Ekosistem

Workshop Ekosistem Teater dan Dramaturgi, Medium pasca Covid-19


Fatah Yasin Noor *

Menulis pembicaraan Afrizal Malna di acara workshop hari Minggu (28/6) di Purwoharjo, Banyuwangi, tidaklah gampang. Kalau hanya mencoba mengambil “intinya”, aku khawatir ada unsur-unsur kecil yang hilang. Kepekaan seorang membaca materi – benda-benda – di lingkungan terdekat. Kita dikasih tahu, bahwa membentuk materi menjadi sesuatu yang baru. “Seni” adalah rangkuman pengalaman seniman dalam ekosistem yang melingkupinya. Ia tak sekadar membentuk, tapi seniman mencoba merepresentasikannya. Bentuk yang mengundang perhatian lebih. Itu bisa tercapai, dan itu sebenarnya bukan tujuan utama seniman. Pekerja seni dimana pun berada, ia bekerja dengan gendre yang ada sekaligus mempertanyakannya. Seolah bekerja dan bicara, untuk seorang aktor, secara dingin dan kebal cuaca.

Di sini aku mencoba membayangkan lagi Afrizal Malna bicara dua meter di depanku. Juga ekosistem yang menjadi pintu masuk pertemuan. Intensitas workshop yang ingin dibuat sesantai mungkin, tetap saja membebani pikiran. Makna diskusi, menurut aku, telah membuka mata soal kedahsyatan “ekosistem” percakapan itu sendiri. Tak teratasi oleh IT 5.0 sekali pun. Setidaknya manusia yang bicara, dengan mengeluarkan bunyi bahasa, tanpa kabel. Telah hadir begitu lama sebelum teknologi bluetooth ditemukan. Point-point soal sejarah peradaban, teater dan bahasa saling berebut tempat. Kenyataan kemajuan teknologi informasi yang diusung internet, misalnya, sampai di era 4.0 sekarang ini, bagi mereka yang buta huruf bahasa komputer (coding) coba diredakan. Caranya? Cucuku sekarang bisa membuat aplikasi. Dan istilah seni mengalami pengertian baru. Sains ikut masuk mewarnai seni, utamanya seni pertunjukan. Juga atas tubuh si seniman sendiri, performance art. Dihadirkan bersamaan dengan kemajuan teknik audio visual. Dominasi pengertian seniman secara umum jadi tak jelas. Ekosistem baru yang diusung internet membuat kaum muda kreatif sekaligus membuat ruang kosong dalam jiwanya.

Celakanya kita adalah manusia. Ditakdirkan memiliki nalar dan jalan bahasa masing-masing. Tapi influenza Afrizal Malna sejenis teror mematikan, untuk sejumlah pengikutnya. Karena dia tak lagi menulis hanya dengan word. Bidang garapan seni yang meluas. Tapi selalu mencakup semua unsur-unsur seni. Menikmati karya seni apa pun, dan berbagi atas “keperihannya”. Makna bagi Afrizal bisa dijelaskan melalui proses penciptaan sebuah karya.

Pelbagai medium yang muncul belakangan ini dicoba. Utamanya hasil teknologi komputer. Secara serempak tiba-tiba banyak orang bisa menggunakan internet dan berkomunikasi secara langsung. Keterpesonaan terhadap hal yang baru itu mengusik pikiran kita untuk segera menyelaminya. Dan memperlakukannya sebagai karya seni. Secara sosiologis kenyataan ini merisaukan sekaligus membuat agen perubahan di kampung. Orang asyik melihat tiktok dan YouTube sampai lupa nyapu dan mencuci pakaian.


Ah!
***

*) Fatah Yasin Noor, lahir di Banyuwangi tahun 1962. Puisi-puisinya dalam antologi API (Angkatan Penyair Indonesia, 1998). Esai-esainya bagai nyanyian ganjil -mengusung sesuatu yang nyaris tak tertangkap publik. Sajak-sajak tunggalnya terkumpul dalam buku “Gagasan Hujan” (PSBB, 2003), “Rajegwesi” (PSBB, 2009). Kumpulan catatannya yang unik dan panjang terhimpun dalam “Seribu Jalan Raya” (PSBB, 2011). Tulisannya tersebar di media-media massa nasional dan lokal, Kedaulatan Rakyat, Jawa Pos, Majalah Budaya Jejak dan Bali Post. Puisinya yang dimuat di koran Bali Post itulah yang menarik, waktu itu redakturnya Umbu Landu Paranggi. Tahun 1979, esainya yang kritis berjudul “Film Nasional, Sebuah Tanggapan” dimuat media sastra legendaris dan pertama kali di Banyuwangi, Kertas Budaya Jejak, besutan alm. Pomo Martadi dan Hasnan Singodimayan.
Fatah menempuh pendidikan menengah dan tinggi di Yogyakarta, -boleh jadi tradisi berpikir kritisnya terbangun dari sana. Di Banyuwangi, nyaris media sastra tidak lepas dari tangan dinginnya. Ia Pimred jurnal Sastra-Budaya Lembaran Kebudayaan, dan pernah mengomandani kelompok budayawan serta seniman yang menolak Dewan Kesenian Banyuwangi (DKB) tahun 2002. Ia bersama gerbong para budayawan “bawah tanah” sempat mendirikan DKB-Reformasi, sebagai tandingan DKB “pemerintah” bergaya Orba waktu itu. Gerak budaya yang dikerjakan sastrawan nyentrik ini tak bisa dianggap remeh, terbukti “gerbong” DKB-R produktif melahirkan karya-karya berkualitas secara berkala dan melakukan kajian sastra pula penulisan sejarah Banyuwangi. Tahun 1998, menjadi salah satu dari kelompok muda yang menghadirkan alm. W.S. Rendra di Gedung Wanita, Banyuwangi, dalam peluncuran buku puisi para penyair Jawa-Bali “Cadik”, sehari sebelum tumbangnya Soeharto! Di masa itu bukan main-main mengadakan kegiatan sastra yang kritis berhadapan dengan aparat. Di tahun itu juga, bersama penyair dan budayawan lain, ia mengemukakan sikap anti kekerasan menyoal peristiwa “santet” di Banyuwangi.

One Reply to “Ekosistem”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *