EPISTEMOLOGI DAN EPISTEME


(Aristotelis, De Moribus ad Nicomachum, gambar Wikipedia)
Ahmad Yulden Erwin *

Aristoteles membuat tiga kategori tentang pengetahuan manusia, yaitu: Episteme, Phronesis, dan Techne. Kategorisasi tiga jenis pengetahuan ini dikemukakan oleh Aristoteles sekitar 2400 tahun lalu dalam bukunya “The Nicomachean Ethics”. “Episteme” oleh Aristoteles dikategorikan dalam konteks logika atau pengetahuan intelektual (khususnya geometri atau matematika pada waktu itu). “Techne” oleh Aristoteles dikaitkan dengan seni (tetapi maksudnya waktu itu adalah seni kerajinan tangan yang berguna dalam konteks kehidupan sehari-hari, misalnya seni tembikar)–pada masa kini dikaitkan dengan pengetahuan tentang keterampilan teknis–dan konsep inilah yang kini menjadi akar dari kata “teknologi”. “Phronesis” dimaknai oleh Aristoteles sebagai pengetahuan praktis terkait kehidupan sehari-hari manusia dan hal ini dihubungkan dengan etika. Meski dibagi ke dalam tiga kategori maksud Aristoteles sebenarnya adalah mencari dasar “pertama” bagi pengetahuan manusia di dalam realitas yang nyata ini (bertolak belakang dengan pandang idealistik dari Plato yang menganggap dasar dari filsafat berakar tidak di dunia inderawi tetapi pada realitas suprainderawi). Artinya, ketiga kategori “pengetahuan” yang dibuat oleh Aristoteles itu berakar pada prinsip “realis”, yaitu prinsip korespondensi, A = A, atau, idealitas = realitas, atau, ungkapan (proposisi) = fakta inderawi.

Pandangan Aristoteles ini pada abad ke-18 dikritik oleh Immanuel Kant, dengan prinsipnya yang menyatakan bahwa prinsip korespondensi itu tidak sepenuhnya benar, dan menyatakan bahwa pengetahuan kita tidak dapat mengenali hakikat dari benda-benda itu sendiri. Apa yang kita kenal tak lain adalah apa yang ada dalam wilayah pengetahuan kita sendiri, pikiran kita sendiri, dan tak pernah sampai pada hakikat benda-benda itu (das ding an sich). Termasuk kategorisasi tiga jenis pengetahuan sebagai “episteme, phronesis, dan techne” oleh Aristoteles itu juga keliru bila bersandar pada prinsip korespondensi semata. Dengan demikian Kant menjadi filsuf kritis pertama dalam epistemologi atau dikenal sebagai “rasio kritis” yang mengkritik dengan tegas tiga jenis pengetahuan manusia yang bersandar pada prinsip korespondensi semata, namun pandangan Kant tidak sama dengan konsep rasio holistik yang suprainderawi dari Hagel atau logos idealistik dari Plato. Kant menulis tiga bahasan yang merupakan “kritik” atas tiga kategorisasi pengetahuan dari Aristoteles di atas, yaitu “Kritik atas Rasio Murni (Episteme)”, “Kritik atas Rasio Praktis (Techne)”, dan “Kritik atas Penilaian” (Phronesis).

Atas “kritik” Immanuel Kant inilah kelak timbul prinsip “koherensi” yang menjadi landasan bagi logika simbolis dan matematis dari Bertrand Russel. Juga, prinsip pragmatisme yang menjadi akar kebudayaan pop di USA.

Dan pada pertengahan abad ke-20, Michel Foucault, sang filsuf postmodernisme dari Prancis, dalam bukunya “The Order of Things” meredefinisikan kembali konsep episteme, tidak hanya terkait sebagai pengetahuan rasional (intelektual), tetapi keseluruhan pengetahuan manusia (termasuk seni, etika, laku hidup sehari-hari), mirip dengan pendapat Thomas Kuhn tentang paradigma–hanya saja diperluas oleh Foucault mencakup seluruh sistem pengetahuan masyarakat dalam satu zaman. Karena itulah, menurut Foucault, episteme bukan sekadar kategorisasi bentuk pengetahuan yang dikaitkan dengan dengan teori korespondensi atau koherensi untuk menentukan benar atau salah, baik atau jahat, indah atau buruk, melainkan juga memiliki tendensi dan selalu terkait dalam konteks politik. Episteme dalam pengertian Foucault merupakan “wacana-kuasa” untuk menentukan hal yang dianggap sebagai ilmiah atau tidak ilmiah, kebaikan atau kejahatan, kegilaan atau kewarasan, dalam konteks kepentingan politik penguasa atau masyarakat dominan pada jamannya. Contoh: buku-buku motivasi itu menurut pengertian Foucault dilandasi oleh satu episteme juga–yaitu episteme biner tentang “orang sukses” dan “orang gagal” menurut ukuran kapitalistik misalnya.

Sementara Richard Rorty, filsuf postmodernisme dari USA yang terpengaruh oleh filsafat pragmatisme, berpendapat bahwa tidak ada prinsip-prinsip yang bersifat universal, dan ia juga menentang usaha masa Aufklarung untuk menemukan dasar rasional bagi pengetahuan manusia seperti pada era klasik di Eropa Barat. Di sini, Rorty mengambil posisi etnosentris radikal. Baginya, pemikiran setiap manusia ditentukan oleh bahasa apa yang dipelajari orang tersebut. Bahasa di sini dipahami sebagai perwujudan budaya tertentu, pandangan dunia tertentu, kepercayaan, dan nilai-nilai tertentu. Akan tetapi, kehadiran seorang manusia di budaya tertentu bersifat kebetulan, sebab tidak ada orang yang dapat memilih di mana ia dilahirkan. Oleh karena itu, Rorty berpendapat tidak ada budaya atau nilai-nilai yang paling benar dan berlaku universal. Budaya atau nilai-nilai apapun hanya membantu pengembangan diri seorang manusia. Jadi apa yang dimaksud oleh Rorty sebagai “bahasa” itu sebenarnya adalah semacam “episteme” (minus epistemologi rasional). Episteme Rorty adalah episteme yang plural dan bukan episteme monistik.

Memahami dengan baik tentang konsep epistemologi dan sejarah epistemologi dunia itu menjadi penting, seperti pendapat pendiri bangsa ini, Muhammad Hatta dan Tan Malaka, agar bangsa Indonesia mampu berpikir dengan benar dan tidak terjebak oleh sesat pikir atau diombang-ambingkan oleh episteme “kolonialis” yang mau memanfaatkan ketakmampuan berpikir logis bangsa ini untuk kepentingan kuasanya. Jadi, pahami episteme atau epistemologi atau konstruksi logis dari satu hal, maka kita akan bisa melampaui segala kulit-kulitnya, melampaui sesat pikirnya, melampaui banjir informasi yang sengaja diciptakan oleh segelintir penguasa episteme–sebelum akhirnya kita melampaui konsep episteme itu sendiri.
***

Aristoteles menyatakan bahwa sebuah proposisi dalam logika haruslah berkorespondensi dengan kenyataan, dengan realita sehari-hari. Inilah, korespondensi itu, yang menjadi dasar dari prinsip pertama dalam logikanya, prinsip identitas (A = A), idealitas (proposisi) = realitas (fakta sehari-hari). Ribuan tahun prinsip ini diterima oleh masyarakat, penguasa, dan kalangan intelektual di dunia. Mereka seperti ditarik oleh kekuatan gravitasi dari logika formal itu, tunduk dan menerima saja pernyataan Aristoteles bahwa gigi kuda berjumlah 24. Sampai suatu hari Francis Bacon (1561 – 1626), filsuf dan sastrawan Inggeris, iseng mencoba menghitung gigi kudanya sendiri dan ternyata berjumlah 23. Ia penasaran dan mencoba menghitung gigi kuda lainnya dan tetap berjumlah 23. Sejak itu ia pun menyadari bahwa masyarakat dan para filsuf sebelumnya telah mengalami sesat pikir karena otoritas. Mereka mengabaikan satu fakta mendasar, fakta yang justru dibangun oleh prinsip korespondensi dari logika Aristoteles sendiri, bahwa idealitas haruslah berkorespondensi dengan realitas. Begitulah muasalnya Francis Bacon membangun logikanya sendiri, logika yang menjadi dasar dari sains modern hingga saat ini, yaitu: impirisme. Sebuah proposisi logika hanya bermakna ketika bisa diverifikasi di dalam realita.

Prinsip korespondensi dari logika Aristoteles (termasuk impirisme dari Francis Bacon) terus diterima sebagai jalan untuk mencapai kebenaran, hingga pada awal abad ke-20 Sir Bertrand Russel mengemukakan prinsip yang lain dari logika formal maupun impirisme, yaitu prinsip koherensi. Menurut Russel, sebuah proposisi tak mesti berkorespondensi dengan realitas, tetapi cukup memiliki hubungan dengan proposisi sebelumnya yang telah terbukti benar. Bertrand Russel bersama A.N. Whitehead kemudian membangun prinsip-prinsip dasar dari logika matematika, atau yang kelak dikenal sebagai logika proposisional. Berdasarkan idealitas murni (yang sama sekali tak berpatokan pada realitas), maka matematika dan sains murni lainnya memiliki landasan yang kokoh dalam epistemologi atau filsafat tentang cara berpikir manusia.

Dilema tentang bagaimana membuktikan dalam realitas sebuah proposisi matematis tentang angka 2 dalam fungsi matematika 1 + 1 = 2, akhirnya terpecahkan. Proposisi matematis itu sama sekali tak perlu dibuktikan dalam realitas, tak perlu dibuktikan dengan menunjukkan satu (1) jari tangan kanan ditambah satu (1) jari tangan kiri untuk membenarkan dua (2) jari tangan kanan dan kiri, karena itu pembuktian yang tak bermakna dalam konteks prinsip korespondensi. Konsep angka dua tidak menjadi logis hanya dengan merujuk pada penjejeran dua jari tangan, karena kita bisa menunjuk pada sepasang batu di ujung jalan atau sepasang pohon di halaman. Dengan kata lain konsep angka dua tidak bisa dibuktikan kebenarannya hanya dengan menunjuk kepada dua jari tangan, tetapi oleh konsep penjumlahan sepasang angka satu itu sendiri yang telah disepakati dan diterima kebenarannya oleh kalangan intelektual lainnya. Kebenaran sebuah proposisi hanya terbukti benar bila bersesuaian atau koheren dengan proposisi sebelumnya yang telah diterima sebagai suatu kebenaran.

Bertahun-tahun kemudian, seorang filsuf dari Austria, Karl Raimund Popper, menemukan prinsip “kebenaran yang keliru” (falsifikasi) dari logika proposisional Bertrand Russel tersebut. Logika proposisional, menurut Popper, hanya membuat stagnan dalam perkembangan ilmu pengetahuan, karena berhibuk hanya untuk membuktikan kebenaran teori sebelumnya. Popper menyatakan bahwa suatu proposisi ilmiah dinyatakan benar jika dan hanya jika belum dibuktikan salah. Ini adalah prinsip falsifikasi dalam logika. Sebuah teori ilmiah hanya bisa dinyatakan benar selama belum ada ilmuwan yang membuktikan kebalikannya. Maka, tugas seorang ilmuwan menurut Popper bukanlah untuk membuktikan kebenaran teori sebelumnya, sebaliknya mesti membuktikan kesalahan teori sebelumnya. Popper telah membuat “dialektika” bagi prinsip logika korespondensi dari Bertrand Russel. Popper telah mengembalikan unsur kreativitas dalam logika.

Begini skema Epistemologi Pemecahan Masalah berdasarkan prinsip falsifikasi dari Karl Raimund Popper:

Bila:
P1 = Problem Awal
TT = Teori Tentatif
EE = Eliminasi Error (pembuangan kesalahan terutama dengan diskusi kritis)
P2 = Problem Akhir

Maka skema Epistemologi Pemecahan Masalah adalah:
P1 —–> TT ——> EE ——–> P2

Yang menarik dalam epsitemologi Popper bahwa pengetahuan itu bertumbuh lewat masalah. Masalah awal (P1) yang coba dipecahkan lewat TT (teori tentatif) dan dikritisi lewat tahap EE (eliminasi error) ternyata pada akhirnya menghasilkan masalah baru (P2). Demikian seterusnya sehingga pengetahuan pun terus bertumbuh secara evolusioner, makin dalam dan makin luas, untuk mengantisipasi perubahahan alam dan kondisi sosial kemasyarakatan.

Mungkin, epistemologi Popper bukanlah epistemologi yang memuaskan bagi yang ingin menemukan satu “theory of everything” bagi semua masalah, bukan sebuah “grand narrative” yang mampu menjawab semua problem dalam narasi-narasi kecil, bukan sebuah ideologi atau keyakinan yang diasumsikan secara revolusioner mampu memecahkan semua masalah manusia. Namun, setidaknya kita sekarang tahu, seperti pengertian kesadaran menurut teori kaos, bahwa pengetahuan manusia memang terbatas tetapi berpeluang untuk menjadi tak terbatas di dalam waktu–sama seperti kesadaran sebagai titik atraktor yang berkembang menjadi tak terhingga dalam ruang fase.

Upaya para filsuf dalam bidang filsafat epistemologi tersebut adalah sebuah upaya untuk melawan “gravitasi” dari pemikiran dominan sebelumnya, upaya untuk levitasi, untuk naik ke atas dan melawan tarikan ke bawah yang dominan. Levitasi itulah kreativitas. Daya levitasi dalam kreativitas pada pikiran manusia inilah yang menciptakan berbagai inovasi dalam sains, teknologi, dan seni. Kita ingin melihat dunia yang tidak lagi sama, tetapi selalu baru. Kita tidak ingin menjadi jenuh, kita ingin hidup kita selalu baru, karena pada faktanya realitas memang selalu mengalir tanpa henti, dari saat kini ke saat kini. Pencerahan adalah menyadari presensi dan hidup di dalamnya. Suatu hari seorang sahabat bertanya kepada saya, “Kenapa kau masih terus menulis puisi? Apa manfaatnya?” Dan saya menjawabnya sembari memandangi hujan di depan teras rumah saya, “Agar bisa melawan gravitasi, seperti melepas rinai hujan ke angkasa.” Ia ternganga mendengar jawaban saya, sementara saya hanya bisa berdoa di dalam hati: Semoga suatu ketika engkau mampu melihat puisi di dalam dunia sehari-hari, dunia yang tak lagi sama, dunia yang selalu baru.

10 Juni 2015

________________
*) Ahmad Yulden Erwin lahir di Bandar Lampung, 15 Juli 1972. Ia telah menerbitkan kumpulan puisi “Perawi Tanpa Rumah” (2013), “Sabda Ruang” (2015), “Hara Semua Kata” (2018) “Perawi Tanpa Rumah (Edisi revisi, 2018), “Perawi Rempah” (5 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2018).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *