A. Syauqi Sumbawi *
Tiba-tiba jeda. Lalu-lalang jalan, separuhnya menepi. Hujan mengguyur lebih cepat dari prediksi. Lebih gesit dari siasat manusia menerka gumpalan awan. Menggiring pengendara sepeda motor ke emperan toko. Berbagi teduh, bersama pedagang kaki lima dan rombongnya. Usai mengenakan mantel, sebagian mereka kembali bergabung dalam lalu-lalang. Menderu dalam deras hujan di aspal basah. Menerobos garis-garisnya yang tak pernah meninggalkan noda.
Di sebuah warung tua dekat tanah pekuburan, Abdun berteduh. Menziarahi waktu dalam kepungan hujan. Menghitung waktu yang tertera pada pualam batu dan lapuk kayu. Nisan. Pada mata tua pemilik warung yang menyimpan segala periswa lalu-lalang jalan. Juga persinggahan manusia dalam secangkir kopi.
Hanya Abdun yang menikmati pahit kopi di warung tanpa wifi itu. Sendiri mengakrabi ingatan tentang hujan dan orang-orang.
“Lho, hujan… waduh…” komentar singkat yang kerap didengarnya.
“Hujan… hujan… hujan…” kata tetangga memberitahu yang lain untuk menyelamatkan gabah, pakaian, dan segala yang dijemur.
Yah, tak ada yang lebih menyita perhatian lebih dari turunnya hujan, di sepanjang musim yang dilalui manusia. Dalam senja yang selalu sempurna di setiap harinya. Juga, dalam hujan yang selalu menghadirkan jeda.
Hujan dan jeda inilah yang tampaknya menjadi kesan awal dalam puisi karya Imamuddin SA berjudul “Menggulung Senja”, dalam buku Pengembaraan Burung, antologi puisi (Lamongan: Pustaka Ilalang, 2015) hlm 63, diungkapkan sebagai berikut:
menggulung senja di warung tua/
berteman secangkir kopi/
dalam kepungan hujan//
sederet batu nisan/
menjadi saksi persinggahan/
yang bercerita tentang aroma rasa/
pahit/
manis/
dalam hangat/
dalam tabir dingin jalan//
“sebentar lagi malam tiba, katanya!”//
dan pahit yang mengental tak pernah dusta/
memberi perjamuan malam/
dengan mata terjaga/
seperti hatiku yang akan terjaga/
dalam luka/
mengingatnya!//
Secara teologis, hujan dinyatakan sebagai ayat-ayat kauniyah. Sebuah peristiwa atau kejadian, dimana manusia disuruh untuk “membaca”. Maklumlah, peristiwa hujan selalu menyambungkan antara langit dan bumi. Hujan menjadi sesuatu yang jatuh dari langit, yang bisa dilihat secara kasat masa dan bisa dirasakan secara material. Juga menjadi sesuatu yang selalu membangkitkan spiritualitas dalam hidup manusia.
Entah, ritual apa saja yang pernah dilakukan agar hujan turun. Dan entah, berapa banyak nyawa anak manusia di masa lampau yang dikorbankan sebagai persembahan, agar “langit” berkenan menurunkan hujan. Turun sederas darah yang mengucur dari tubuh perawan. Konon, demikian yang pernah dibaca Abdun.
Ah, membayangkannya, siapa yang tak bergidik?! Siapa yang tak iba?!
Peristiwa kasat mata di langit, secara antropologis, tak luput dari rekaman umat manusia dalam bentuk ritual tertentu. Peristiwa gerhana matahari dan gerhana bulan, misalnya. Juga minta hujan. Abdun tahu, ritual terkait peristiwa langit tersebut dalam Islam dilakukan dengan ibadah shalat sunah gerhana matahari (kusf), gerhana bulan (khusf), dan minta hujan (istishqa’).
Barangkali, masyarakat bermata pencaharian sebagai petani dan penambak, kalangan yang punya kaitan erat dengan hujan dan spiritualitasnya. Tak ada air yang lebih baik dari air hujan bagi dunia pertanian. Tidak juga air mineral termahal yang dikemas dalam gelas plastik. Hujan adalah berkah. Tak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk mengairi lahan bercocok tanam.
Hal ini, tentu saja berbeda di hadapan lalu-lalang perjalanan serta kesibukan bisnis dan ekonomi manusia di muka bumi, di bawah langit. Turunnya hujan mungkin dianggap sebagai sesuatu yang menghambat. Sebuah kendala. Sebuah gangguan. Bahkan, mengacaukan kebahagian pesta pernikahan, seperti yang digambarkan video clip lagu “November Rain” dari grup band Guns N’ Roses.
Sementara dalam puisi di atas, hujan yang semula menghambat itu kemudian menjadi sesuatu yang membawa jeda. Sendiri …berteman secangkir kopi/dalam kepungan hujan//
Mungkin juga, puisi bagi Imamuddin SA adalah ibarat hujan, yang membawa manusia sejenak menepi dari lalu-lalang keseharian yang sibuk. Hujan yang menunjukkan sebuah pintu, bagi manusia masuk ke dalam bangunan waktu dan peristiwa. Juga, …sederet batu nisan/ yang …menjadi saksi persinggahan/. Ada ruang-ruang kesadaran di sana, yang muncul dari kehidupan manusia. Dari kehidupan diri sendiri, bersama… pahit/manis/. Juga, ….dalam hangat/ dalam tabir dingin jalan//.
Yah, setiap perjalanan hidup menulis kisahnya sendiri. Dan usai sejenak jeda perjalanan, masih tersedia malam untuk mengentalkan rasa,…dengan mata terjaga/. Penuh kesadaran sebagai manusia.
***
_______________
*) Ahmad Syauqi Sumbawi, sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dll. Sebagian karyanya dipublikasikan di media massa. Puisi-puisinya terkumpul dalam antologi: Dian Sastro For President; End of Trilogy (Insist, 2005), Malam Sastra Surabaya; MALSASA 2005 (FSB, 2005), Absurditas Rindu (2006), Khianat Waktu (DKL, 2006), Laki-Laki Tanpa Nama (DKL, 2007), Gemuruh Ruh (2007), Kabar Debu (DKL, 2008), Tabir Hujan (DKL, 2010), Darah di Bumi Syuhada (2013), Pesan Damai di Hari Jumat (2019), Menenun Rinai Hujan (2019). Dan beberapa cerpennya dapat dibaca pada kumpulan: Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela, 2006), Bukit Kalam (DKL, 2015), Di Bawah Naungan Cahaya (Kemenag RI, 2016).
Sementara antologi tunggalnya: Tanpa Syahwat (Cerpen, 2006), Interlude di Remang Malam (Puisi, 2006), dan #2 (SastraNesia, Cerpen 2007). Novel-novelnya yang telah terbit: Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (2007), Waktu; Di Pesisir Utara (2008), dan “9” (2020). Sedangkan bukunya dalam proses cetak ulang “#2,” dan Limapuluh (kumpulan puisi) segera hadir. Selain menulis, juga berkebun, dan mengelola Rumah Semesta Hikmah, dengan kajian dibidang sastra, agama dan budaya, di dusun Juwet, Doyomulyo, Kembangbahu, Lamongan.