak redup. Tetapi jiwa-raga adalah taruhannya. Buah semangka dan melon. Sepeda-sepeda kaki membawa sayur dan bawang merah. Ibu penjajah jamu, datang bergantian, di antara pabrik dan pasar yang menghidangkan perhiasan. Di petang yang gamang, suara-suara pengeras suara dari rumah-rumah ibadah memecah kesibukan. Pedagang bunga di Kamis sore, menyediakan bunga, menyan, dan minyak wangi untuk nyekar. Pasar ikan itu, mengandung ikan asin dan ikan yang masih menggelepar. Tapi ketika sepi mencekam lautan, orang-orang termangu menatap kejauhan sambil membanting kebosanan bersama kartu. Ada yang tak henti menanti para nelayan pulang dengan harapan. Dengan hidup yang tak pernah menjanjikan kepastian.

Muncar, 2020

Keterangan Foto: Pelabuhan Kampung Ujung Muncar Senja Hari, Aditya Prayuga.
_________________________
*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi.

Leave a Reply

Bahasa »